Pendudukan Dan Penjajahan Indonesia Di West Papua Harus Diakhiri
WEST PAPUA:
100% TIDAK MENERIMA PENGHINAAN BANGSAKU & RAKYATKU DENGAN STIGMA/ MITOS SEPARATIS, OPM, MAKAR & KKSB
Oleh Dr. Socratez S.Yoman
1. Pendahuluan
Penjajah Pemerintah Belanda memberikan stigma kepada Ir. Sukarno dan para pejuang Indonesia sebagai separatis dan pembuat makar.
Mengapa Ir. Sukarno dan teman-temannya melawan kolonial Belanda pada hal kolonial Belanda sudah membangun jalan, jembatan yang bagus di seluruh Jawa?
Ir. Sukarno menyadari bahwa Belanda ialah bangsa kolonial yang menduduki dan menjajah dan merampok kehormatan dan harta kekayaan Indonesia. Ir. Sukarno tidak terpengaruh dengan infrastruktur jalan dan jembatan yang dibangun penjajah Belanda. Ir. Sukarno tahu, sadar, mengerti bahwa jalan dan jembatan yang dibangun penjajah Belanda hanya untuk memperlancar mobilisasi lebih mudah bagi penjajah dalam merampok kekayaan Indonesia.
Separatis Ir. Sukarno dibuang & dipenjarakan di Ende Flores, diasingkan di Boven Digul di West Papua.
2. Nelson Mandela di Afrika Selatan
Madiba Nelson Mandela diberikan stigma Komunis oleh penguasa penjajah & kolonial kaum apartheid di Amerika Selatan. Nelson Mandela seorang terdidik dan berilmu dan berlatar belakang Sarjana Hukum. Ia pengacara.
Madiba bangkit dan melawan Apartheid dengan cara-cara cerdas, elegan, bermartabat. Madiba diasingkan dari rakyat dan bangsanya di penjara Roben Island jauh dari keluarga.
Demi hati nuraninya, demi bangsanya, demi rakyatnya, Madiba dengan para pejuang terdidik lain dipenjarakan selama 20 tahun. Madiba mengatakan bahwa di penjara ialah Perguruan Tinggi terbaik & ia banyak belajar di penjara Roben Island.
Suara Kebenaran dipenjarakan. Suara Keadilan dipenjarakan. Suara Kejujuran dipenjarakan. Suara Kasih dan kedamaian dipenjarakan. Suara nilai kemanusiaan dipenjarakan. Suara kesamaan hak dan martabat manusia dipenjarakan.
Walaupun demikian, semua nilai universal ini tidak dipenjarakan oleh kekuatan dan kekuasaan kolonial apartheid. Semuanya abadi.
2. Lahirnya Kesadaran Mohandas Mahatma Gandhi
John McCain bersama Mark Salter dalam buku berjudul: "Karakter-Karakter yang Menggugah Dunia" dengan sangat indah mengabadikan pengalaman Moh.Gandhi, bapak dari rakyat & bangsa India.
Gandhi berpendidikan hukum di London dan berprofesi menjadi penasihat hukum. Kembali ke India dari London, Inggris dan dari India Gandhi ke Durban Afrika Selatan menjadi Penasihat hukum/Pengacara.
Penguasa Apartheid menamakan orang-orang India di Afrika Selatan dengan sebut "coolie" atau "Sami" artinya pelayan atau pesuruh.
Untuk pertama kalinya, Gandhi menjadi penasihat hukum/pembela Abdullah Seth. Dalam ruang persidangan Gandhi diminta lepaskan turban/tutup kepala Indianya. Ia marah dan tinggalkan ruang sidang. Ia mau melepaskannya tapi Abdullah nasihati dia jangan melepaskannya. Kalau dilepaskan berarti ia akan mengecilkan hati orang India di Afrika Selatan.
Gandhi berbicara di koran Durban dan mengatakan bahwa ia tidak akan melepaskan hak untuk berbusana sesuai kebiasaan di negerinya dan bangsanya menggunakan turban.
Masalah ini dibahas banyak koran di Durban dan seluruh Afrika Selatan. Penguasa Apartheid menghina Gandhi dengan julukan: " Tamu yang tidak diharapkan dan Penasihat kelas coolie."
Beberapa hari kemudian Abdullah Seth mengirim Gandhi ke Pretoria dengan tiket kereta api kelas utama. Seorang penumpang kulit putih yang memasuki gerbong kelas utama merasa gusar dan marah menemukan seorang coolie berbusana Inggris duduk nyaman bersama orang Eropa. Orang kulit putih ini mengajukan protes kepada kondektur, dan Gandhi segera dipindahkan ke gerbong kelas tiga. Gandhi menolak. Ia diusir dan barang-barangnya disita dan ditinggalkan kedinginan yang luar biasa di malam musim dingin di ruang tunggu stasiun kerepa api.
Besoknya ia naik kereta yang lain dengan lancar. Tapi dalam perjalanannya ia dihina lebih parah. Gandhi disuruh pindah ke gerbong sebelah pengemudi. Ia menurut dan tidak mau diturunkan lagi.
Kondektur marah besar dan memukul dan mencederai dengan serius jika penumpang lain tak melerai dan boleh duduk bersama mereka.
"Gandhi mengalami penghinaan... selama tinggal di Afrika Selatan. Dalam beberapa minggu saja, ia menemukan bahwa orang Eropa abad ke-19 menganut hierarki ras, bahwa mereka ada di atas dan orang kulit berwarna di bawah.
Perjalanan ke Pretoria melahirkan perubahan besar dalam dirinya. Lenyap sudah rasa malu. Lenyap sudah rasa tak peduli. Lenyap sudah kenaifan tentang cara kerja dunia. Lenyap sudah ambisi pribadi sederhana untuk hidup pantas bagi keluarganya dan profesi terhormat. Lenyap sudah kebanggaan akan keangkuhan sendiri, digantikan martabat dan kukuh dan penghormatan akan martabat setiap manusia, teman maupun musuh, tak lebih besar atau kecil daripada penghormatan pada martabatnya sendiri. Inilah yang sungguh-sungguh menjadikannya sebagai Mahatma. Kelak ia memandang penghinaan itu dengan rasa syukur, karena semua merupakan petunjuk baginya. Ia menganggap itu sebagai titik balik kehidupannya. Jadi, Tuhan meletakkan batu landasan hidup saya di Afrika Selatan, tulisnya." (2002: hal 16,17).
4. Pejuang bangsa West Papua
Ketika Ir. Sukarno dan kawan-kawannya melawan kolonial Belanda di Indonesia ia dan kawan-kawannya distigma separatis oleh kolonial Belanda.
Pada saat Nelson Mandela memperjuangkan hak kesetaraan dan keadilan dan kemanusiaan distigma komunis oleh kolonial apartheid di Afrika Selatan.
Mahadma Gandhi berjuang untuk martabat bangsanya India distigma pembela dan penasihat kelas coolie. Ia dibuang dan dihina dari kereta dan tidur di stasiun kereta api dalam cuaca yang dingin dan dipukul dalam kereta api.
Watak kolonial Belanda, Apartheid sudah menjadi ilmu/pelajaran bagi kolonial Indonesia yang menduduki, menjajah, menindas dan merampok bangsa West Papua dengan diberikan stigma OPM, Separatis, makar dan KKB/KKSB.
Pendudukan dan penjajahan Indonesia di West Papua HARUS diakhiri.
Waa....
IWP, 10/11/2018; 06:04
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2018/11/pendudukan-dan-penjajahan-indonesia-di.html