Terkait Penggunaan Koteka Hakim Kembali Tunda Sidang 6 Aktivis Papua
Hakim Kembali Tunda Sidang 6 Aktivis Papua karena Pakaian Adat
Senin (13/01), Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menunda sidang kasus 6 (enam) aktivis Papua karena para aktivis menggunakan Koteka, pakaian adat Papua. Sidang yang sedianya beragendakan tanggapan penuntut umum atas nota keberatan penasihat hukum terpaksa ditunda selama 1 minggu dan akan dilanjutkan kembali pada Senin, 20 Januari 2020.
Karena ketidakhadiran penuntut umum sejak pagi, sidang yang seharusnya dimulai pukul 11.00 WIB baru bisa dibuka pada pukul 16.20 WIB. Sebelum sidang dibuka untuk ditunda, terjadi diskusi antara Majelis Hakim, penuntut umum, dan penasihat hukum terkait penggunaan Koteka dalam persidangan. Hakim meminta kepada penasihat hukum untuk menjelaskan kepada terdakwa bahwa penggunaan koteka tidak diperbolehkan, minimal harus menggunakan celana. Penasihat hukum menyatakan sudah menjelaskan kepada terdakwa dan terdakwa tetap memilih menggunakan koteka karena merupakan identitas budaya masyarakat Papua.
"Saya jelaskan dahulu. Sebelumnya, saya minta maaf, saya juga menghargai adat Papua, saya juga pernah tugas di timur (Papua). Jadi untuk sidang ini kita sudah koordinasi. Besok, kita berpakaian kaya kemarin, celana pendek, masih saya (izinkan), kalau kaya gini (pakai koteka) kan kita sudah ada aturannya. Jadi sidang kita tunda untuk 1 minggu. Dan besok, mulai minggu depan, tolong ya kalau pakaian seperti yang kemarin diperbolehkan, pakai topi ya tetap pakai celana pendek," jelas Ketua Majelis Hakim, Agustinus Setya Wahyu Triwiranto.
Salah satu terdakwa, Dano Anes Tabuni, pada persidangan mengungkapkan, bahwa dirinya sudah terbiasa menggunakan Koteka sejak dahulu, sebab katanya, menggunakan Koteka sudah dilakukan masyarakat Papua sejak dahulu, bahkan sebelum Indonesia masuk ke Papua. Alasan tersebut menjadi masuk akal, mengingat Koteka merupakan pakaian kebesaran masyarakat Papua.
“Pak Hakim yang mulia, jika bahasanya lebih sopan, maka saya rasa ini adalah lebih sopan. Sebelum negara ini ada di Tanah Papua, aku sudah begini. Orang tuaku pakai koteka seperti ini. Kalau negara akui Papua bagian dari Indonesia, harus menghargai martabat orang Papua,” kata Dano Anes Tabuni (Ia bersama Ambrosius Mulait terlihat bangga menggunakan pakaian adat Papua dalam persidangan).
Sementara salah satu penasihat hukum 6 aktivis Papua, Matthew Michele kepada Majelis Hakim mengungkapkan bahwa dirinya dan para penasihat hukum lainnya sudah memberitahu para terdakwa soal prosedur di pengadilan. Namun, Matthew dan penasihat hukum lainnya mengembalikan semua kepada keenam aktivis Papua tersebut. Sebagaimana diutarakan oleh Dano Anes Tabuni, justru dengan menggunakan pakaian adat kebesaran masyarakat Papua, Ia sangat menghargai pengadilan.
“Majelis Hakim yang mulia, pada dasarnya, tadi kami juga sudah sampaikan kepada terdakwa. Namun demikian, apa yang sudah kami sampaikan sebelumnya, apa yang disampaikan oleh teman-teman terdakwa disini adalah mereka ingin menghormati persidangan Majelis Hakim yang mulia dengan menggunakan adat istiadatnya. Namun demikian, sebagaimana yang telah didiskusikan bahwa ada sikap dan ada prosedur yang sudah ajeg begitu. Namun demikian, kami dari kuasa hukum, pada dasarnya, hanya menyerahkan saja kepada terdakwa. Dan kami beruntung sekali disini, terdakwa juga bisa menyampaikan hal ini kepada majelis hakim yang mulia,” ucap Matthew Michele, S.H.
Selain penggunaan pakaian adat yang mewarnai persidangan, penasihat hukum juga meminta kepada hakim agar pihak kepolisian yang menjaga persidangan ini juga tidak membawa senjata laras panjang dikarenakan sudah ada aturannya dalam tata tertib persidangan dan majelis hakim pun memerintahkan hal tersebut kepada pihak kepolisian yang berjaga.
Sebelumnya, ke-6 aktivis Papua, yaitu Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, Ambrosius Mulait dan Arina Elopere, ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka pada 30-31 Agustus 2019 dengan tuduhan makar karena menyampaikan pendapat di muka umum atau unjuk rasa pada tanggal 28 Agustus 2019. Unjuk rasa tersebut sejatinya mengusung tema “Menolak Rasisme dan Diskriminasi terhadap Orang Papua”, yang dilatarbelakangi ucapan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Namun aksi damai yang dijamin oleh konstitusi tersebut berakhir dengan penangkapan, tuduhan makar, serta ancaman pidana penjara seumur hidup. (Dirga)
Sumber: https://www.bantuanhukum.or.id/web/hakim-kembali-tunda-sidang-6-aktivis-papua-karena-pakaian-adat/
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2020/01/terkait-penggunaan-koteka-hakim-kembali.html