Monolog Jiwa Jangan Membenci Tapi Jauhkan Diri
MONOLOG JIWA – Dari Hati Seorang Pejuang
Setiap sunyi punya suara. Setiap jiwa punya cerita.
Monolog Jiwa — Jangan Membenci, Tapi Jauhkan Diri
“Jangan membenci siapapun, tapi jauhkan dirimu dari orang yang tidak menghargaimu.”
Ada satu kalimat yang sering terngiang di telinga: “Jangan membenci siapapun, tapi jauhkan dirimu dari orang yang tidak menghargaimu.” Sekilas ia terdengar mudah. Tetapi bila ditengarahi oleh hari-hari yang sunyi dan pertemuan yang hampa, barulah kita sedar ia memerlukan kesabaran yang panjang, kebijaksanaan yang lembut, dan keberanian untuk memilih diri sendiri.
Hidup ini seperti jalan yang dilalui ramai orang. Kita bertemu, kita berkenalan, kita berkongsi selera hati dan rahsia kecil. Ada yang singgah seketika, ada yang tinggal lama, ada pula yang pergi begitu saja. Bukan semua manusia yang singgah itu membawa penghargaan; ada yang membawa kebaikan, ada pula yang membawa luka tanpa sengaja.
Kerap kali kita meletakkan harapan. Kita berharap setiap kebaikan akan dibalas dengan penghargaan, setiap kelukaan akan diberi empati. Tetapi realiti kadangkala lain: ada yang, walau kita beri sebanyak mana pun, tetap memandang enteng. Ketika itu, kebencian muncul, tunduk pada kehendak hati untuk membalas, menuntut keadilan yang sering mustahil diterima.
Tetapi apakah benci memberi ketenangan? Benci itu seperti api kecil yang mula-mula menghangatkan, lalu lama-kelamaan membakar ruang dalam diri. Api itu tidak memakan orang yang dibenci; sebaliknya ia memakan jiwa yang memeliharanya. Maka pesan untuk tidak membenci bukanlah ajaran kosong — ia adalah pelindung bagi ketenangan.
Memaafkan tidak bermakna kita melupakan atau membenarkan perlakuan yang salah. Memaafkan lebih tentang melepaskan beban agar kita tidak terus dibebani oleh peristiwa lalu. Ia soal hati yang memilih untuk sembuh demi dirinya sendiri. Dalam melepaskan, kita tidak perlu menyulam dendam menjadi langkah seterusnya.
Namun, melepaskan tidak menafikan satu hak asasi kita: hak untuk menjaga diri. Kita boleh memilih untuk tidak memelihara kebencian, sambil tetap menjauh dari mereka yang tidak menghargai. Jarak itu bukan dendam; ia bentuk belas kasih pada diri sendiri. Menjauh ialah mengelakkan sakit yang berulang, memberi ruang agar luka dapat sembuh.
Menjauh bukan bermaksud memutuskan semua hubungan atau menutup pintu hati. Ia bermaksud memilih ruang yang selamat: di mana kita dihormati, di mana penghargaan tidak perlu dipaksa. Dari jauh, kita boleh mendoakan kebaikan untuk yang pernah menyakiti, tetapi tidak lagi meletakkan jiwa kita di tangan mereka yang tidak menjaga dengan lembut.
Sering kali, ketegasan itu lebih suci daripada pengorbanan yang sia-sia. Kadang, diam adalah jawapan yang paling jujur. Kadang, kehilangan bukanlah kekalahan, tetapi pembebasan. Hidup ini terlalu singkat untuk dibebani kebencian; setiap nafas adalah peluang untuk menanam kebaikan, bukan menyiram api lama.
Kita berhak untuk merasa cukup; kita berhak untuk dihargai. Jangan biarkan ketiadaan penghargaan dari orang lain menajamkan pandangan kita pada diri sendiri. Jaga maruah hati; hargai kehadiran sendiri. Kerana pada akhirnya, menghargai diri sendiri adalah penghargaan yang paling tulus.
Bila kita belajar melepaskan tanpa membenci, jiwa menjadi ringan. Bila kita belajar menjauh tanpa dendam, hidup menjadi lebih damai. Biarlah mereka pergi jika mereka memilih untuk tidak melihat kita. Kita tidak kalah; kita memilih ketenangan.
Semoga setiap langkah kita dipandu oleh kelembutan hati, bukan oleh amarah. Semoga kita diberi keberanian untuk menjauhkan diri bila perlu, dan kelembutan untuk tidak membenci bila terluka. Dan semoga setiap pagi, kita bangun dengan jiwa yang lebih ringan — kerana cinta terbesar adalah cinta kepada diri sendiri.
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://belogsjm.blogspot.com/2025/09/monolog-jiwa-jangan-membenci-tapi.html