Sidang Lanjutan Di Mk Pemohon Presiden Papua Ada Sejumlah Perbaikan
Pemohon Uji KUHP Tambah Satu Undang-Undang
JAKARTA, HUMAS MKRI – Forkorus Yaboisembut selaku Pemohon perkara Nomor 76/PUU-XVII/2019 yang menguji Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menyampaikan sejumlah perbaikan pada sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (8/1/2020).
“Sesuai dengan permintaan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, kami menambah satu undang-undang dalam permohonan yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,” kata Forkorus kepada Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Berikutnya, Pemohon menghilangkan pernyataan dalam permohonan yang dianggap Majelis Hakim Konstitusi sebagai ancaman mungkin ataupun tekanan dari Pemohon. Bahwa Pemohon mau melaporkan permasalahan yang dianggap merugikan Pemohon ke Mahkamah Internasional. “Bagian itu sudah kami hilangkan,” ujar Forkorus.
Perbaikan permohonan yang ketiga, sambung Pemohon, tentang maklumat kapolda itu tidak dipakai Pemohon. Namun hanya sebagai salah satu bukti. “Itu kami tambah sebagai salah satu bukti. Kemudian yang berikut, kami masukkan kesimpulan. Ada berapa butir. Kemudian yang terakhir ada petitum dan kami menghilangkan kata ‘negara federal’,” urai Forkorus.
Sebagaimana diketahui, pada sidang pendahuluan Pemohon antara lain menguji Pasal 87 KUHP, “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti imaksud dalam pasal 53.” Selain itu Pasal 88 KUHP, “ Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan.”
Kemudian juga Pasal 104 KUHP, “Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”
Dalam permohonan, Pemohon menyatakan keberatan terhadap surat maklumat Kapolda Papua Nomor Mak/1/IX/2019 tentang Keamanan dan Ketertiban Umum yang pada pokoknya berisi larangan melakukan kegiatan yang memisahkan diri dari NKRI dan melakukan pemufakatan jahat sebagaimana diatur dalam Pasal 87, Pasal 88 Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 KUHP.
Menurut Pemohon, dengan dikeluarkan maklumat tersebut terhadap seluruh Masyarakat Adat Papua (MAP) yang berada dalam Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) telah menimbulkan kerugian bagi Pemohon sebagaimana tercantum dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan Deklarasi Pemulihan Kemerdekaan Sepihak Bangsa Papua di Negeri Papua Barat atas mantan wilayah kolonial Nederlands New Guinea (Papua Belanda) di Jayapura Kota pada 19 Oktober 2011, bangsa Papua telah menyatakan kemerdekaannya. Hal demikian telah sesuai dengan asas uti possidetis juris dan legal successor of state, sehingga secara hukum telah sah sebagai subjek hukum internasional dan telah memenuhi norma jus cogens.
Pemohon meminta peraturan perundang-undangan lain yang masih relevan dengan jus cogens tetap berlaku dan pemberlakuan pasal undang-undang a quo dihilangkan agar Masyarakat Adat Papua dapat mencari solusi penyelesaian sengketa hukum wilayah (aneksasi) antara NKRI dan NFRPB. (Nano Tresna Arfana/LA)
sumber:https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16153&menu=2
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2020/01/sidang-lanjutan-di-mk-pemohon-presiden.html