Uu Cipta Kerja Disahkan Bisakah Jadi Karpet Merah Untuk Investor Begini Kata Analis Indef
DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang per Senin (7/1/2020).
Pengesahan undang-undang sapu jagat tersebut dilakukan di tengah penolakan yang dilakukan oleh berbagai pihak, terutama oleh para buruh.
Pemerintah sebagai inisator pembentukan undang-undang yang digarap dengan metode omnibus law tersebut menganggap Cipta Kerja bisa menjadi jurus ampuh untuk mengundang investor.
Bahkan menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, UU Cipta Kerja bisa menjadi amunisi agar Indonesia terlepas dari jerat perangkap negara berpendapatan menengah atau middle income trap.
Ambisi Presiden Joko Widodo tersebut sebelumnya juga sempat diungkapkan ketika Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan pada Oktober 2019 lalu.
"Bapak Joko Widodo dalam pelantikan presiden terpilih periode 2019 - 2024 pada 20 Oktober 2019 lalu telah menyampakan kita punya potensi untuk dapat keluar dari jebakan penghasilan menengah," kata Airlangga ketika melaklukan pidato usai pengesahan UU Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna DPR RI.
Stagnasi Peringkat EoDB
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami stagnasi dalam peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengungkapkan isu yang menjadi kendala Indonesia untuk bisa meningkatkan peringkat EoDB yakni dalam hal kemudahan untuk memulai usaha.
Bank Dunia menempatkan Indonesia dalam peringkat ke-73 dari 190 negara dengan skor kemudahan berusaha 69,6 pada tahun ini. Peringkat itu meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 68,2.
Namun, peringkat EoDB Indonesia cenderung stagnan di posisi 73 sejak 2019.
Suasana pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)
Sementara pada kemudahan dalam membayar pajak, Indonesia berada pada peringkat ke-81 dari 190 negara. Skornya 75,8, meningkat dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya 68,4. Febrio berharap skor dan peringkat kemudahan membayar pajak Indonesia akan terus meningkat setelah UU Cipta Kerja berlaku.
"Itu yang sebenarnya mendominasi Omnibus Law Cipta Kerja, menyederhanakan proses untuk membangun usaha, untuk startup. Jangan sampai orang yang punya ide, cepat menghasilkan produk, membuat lapangan kerja, susah izinnya," ucap Febrio dalam disuksi secara virtual, Selasa (6/10/2020).
Selain itu, masalah perpajakan juga menjadi salah satu kendala Indonesia dinilai tidak cukup menarik bagi investor.
"Masalah pajak, itu yang jelas nomor paling jelek di EoDB, orang bayar pajak masih merasa sulit, itu aneh. Kami maunya bayar pajak sesimpel mungkin dan sepredictable mungkin," kata Febrio.
"Dan itu dibuat kepastian dalam omnibus law," sambung dia.
Pada UU Cipta Kerja yang disahkan DPR RI kemarin, terdapat klaster Perpajakan yang memuat 4 pasal. Keempat pasal itu mengubah UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Tak Serta Merta Datangkan Investor
Upaya pemerintah untuk mendatangkan investor lewat UU Cipta Kerja di sisi lain dinilai tak efektif.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai penyederhanaan regulasi yang terakomidasi lewat UU Cipta Kerja hanya satu dari berbagai pertimbangan investor untuk melakukan investasi.
Dia pun menyoroti kinerja logisitk Indonesia yang dinilai masih terlampau mahal jika dibandingkan dengan negara lain di dunia.
Di sisi lain, kondisi perekonomian Indonesia juga dianggap belum cukup stabil.
"Saat ini stabilitas ekonomi Indonesia belum dikatakan stabil karena secara fundamental ekonomi masih belum kuat yang diakibatkan masalah deindustrialisasi, ketergantungan impor, hingga pendalaman pasar keuangan," kata Yusuf ketika dihubungi Kompas.com.
Cita-cita pemerintah untuk bisa mengundang investasi padat karya dinilai semu.
Pasalnya kini terjadi pergeseran tren investasi. Karakteristik investasi kini tak lagi untuk industri-industri manufaktur yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
"Terakhir, investor mempertimbangkan masalah sustainabilty yang berkaitan dengan lingkungan sesuatu yang justru dilonggarakan pada UU Ciptaker ini," ujar Yusuf.
Setali tiga uang, Ekonom Institure for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan investor untuk menanamkan modal di dalam negeri meski sudah ada UU Cipta Kerja.
Salah satunya, penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
"Kalau lihat kasus penularan Covid-19 masih tinggi dan banyak negara menutup pintu masuk untuk WNI. Itu kan sangat gamblang tapi pemerintah malah sibuk dari awal bahas omnibus law," ujar dia.
Menurut Bhima, pemerintah tidak mampu melihat masalah fundamental yang sedang terjadi, yakni penanganan pandemi.
Dia pun mengatakan, hal itu akan berdampak besar terhadap kepercayaan investor ke depan.
Menurut Bhima, kunci untuk bisa menarik investasi masuk ke RI, terutama untuk investasi padat karya, adalah meningkatkan upaya untuk penanganan pandemi.
Selain itu, pemerintah juga perlu memulihkan konsumsi rumah tangga yang juga tertekan akibat pandemi.
"Selain itu pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas lingkungan hidup hingga bagaimana cara pemerintah menekan biaya logistik. Itu semua luput dari pembahasan omnibus law," ujar dia.
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://www.bagibagi.info/2020/10/uu-cipta-kerja-disahkan-bisakah-jadi.html