Kisah Seram Misteri Pulau Marundang
     oleh :Nanang firdaus 
  -  Bagi  kapal-kapal yang akan sandar di Pelabuhan Pontianak, kemungkinan besar  akan melewati pulau ini. Ya, pulau Merundang! Konon, pulau ini dihuni  oleh hantu. Benarkah? Berikut kesaksian salah seorang ABK kapal kargo  yang pernah mengalami kejadian sangat aneh sekaitan dengan pulau  Marundang…
Selepas Maghrib, kapal kargo Ratu Rosali  meninggalkan pelabuhan Pontianak. Sesuai rencana, kapal ini akan  berlayar menuju negeri jiran, Malaysia. Kapal yang sarat muatan ini  berlayar tenang meninggalkan Dermaga Teluk Air, tempat Ratu Rosli  sebelumnya ditambatkan. Senja itu, cuaca cukup cerah. Sesuai dengan  ramalan cuaca yang diinformasikan oleh pelabuhan, hari itu ombak laut  memang akan jinak, tanpa gejolak berarti.
Pulau demi pulau dilalui  Ratu Rosli tanpa rintangan. Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba mesin  kapal mengalami kerusakan. Kapal berhenti, terombang-ambing ditengah  laut. Karena kerusakan mesin tidak dapat diperbaiki dengan cepat, maka  tak ada pilihan lain. Ratu Rosli terpaksa buang jangkar.
Bila  kapal mengalami kerusakan, sebagai bagian dari kru kapal, tentunya  akupun ikut panic. Terlebih kapten kapal kargo yang akrab disapa Pak  Chief itu. Maklum saja, keterlambatan akan menimbulkan komplain dari  pemilik barang. Mereka tak pernah mau mengerti bila kapal tiba ditujuan.  Bahkan akan jadi boomerang bagi pemilik kapal, sebab kepercayaan  pelanggan ternodai.
Ternyata mesin kapal mengalami kerusakan fatal.  Kruk as patah dan tak bisa difungsikan lagi. Sementara onderdil cadangan  tidak ada.
Karena keadaan ini, keesokan harinya, Pak Chief terpaksa  kembali ke Pontianak dengan menumpang kapal nelayan yang kebetulan akan  pulang.
Tak ada yang mesti dikerjakan selama Pak Chief berada di  darat. Para ABK menghambur-hamburkan waktu percuma, atau paling-paling  memancing cumi-cumi.
Pemandangan laut yang menoton memang membuatku  jenuh. Akhirnya aku beranjak masuk ke dek. Anehnya, malam itu aku  gelisah. Setiap ruang sepertinya tidak membuatku nyaman. Berdiri salah,  duduk apalagi.
Setelah cukup lama berbaring di kamar, rasa kantuk pun  menyerang. Beberapa saat kemudian aku terlelap.Dan, entah berapa lama  aku tertidur, tiba-tiba seorang wanita hadir dalam mimpiku. Bibirnya  yang padat berisi itu menyunggingkan senyuman yang begitu mempesona.
Wanita  cantik itu mengenakan gaun malam warna perak. Langkahnya gemulai,  anggun bak peragawati di atas cat walk. Lekuk tubuhnya, amboi, indah  sekali!
Sesekali dia menebar pandang ke seantero ruangan. Dan  sesekali pula dia melirik genit kepadaku. Sesaat kemudian dia  menghentikan langkahnya. Berdiri mematung dekat jendela yang memang  sengaja dibiarkan terbuka. Rambut panjangnya terurai menutupi leher  jenjangnya, melayang-layang liar dipermaikan angin yang berhembus  semilir.
Sebagai seorang pelaut yang jarang bertemu perempuan, apa  perempuan secantik dirinya, maka aku pun langsung tersihir oleh  kecantikannya. Jantungku berdebar tak beraturan. Betapa ingin aku  menyapanya, namun lidahku terasa kelu.
Entah berapa lama pandanganku  tetap menancap padanya. Bidadari itu belum juga beranjak dari jendela.  Namun, seketika rasa takjubku berubah menjadi takut. Entah mengapa,  perempuan itu menatapku dengan tajam, dengan sorot matanya yang penuh  dengan bara kebencian. Tatapannya berubah nanar, persis singa betina  lapar yang ingin menerkam mangsanya. Sangat mengerikan!
Seolah tak  peduli pada ketakutanku, perempuan itu merentangkan kedua tangannya yang  dipenuhi bulu-bulu halus. Ya, dia sepertinya ingin terbang ke luar  jendela. Tapi, tidak! Secepat kilat dia malah menghampiriku dan langsung  mendekapku.
Dalam dekapanya, aku sulit bergerak. Nafasku tercekat.  Anehnya, tubuh wanita cantik ini berbau seperti kemenyan. Sangat  menyengat. Aku meronta, berusaha melepaskan diri. Lalu aku berteriak  keras. “Lepaskan aku! Tolooong…!”
Anehnya lagi, kenapa Very, teman  sekamarku tidak lekas membantuku? Padahal posisinya tepat di sisiku.  Bahkan tubuh kami nyaris bersentuhan diatas dipan untuk dua orang ABK.  Kalau pun akhirnya ia bangun lebih dulu, mungkin karena mendengar gumam  tak jelas, atau tersenggol tubuhku yang bergerak tak terkendali.
“Hei..Man bangun!” teriaknya sambil mengguncangkan tubuhku.
Aku tersentak, dan kembali ke alam nyata. Spontan aku amat lega terlepas dari beban menyiksa dari mimpi yang menakutkan itu.
Very  menyeringai melihatku masih ketakutan. Dia juga tampak tegang. “Mimpi  seram ya, Man?” Tanyanya. Dia mengingatkanku agar membaca Bismillah  sebelum tidur, kemudian memberiku segelas air mineral.
“Mimpinya aneh,” ujarku setelah menenggak air mineral sampai habis.
“Memangnya mimpi apaan sih, sampai kamu berteriak-teriak seperti orang sekarat?” tanya Veri.
“Menyenangkan tapi menakutkan Ver. Seram!” jawabku, Lalu kuceritakan isi mimpiku.
“Berarti  makhluk itu penghuni pulau Marundang? Mengapa baru sekarang? Padahal  sudah seminggu kita lego jangkar di sini,” ujar Very setelah mendengar  ceritaku, sambil mengernyitkan dahinya,
Aku memang baru mendengar apa  yang disebut Veri sebagai Pulau Marundang itu. Anehnya, nama pulau ini  sepertinya berhubungan dengan wanita yang hadir dalam mimpiku.
Selepas  mimpi itu, aku memang sulit memejamkan mata. Bahkan, sekitar pukul tiga  dini hari, melalu jendela, aku menerawang ke kejauhan. Samar-samar  pulau yang terletak antara Indonesia dan Malaysia itu tampak diselimuti  kabut, terkesan angker. Tiba-tiba bayangan sosok wanita itu kembali  mengusikku. Bukan kecantikan atau senyumnya, melainkan sorot matanya  yang menakutkan. Hih, bulu kudukku berdiri.
“Sudahlah, lupakan saja,  Man! Mimpi kan hanya bunga tidur. Jangan terlalu dipikirkan kalau kau  selalu mengingatnya, nanti kesurupan lho!” Very menepuk bahuku.
Dua  hari kemudian, kekhawatiran Very terjadi. Menjelang sore, aku merasakan  perubahan yang aneh. Sosok wanita itu kembali mengusik ketenganku. Sudah  kupaksakan agar bayangannya enyah dari ingatanku, tetapi tak bisa.
Apa  yang terjadi selanjutnya menimpa diriku? Semuanya diceritakan oleh  Very, karena aku memang sama sekali tidak menyadarinya. Beginilah  kisahnya…:
Setiba dari Pontianak, Pak Chief kaget mendengar suara  gaduh dari kamarku. Dia penasaran, karena selama ini belum pernah  melihatku bikin ulah. Mendapati aku dirubungi para ABK, karuan Pak Chief  keheranan. Saat itu, aku bukanlah diriku lagi. Rupanya, makhluk itu  telah menguasaiku.
Pak Chief, juga teman-temanku ABK yang lain,  ketakutan melihatku terus cekikikan, dengan mata melotot sambil  menceracau tak jelas. Pak Chief berusaha menenangkanku.
“Siapa kau  ini, laki-laki atau perempuan?” tanyanya. Sementara itu, para ABK saling  berpandangan, penuh harap menunggu jawaban. Mereka ketakutan saatku  pelototi bergantian.
Bukan jawaban yang didapatkan didapatkan dari  mulutku yang kerasukan itu. Menurut cerita Very, aku malah menampar  keras pipi kiri Pak Chef.
Sontak saja lelaki bertubuh gempal ini jadi  berang. Lima ABK yang mendapat perintah langsung darinya segera  memegangi tangan dan kakiku. Namun, mereka kewalahan, sebab aku terus  berontak dengan tenaga kuat luar biasa.
Merasa khawatir akan  keselamatanku, takut aku mencebur diri ke laut misalnya, atas perintah  Pak Chief, kemudian aku diikat pada pilar di tengah ruangan. Ikatannya  sangat kuat, dengan menggunakan tali sebesar jari kelingking orang  dewasa.
Kata Very, aku memang tak bisa berkutik lagi. Tubuhku  langsung terkulai menyatu dengan pilar itu. Suasana kapal pun berubah  tenang, dengan demikian para ABK, khususnya bagian mesin bisa lebih  berkonsentrasi memperbaiki kerusakan mesin.
Keputusan Pak Chief  memang kejam, namun tepat. Hal itu merupakan wujud dari tanggung  jawabnya sebagai pemimpin. “Sebelum sadarkan diri, jangan lepaskan tali  ini. Tolong awasi dia!” katanya dengan tegas, seperti yang ditirukan  Very.
Sejurus kemudian, Pak Chief pergi menuju ruangan mesin. Dua  orang petugas juru mesin mengaku kewalahan, sebab baru kali ini mereka  menghadapi kerusakan fatal. Butuh kesabaran ekstra memasang kembali truk  as ke dalam mesin. Apalagi onderdilnya masih baru.
Akhirnya, mesin  selesai diperbaiki. Anehnya, di saat bersamaan, aku yang semula  kerasukan kembali siuman. Pak Chief girang melihatku.
“Sudah sadar kau rupanya?” candanya sembari mengucek-ucek rambutku.
Setelah  mesin berhasil dihidupkan dan jangkar ditarik ke haluan, Ratu Rosali  pun siap melaju kembali meneruskan pelayaran yang tertunda. Karena truk  asnya diganti, kapal melaju lebih kencang dari biasanya, yakni dengan  kecepatan 12 mil/jam.
Meskipun aku telah sadar, namun ternyata Pak  Chief masih merisaukan keselamatanku. Buktinya, sepanjang perjalanan aku  selalu diawasinya. Rupanya, dia khawatir kalau tiba-tiba makhluk itu  kembali merasuki tubuhku.
Syukurlah, tak ada kejadian aneh hingga  kami sampai di tujuan. Usai bongkar muatan, selama 15 hari di pelabuhan  Malaysia, kami kembali berlayar menuju Lampung. Aku tak sabar ingin  secepatnya tiba disana. Aku yakin, Marni pasti menantikan kedatanganku  yang sudah terlambat lama. Dia wanita sederhana pedagang kopi keliling  di pelabuhan. Setiap awak kapal yang bersandar di Lampung, tentu  mengenalnya. Bersamanya, aku berharap hidupku lebih berwarna lagi.
Pada  saat pelayaran menuju lampang, suatu malam aku sendirian di kamar.  Asyik, aku bebas berfantasi tanpa ada yang mengganggu. Aku membayangkan  Marni, agar bisa melupakan sosok makhluk jahat itu. Tapi, ya Tuhan,  beberapa jam kemudian, aku kembali mendapatkan teror!
Entah dari mana  datangnya, tiba-tiba sosok mengerikan itu sudah berdiri di hadapanku.  Dia menampakkan wujudnya yang sangat menyeramkan. Persis Mak Lampir.  Gaun malamnya tetap berwarna perak, namun wajahnya tak cantik lagi.
Aku  takut setengah mati. Sekujur tubuhku lemas. Ingin berteriak, tapi bibir  rasanya terkunci. Ingin lari keluar dari kamar pun tak bisa.
Akhirnya,  dengan tubuh gemetar, aku hanya pasrah. Di saat ketakutanku tak  tertahan lagi, tiba-tiba dia menghilang. Aku lantas menghambur ke luar  kamar, ke ruangan Pak Chief. Aku menemukan ketenangan dan merasa aman.  Setidaknya, ada hiburan sementara menunggu pagi. Pak Chief cukup bijak,  mengizinkan aku nonton DVD sesukaku di kamarnya.
Kapal bersandar di  Lampung pada malam hari. Aku betul-betul kasmaran. Setelah pamit pada  Pak Chief, aku menemui Marni yang rumahnya tidak seberapa jauh dari  pelabuhan. Gadis sederhan itu amat antusias mendengarkan kejadian aneh  yang kualami.
Beberapa saat kami terdiam. Marni menatapku. Entah apa yang dia pikirkan. Kemudian dia memecah kesunyian.
“Sebaiknya  , istirahat saja dulu kerja di laut, Kak. Makhluk itu berbahaya! Siapa  tahu dia minta korban. Tapi saya hanya menyarankan. Tidak memaksa, lho!”  bibir gadis itu bergetar.
Giliran aku diam kebingungan. Mana yang  harus kupilih? Masih dua pulau lagi yang akan kusinggahi. Kalau  diteruskan, aku akan terus-terusan diteror makhluk sialan itu. Aku tak  ingin berlama-lama dalam kebimbangan.
Karena yakin, rasa takut itu  berasal dari diriku sendiri, maka kuputuskan meneruskan pelayaran ke  pulau Bangka. Keinginan mengundurkan diri kutangguhkan sampai tiba di  rute terakhir. Ya, kembali ke Pontianak. Dengan begitu, paling tidak aku  bangga akan diriku. Setidaknya aku bukan pelaut pengecut.
Selama  bersandar di pulau Bangka, tak ada kejadian aneh. Mungkin makhluk itu  telah lupa dan bosan mengusik ketenanganku. Atau mungkin dia sudah  berselingkuh dengan ABK lain? Segala sesuatu berjalan wajar hingga  selesai bongkar muatan. Setelah itu, pelayaran dilanjutkan menuju  Ketapang.
Pagi cerah, laut masih berkabut, sewaktu kapal bertolak meninggalkan pelabuhan Bangka.
Sebagai  seorang pelaut aku tahu persis kalau sedari dulu pulau Ketapang memang  terkenal nuansa mistinya. Sering kudengar cerita teman yang melihat  penampakkan di pelabuhan. Tapi, aku cenderung mengabaikannya.
Tiga  hari berlalu, aman di Ketapang. Pak Chief gembira melihatku kembali  ceria dan membaur sesama ABK. Seperinya biasanya, kami bersenda gurau  melepas penat usai kerja bongkar muatan.
Namun, sungguh aneh, di  tengah keceriaan itu, tiba-tiba sekelebat bayangan kembali melintas  dalam benakku. Bayangan wanita bergaun perak itu. Tapi, segera kutepis  dan langsung mengingat Marni. Demikian kulakukan berulang-ulang kali,  sehingga pikiran dan perasaanku mulai ngelantur. Semula aku beranggapan,  mustahil makhluk itu kembali mendatangiku lagi karena jarak Marundang –  Ketapang terlampau jauh. Tapi nyatanya, dia terus mengikuti dan kembali  bereaksi. Kali ini kejadiannya sangat aneh.
Malam itu, hujan masih  menyisakan gerimis. Suasana pelabuhan Ketapang tampak lengng. Biasanya,  bila cuaca cerah, warga setempat selalu datang meramaikan pelabuhan.  Disana-sini biasanya terlihat pasangan memadu kasih, duduk santai di  dermaga sambil mengobral janji-janji manisnya.
Tapi, malam itu  suasana sepi sekali. Bahkan, sebagian temanku pasti sudah terlelap. Aku  belum mengantuk. Aneh, perasaanku serasa sangat galau. Resah. Kusibuk  kandiri dengan mempertimbangkan keputusan terbaik setelah tiba di  Pontianak nanti. Berhenti kerja di laut, tapi apa yang bisa aku lakukan?  Sementara aku tak punya pengalaman kerja di darat?
Angin bertiup  kencang dan rasa dingin semakin menggigit. Sebagai perokok kronik, di  saat cuaca dingin, aku sangat membutuhkannya. Sial, rokokku tak satu pun  tersisa. Aku beringsut ke kamar sebelah. Begitu pintu terkuak, kulihat  temanku sudah pulas meringkuk. Rasanya sungkan membangunkan tidurnya.  Siapa tahu, mungkin dia tengah mimpi indah.
Kemudian aku langsung  meraih sebungkus rokok yang tergeletak di atas meja. Kunyalakan korek  api lalu menyulut sebatang. Begitu melangkah ingin meninggalkan kamar,  tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku. Spontan bulu kudukku meremang.
Ya,  Tuhan! Makhluk itu muncul dari kehampaan. Dia tiba-tiba saja sudah  berdiri dengan berkacak pinggang menghadangkan di bibir pintu. Tubuhnya  yang langsing itu masih mengenakan gaun malam berwarna perak. Bibirnya  tersenyum sinis dengan sorot mata melotot tajam.
Tanpa kuasa menolak,  aku mengikuti langkah wanita itu ketika dia menuntun lenganku pergi  meninggalkan kapal. Hanya itu terakhir yang kuingat di ambang batas  kesadaranku.
Rupanya, tak seorang ABK pun tahu bahwa aku kembali  dirasuki dan pergi bersama sosok perempuan misteri itu ke alamnya. Ya,  suatu tempat yang sulit diketahui di mana letak persisnya. Sebuah tempat  yang sangat asing bagiku, dan bagi siapa pun juga. Mungkin bukan di  alam nyata. Yang pasti, panorama alamnya begitu indah dilatari sederetan  pohon rindang.
Anehnya, selama dalam pengembaraan itu, yang  kurasakan bukannya malam hari, tetapi suatu sore saat matahari akan  tenggelam. Cuaca redup menyejukkan. Seluas mata memandang, yang kulihat  hanyalah hamparan pemandangan menakjubkan.
Setelah cukup lama  berjalan, akupun merasa lelah. Aku mengajaknya duduk di tepi sebuah  telaga. Wanita itu berdiri membelakangiku. Sementara aku tak berkedip  memandangi ikan-ikan beraneka warna yang terus berenang berseliwaran di  dalam telaga yang sangat bening. Karena kelelahan, aku bersandar pada  pokok pohon mati ditepi telaga itu. Tak lama kemudian, makhluk itu  melirikku sekilas, lalu pergi tanpa bicara sepatah katapun.
Yang tak  kalah aneh, saat terjaga, aku berada buritan kapal. Dengan gugup, aku  segera berlari meninggalkan lokasi ini. Waktu itu pagi sudah tiba. Saat  masuk kamar, kulihat Very belum juga bangun.
Pagi itu, perasaanku tak  menentu. Aku merenung, mengenang perjalanan yang kutelusuri di luar  kesadaranku. Sementara. Ratu Rosali bertolak meninggalkan pelabuhan  Ketapang.
Selama dalam pelayaran menuju Pontianak, sengaja aku pindah kamar. Temanku tak keberatan bertukar kamar yang kuanggap sial itu.
“Dengan  senang hati aku akan tidur di kamarmu. Jika nasib lagi mujur, siapa  tahu makhluk itu hadir dalam mimpiku nanti. Kemudian memberi angka jitu.  Lalu aku kaya mendadak jadi jutawan,” ujar Idham, temanku, dengan  gayanya yang jenaka.
Setelah bertukar kamar dengan Idham, kukira  wanita gaib itu tak lagi mengusikku. Namun, kenyataannya dia terus  mengikuti kemana pun aku pindah, bahkan ke mana pun kapal berlayar. Aku  tak bisa mendeteksi keberadaannya aku karena tak punya kemampuan  supranatural.
Di kamar yang baru, aku beranjak tidur dengan perasaan  sedikit lega. Biarlah temanku yang didatangi makhluk gaib itu. Tapi, apa  yang terjadi? Tiba-tiba dia muncul lagi dalam mimpiku. Kulihat dia  tampak beringas, sepertin ingin menelanku hidup-hidup. Jelas terdengar  saat wanita itu bicara begini, “Namaku Tukiyem. Aku minta disediakan  kambing putih.”
Bahkan, dia mengancam akan terus meneror ABK Ratu  Rosali sebelum keinginannya dikabulkan. Aku hanya melongo terdiam. Hanya  bisa mendengar, ingin bicara, tapi tak terucapkan.
Mimpi malam itu  makin membulatkan tekadku untuk mengundurkan diri. Aku tak harus takut  tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan di darat. Bukankah tersedia banyak  pilihan dalam hidup? Jika mau berusaha, selalu ada jalan, demikian  pikirku.
Bila tak ada peluang di daratan, apa salahnya kembali bekerja di laut. Tak harus kapal kargo Ratu Rosali yang berhantu ini.
Setelah  selesai bongkar muatan di pelabuhan Pontianak, malamnya aku menemui Pak  Chief di kamarnya. Dengan tegas kusampaikan keputusanku. Mendengar itu,  dia menyipitkan mata. Mungkin sulit memahami alasan pengunduran diriku  yang begitu mendadak. Tapi, dia merasa tidak berhak menghalangi niatku.
Sebelum  pergi meninggalkan kapal, aku harus menceritakan mimpiku semalam. Salah  besar jika kupendam sendiri. Demi keselamatan seisi kapal, apa salahnya  memenuhi permintaan makhluk itu.
Sepertinya Pak Chief tak  mempercayai kata-kataku. Dia mengangap makhluk gaib jenis apapun  hanyalah tahyul belaka. Tak mengapa. Yang penting aku lega, sebab mimpi  yang membebani pikiranku itu telah kuceritakan padanya.
Sebulan  kemudian, Ratu Rosali kembali berlayar ke Malaysia. Sebelum kapal  bertolak, aku menemui Very dan menanyakan tentang kambing putih  permintaan makhluk itu. Tapi jawabannya, “Pak Chief mengabaikan itu!”
Aku membatin, ABK siapa lagi yang akan diteror wanita sialan itu nanti?
Sementara  belum mendapat pekerjaan, aku menghabiskan hati-hariku di pelabuhan.  Kadang ikut melaut dengan perahu nelayan. Berangkat pagi mencari ikan,  sore harinya kembali ke daratan.
Waktu terus berlalu, Senin pagi,  tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan kapal nelayan yang membawa Pak  Chief bersama 10 ABK Ratu Rosali. Kapal nelayan itu menyelamatkan mereka  saat terapung di tengah laut, tak jauh dari pulau Marundang.
Menurut  Very, yang kutemui dalam keadaan shock, saat melintasi lautan pulau  Marundang, kapal kembali mengalami kerusakan. Baling-baling kemudi patah  tanpa sebab. Ketika itulah tiba-tiba angin bertiup kencang dari dua  arah, barat dan barat laut, membangkitkan ombak setinggi 5 meter.
Ratu  Rosali terombang-ambing tanpa daya. Akhirnya, suatu tamparan ombak yang  begitu dahsyat menenggelamkannya. Tamatlah riwayat kapal kargo itu….
Mendengar  cerita Veri, seketika sosok makhluk itu berkelebat dalam benakku.  Adakah hubungan kecelakaan itu dengan sikap sombong Pak Chief, yang tak  mau memberikan kambing putih pada sosok perempuan gaib yang mengaku  bernama Tukiyem itu?
Wallahu’alam. Hanya Allah SWT yang mengetahui rahasia hikmah di balik setiap musibah. 
 Sumber 
			
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang : 
https://ambooyat5.blogspot.com/2020/04/kisah-seram-misteri-pulau-marundang.html