Melayu Disamun Oleh Bangsawan Melayu 8776
Akibat tika berkuasa Bangsawan Melayu tak mahu dengar nasihat Ulama.
Waktu itu bangsawan Melayu berkata kesat pun Melayu boleh bertepuk tangan, seronok, hilai tawa lagi dan bersorak kononnya puas sangat waktu itu. Kata itu doa. Xsanggup nak taip apa kata-kata kesat yang diperdengarkan dulu. Ada kalangan mereka tidak ragu-ragu menyajikan isyarat lucah. Ialah waktu itu mereka tidak pernah terfikir Umno bakal jatuh. Mereka gah Umno parti keramat. Keramat biasanya tidak akan pernah kalah, itu andaian mereka yang telah dibuai perasaan ego, sombong dan bongkak. Takdir dan ketentuan Allah telah menetapkan garis Umno telah menjadi pembangkang. Lebih malang lagi, bekas-bekas Perdana Menteri, Menteri-menteri, penjawat-penjawat awam dan sebagainya terpaling dengan puluhan dakwaan yang bakal dibicarakan kelah. Tiada lagi harga jasa bila diri tidak amanah sebagaimana Allah kehendaki. Didapati bersalah denda dan penjara menanti. Masya Allah.
Lebih malang lagi Melayu disamun oleh kononnya Melayu, yang langsung xada rupa Melayu.
Yang riuh rendah sekarang adalah mereka yang pendiam semasa Melayu samun Melayu di era Umno sebagai penguasa. Mengapa mereka riuh sekarang? Ada udang sebalik batu? Seperti biasa mereka jadikan Melayu banyak sebagai alat agar takut kepada bayang-bayang, walhal mereka yang dulu pendiam sudah terlalu takut dengan bayang-bayang sendiri.
Banyak Melayu lupa fakta semasa kononnya Melayu yang tadbir Malaysia sebelum 9 Mei 2018, pemimpin politik itu terlalu hebat. Bila dikaji sejarah, ketua yang tak sepatutnya jadi ketua masa kini.
Dengar, dengar dan dengarkanlah
Singapura tergadai, begitu juga dengan Pulau Batu Putih, angkara Umno negara itu jadi negara kafir. Pusat perjudian Genting Highland pun wawasan pemimpin Melayu. Tahung Haji dan Felda kesemua hartanya dirogol dan dijarah oleh pemimpin palsu, pemimpin yang hipokrit, perasuah dan kleptokrasi.
Kontrak sosial. Siapa sebenarnya yang menghapuskan Melayu? Makin hari makin terbongkar bukan setakat agenda2 tetapi betapa jahat dan rakusnya pemimpin umno semasa berkuasa dulu. Umat Harus Ikuti Ulama, Bukan Ulama Mengikuti Umat. Itu yang terbinanya Masjid Negara antaranya dengan duit Loteri Kebajikan Masyarakat. Kononnya dosa dia tanggung bila dinasihati agamawan di waktu itu. Melayu disamun oleh bangsawan Melayu.
Lalu siapa yang telah merosak Malaysia ini. Mereka adalah kelompok Melayu kapitalis yang serakah merompak kekayaan Malaysia. Emosi atau provokasi umat, maka umat itu akan hancur dengan sendirinya.
Tiada lagi
Sekarang sudah tiada kuasa lagi, bangkit isu perkauman, salahkan DAP, MCA dalam BN bersama Umno terlalu suci. Guna Islam sebagai provokasi politik. Lagu Warisan sekadar lagu, anak kecil yang jujur, tetapi tua-tua peneraju Umno lah penggadai dan penghakis kradibiliti Melayu. Sendiri yang buat onar Cina DAP yang dikambing hitamkan. Nauzubillahminzalik. Sepatutnya bermuhasabah diri. Ialah hidayah hak Allah. Doakan yang terbaik baik untuk yang menang dan yang kalah serta yang masih kekal sebagai pembangkang.
Siyasah Syariyyah: Jujur dan Tepat dalam Mengukur Mudharat
Rabu, 28 Maret 2018 13:00
Foto: Menimbang mudharat (ilustrasi)
KIBLAT.NET — Menjelang musim Pemilu, kata “mudharat” yang secara mudahnya berarti “bahaya,” menjadi titik silang perdebatan antara kelompok cobloser dan golputer. Di sini, pembahasan hukum demokrasi (dianggap) sudah selesai. Demokrasi, yang menjadi ruh Pemilu itu adalah sistem yang tertolak, karena merenggut kedaulatan Allah untuk diserahkan kepada manusia.
Masalahnya, dalam kondisi istidhaf (lemah) ini kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak ideal, sama-sama buruk, tapi kita mencoba mengambil yang terbaik diantara yang terburuk itu.
Dari dua orang yang tampil sebagai kontestan, sebut saja A dan B, sama-sama bukan sosok yang ideal bila dilihat dari kacamata Islam. Namun, setidaknya A lebih berbahaya ketimbang B dari berbagai aspek, misalnya. Akhirnya kita putuskan memilih B.
Atau, kita tahu bahwa sistem Demokrasi yang hari ini berlaku bukanlah sistem Islam. Tetapi, kita (seolah) tidak memiliki pilihan lain untuk menghindari mudharat bagi umat, selain turut meleburkan dalam sistem tersebut.
Hasil akhir yang akan kita peroleh sudah dapat kita prediksi, bahwa kita tidak akan mendapatkan hal yang ideal atau terbaik. Namun setidaknya ada mudharat besar yang bisa kita hindarkan dengan mengambil mudharat yang lebih kecil.
Prinsip ini diilhami oleh sebuah kaidah usul fikih, yaitu bila kita dihadapkan pada dua mudharat, maka mudharat yang kita ambil adalah yang paling kecil nilainya. Masalahnya, ukuran apa yang dipakai untuk menilai mudharat-tidaknya sesuatu? Siapa yang berhak menentukan sesuatu itu mudharat atau tidak?
Sifat dan Spektrum Mudharat
Ada tiga bentuk sifat mudharat yang harus didudukkan sebelum menentukan langkah berikutnya. Pertama, mudharat yang bersifat mutawaqqi’ah, yaitu mudharat yang jelas-jelas nyata terjadi. Hampir semua orang berakal menyepakati bahwa mudharat yang dimaksud ada, dan memang mengancam.
Kedua, bersifat mutasyakkikah. Mudharat jenis ini diliputi keragu-raguan, apakah ia benar-benar nyata atau tidak. Atau, ia merupakan mudharat yang bersifat temporer, bukan permanen. Kadang-kadang berbahaya, tapi pada suatu ketika menjadi hal yang lumrah saja dan tidak berbahaya.
Terakhir, mudharat yang bersifat mauhumah. Hakikatnya ia bukan sebuah mudharat, tetapi oleh satu dan lain sebab, manusia mempersepsikannya sebagai bahaya. Sifat bahaya itu hanya pada tataran prasangka, belum terbukti secara nyata.
Selain tiga sifat di atas, sebuah mudharat juga harus ditentukan spektrum, atau wilayah yang menjadi sasaran dari mudharat tersebut. Aspeknya mencakup lima hal yang juga dikenal dengan dharuriyat khamsah. Yaitu, apakah sebuah mudharat yang dimaksud itu mengancam: agama (din), jiwa (nafs), keturunan (nasl), harta (maal), akal (aql).
Lalu siapa yang berhak menentukan sebuah mudharat X itu mempunyai tingkatan mudharat pertama, kedua atau ketiga; berikut spektrum potensi ancamannya?
Tentu saja para alim-ulama yang selain memiliki kompetensi ulumus syar’i standar. Menguasai fikih siyasah syariyah dalam masalah ma’aalat, muwazanah dan ilmu maqashid.
Selain itu, mereka pun perlu mengetahui realitas (waqi’) dengan kadar akurat, tidak ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi.
Melihat kompleksitas alat ukur di atas, rasanya mustahil bila satu orang sosok atau perwakilan satu kelompok saja mampu menakar dengan adil kadar sebuah mudharat. Sebab, seringkali obyek yang tidak dilihat oleh satu pihak, ternyata disaksikan oleh pihak lain.
Oleh sebab itu, dalam konteks masalah politik yang menjadi PR umat Islam hari ini, diperlukan semacam kaukus alim-ulama yang terus memantau perkembangan (waqi’), membahasnya dalam bingkai kajian ilmiyah untuk kemudian memberikan arahan (guidance, irsyadat) kepada umat.
Penulis: Muhajirin Ibrahim LcEditor: HamdanSiyasah Syariyyah: Jujur dan Tepat dalam Mengukur Mudharat - Kiblat
https://www.kiblat.net/2018/03/28/siyasah-syariyyah-jujur-dan-tepat-dalam-mengukur-mudharat/
Siyasah Syariyah; Perhatikan Dua Kondisi Ini Sebelum Memutuskan Coblos atau Golput
Senin, 26 Maret 2018 18:48
Foto: Politik Islam
KIBLAT.NET — Tahun 2018 ini adalah bagian dari tahun-tahun politik dengan penyelenggaraan Pilkada, dan ujungnya Pilpres 2019. Dibanding dengan tahun-tahun politik lainnya, rententan penyelenggaraan Pilkada dan Pilpres kali ini dipastikan akan lebih “rame.” Salah satu penyebabnya, polarisasi masyarakat Indonesia dalam afiliasi politik mereka.
Sebagai kelompok mayoritas, sebagian besar umat Islam Indonesia merasakan “ada masalah” yang terjadi pada pemerintahan kali ini. Di antaranya kebijakan politik, hukum dan ekonomi yang dinilai tidak berpihak kepada kaum Muslimin dan pribumi. Hal ini semakin “rame” dengan adanya saluran informasi tanpa batas melalui internet—dengan media sosial sebagai andalan utamanya.
Atas dasar itu, ajakan untuk berpartisipasi dalam Pilkada dan Pilpres cukup menguat. Bahkan sampai kepada satu sindiran, bahwa problem politik yang menimpa umat Islam di Indonesia, di antara karena memilih golput dalam pemilihan sebelumnya. Jadi, kali ini harus turut mencoblos—entah partai atau sosok yang Muslim atau lainnya, yang penting “asal bukan dia.” Semua diniatkan untuk mengurangi dampak negatif (mudharat) yang dirasakan hadir pada pemerintahan sekarang ini.
Sementara itu, masih ada sekelompok umat Islam yang keukeuh golput. Alasan mereka, masalah ada pada sistem—partai dan sosok tokoh merupakan alat dari sistem tersebut. Selama sistemnya bobrok, sesaleh apapun orangnya tidak akan pernah bisa berkutik untuk membawa kemaslahatan. Kalaupun ada kemaslahatan, nilainya sangat sedikit, dan tidak sebanding dengan akibat yang lebih besar yaitu melalaikan kaum Muslimin dari kewajiban memperbaiki sistem yang ada dengan sistem Islam.
Rangkaian tulisan ini tidak akan memihak salah satu dari dua pilihan: golput atau nyoblos. Daripada terlibat mencampuri pilihan dan keyakinan masing-masing personal atau organisasi Muslim, Penulis memilih untuk menawarkan sebuah wacana tentang dhowabit (norma, parameter, rambu-rambu) dalam menentukan salah satu dari kedua pilihan di atas. Sebab, dhowabit tersebut hari ini tenggelam oleh riuh-rendahnya perdebatan tentang: golput atau nyoblos?
As-Siyasah As-Syariyah
Perdebatan itu sedikit-banyak mengaburkan tata-laksana yang sudah disediakan oleh Islam menjawab realitas kehidupan berpolitik seperti di atas. Padahal, dalam Islam dikenal prinsip As-Siyasah As-Syar’iyah, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai politik yang mengacu pada kaidah-kaidah syariat Islam. Jadi, ada ikatan Islam yang dinisbahkan, bukan asal siyasah atau politik.
Karena terikat dengan kata “Islam,” politik tersebut juga mempunyai tujuan dan target spesifik yang berkenaan Islam itu sendiri. Salah satunya, Ibnu Khaldun dalam Mukadimah-nya menyebutkan tujuan dari praktik As-Siyasah As-Syar’iyahadalah: Iqomatud din wa siyasatud dunya bihi (menegakkan agama Islam, dan mengatur urusan dunia ini dengannya). Target spesifik inilah yang membedakan mana kegiatan politik yang “direstui” oleh Islam, dan mana yang tidak.
Kita percaya, dalam keterlibatannya melakukan As-Siyasah As-Syariyah seorang Muslim yang baik mempunyai tujuan seperti digariskan Ibnu Khaldun di atas. Orang Islam mana sih yang tidak ingin Islam tegak menjadi supremasi sistem yang mengatur seluruh kehidupan di dunia ini, Namun, masalahnya ada dua kondisi yang dialami umat Islam saat hendak melaksanakan cita-cita mulia tersebut.
Pertama, adalah kondisi tamkin. Disebut juga kondisi ideal di mana syariat Islam menjadi sistem tunggal yang mengatur semua lini kehidupan. Bahasa mudahnya, kondisi saat Islam menang dan memegang tampuk kepemimpinan secara total. Ulama mempunyai istilah yang sangat apik, yaitu “Siyadatus Syariah.” Ibarat membangun rumah, semua alat, tukang, cuaca dan berbagai hal yang diperlukan untuk penegakan syariat sudah sempurna dan ready for use.
Sedangkan kondisi kedua, adalah kondisi tidak ideal, di mana Syariat Islam kehilangan kontrol terhadap semua lini kehidupan manusia. Kondisi ini disebut juga dengan istidh’af, yaitu kondisi saat Islam lemah di hadapan sistem lain yang menjadi rivalnya. Tanpa harus Penulis arahkan, tentu kita sepakat bahwa kondisi yang kita alami ini adalah kondisi model kedua.
Pembagian ini menjadi penting, karena kewajiban untuk menegakkan agama (iqomatud din) mengikat seluruh kaum Muslimin, apapun keadaan dan kondisinya. Sementara keadaan dan kondisi itu tidak tunggal, masing-masing memiliki rule of game yang berbeda. Berpolitik di saat istidh’af (lemah), tentu berbeda dengan saat Islam total berkuasa.
Wujud dua kondisi ini penting sebagai pondasi bagi pembahasan berikutnya. Agar para aktivis iqomatud dien sadar bahwa apapun pilihannya nanti, entah nyoblos atau golput, adalah langkah darurat yang harus ditempuh untuk meraih cita-cita yang ideal. Pada pembahasan berikutnya, kita akan menitikberatkan pada kondisi ke dua, di mana saat ini kita berada.
(Bersambung)Penulis: Muhajirin Ibrahim LcEditor: HamdanBaca tulisan selanjutnya di siniSiyasah Syariyah; Perhatikan Dua Kondisi Ini Sebelum Memutuskan Coblos atau Golput - Kiblat
https://www.kiblat.net/2018/03/26/siyasah-syariyah-perhatikan-dua-kondisi-ini-sebelum-memutuskan-coblos-atau-golput/
UAS: Memisahkan Agama dari Politik Sama dengan Memisahkannya dari Pernikahan
Jum'at, 20 April 2018 15:28
Foto: Ustadz Abdul Somad
KIBLAT.NET, Jakarta- Allah menurunkan Islam sebagai way of life, jalan hidup. Segala urusan kehidupan diatur dalam Islam, mulai dari urusan ibadah individu hingga politik.
Hal itu ditegaskan oleh dai nasional Ustadz Abdul Somad. “Allah menurunkan Islam ini sebagai way of life, bagaimana menjalani hidup. Baik politk, menikah, prakik sosial semua dengan panduan dari Al-Quran dan Sunnah,” katanya saat ditemui seusai berceramah di Panggung Utama Islamic Book Fair (IBF) 2018 di Jaakarta pada Kamis (19/04/2018).
Dia menegaskan bahwa tidak benar jika Islam hanya mengatur soal ibadah individual, seperti sholat dan puasa. Dai asal Riau itu menekankan bahwa Islam juga mengatur politik.
“Memisahkan agama dari politik sama dengan memisahkan agama dari jual-beli, pernikahan. Itu bagian dari kehidupan dan agama datang mengatur kehidupan. Jadi kalau agama hanya cerita tentang mati, tentang kubur, untuk apa fungsi agama,” tegas dai yang kerap disapa UAS.
Ustadz Somad menilai saat ini umat Islam di Indonesia sudah melek politik. Dia pun berharap Indonesia ke depan mendapat pemimpin yang lebih baik.“Mudah-mudahan Indonesia ke depan punya pemimpin yang amanah. Karena umat Islam sudah paham dengan politik,” tukasnya.
Reporter: Taufiq IshaqEditor: Imam S.UAS: Memisahkan Agama dari Politik Sama dengan Memisahkannya dari Pernikahan
https://www.kiblat.net/2018/04/20/uas-memisahkan-agama-dari-politik-sama-dengan-memisahkannya-dari-pernikahan/
Mengapa Masjid Dipisahkan dari Politik?
Selasa, 8 Mei 2018 05:20
Foto: Sekularisme masjidKIBLAT.NET – Ide memisahkan masjid dari politik di Indonesia ini lebih dulu merupakan gagasan Snouck Hurgronje. Ketika pemerintahan Belanda kewalahan menghadapi perlawanan rakyat Indonesia, mereka mencari cara untuk melemahkannya. Maka, Snouck menyarankan supaya pemerintah Belanda memberlakukan peraturan bahwa masjid hanya untuk tempat ritual ibadah. Ini adalah bentuk pembodohan supaya umat alergi dengan politik dan melihat politik sebagai racun agama.
Keterangan-keterangan di atas telah membantah anggapan tersebut, termasuk kelompok atau perorangan yang melarang pembahasan politik di masjid. Pandangan seperti itu justru akan melemahkan umat Islam, terkhusus lemahnya kesadaran umat Islam akan politik Islam. Hasilnya, masjid hanya untuk tempat ibadah ritual saja.
Sebaliknya, seharusnya masjid dijadikan tempat untuk menyadarkan umat Islam akan pentingnya politik dan bagaimana Islam mengatur urusan politik. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat di Madinah. Karena masjid merupakan pondasi awal pembangunan komunitas dan keumatan.
Sebab itulah, Rasulullah melihat terlebih dahulu adanya suara adzan sebelum memerangi suatu negeri. Karena, jika suatu negeri dikumandangkan adzan, maka itu tanda adanya umat Islam di daerah tersebut. Yaitu komunitas umat Islam yang masjid menjadi pusat kegiatannya.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا غَزَا قَوْمًا لَمْ يُغِرْ حَتَّى يُصْبِحَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ بَعْدَ مَا يُصْبِحُ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan menyerang suatu kaum, tidaklah Beliau menyerang sehingga datang waktu Subuh. Jika Beliau mendengar adzan, maka Beliau menahan diri. Dan jika tidak mendengar adzan, maka Beliau mulai menyerang setelah waktu Subuh”. (HR Bukhari no. 2725)
Politik adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam Islam. Islam tidak hanya mengatur urusan-urusan ibadah saja, bahkan hal yang sangat kecil, seperti keluar masuk WC saja diatur dalam Islam. Jika hal yang kecil saja diatur dalam Islam, apalagi urusan yang besar seperti politik yang menyangkut urusan banyak orang.
Sudah dimaklumi, konsekuensi dari paham sekuler adalah memisahkan politik dari agama, termasuk rumah ibadah. Karena pemahaman ini dilandasi dari pemikiran bahwa agama tidak ada hubungannya dengan politik, sedangkan bagi seorang muslim, syariat Islam adalah landasan utama dalam berpikir, berkata dan bertindak.
Apakah Politisasi Masjid dibenarkan?
Jika yang dimaksud dengan politisasi masjid adalah memanfaatkan masjid untuk berburu kepentingan politik sesaat, baik perorangan atau kelompok, maka ini suatu tindakan yang kurang beradab terhadap masjid. Karena masjid hanya akan menjadi alat atau tunggangan partai atau kelompok tertentu. Bukan untuk menyadarkan umat akan pendidikan politik Islam.
Malah memanfaatkan masjid untuk kepentingan politik semata.
Hal ini bisa dilihat dari adanya partai atau tokoh politik yang tidak memiliki visi Islam dan hari-harinya jauh dari kehidupan Islam, secara mendadak menjadi manusia-manusia religius. Baju koko menjadi trending dalam foto-foto kegiatan kampanyenya, jilbab menjadi hiasan pemanis muka menjelang pencalonannya. Termasuk masjid-masjid yang tidak luput dari jeratannya, supaya jamaah merekomendasikan dirinya.
Di sisi lain, sebelum musim kampanye, jangankan rutin ke masjid, kemampuannya mengucapkan kalimat-kalimat dzikir saja dipertanyakan. Terlebih ketika sebelumnya menjabat, kebijakan-kebijakannya kerap merugikan umat Islam. Lebih parah lagi, mereka dikenal dengan anti Islam atau Islamophobia.
Mental yang demikian merupakan mental orang munafik. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan :
مِنَ النِّفَاقِ اِخْتِلاَفُ القَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَاخْتِلاَفُ السِّرِّ وَالعَلاَنِيَّةِ ، وَاخْتِلاَفُ الدُّخُوْلِ وَالخُرُوْجِ
“Di antara tanda kemunafikan adalah berbeda antara hati dan lisan, berbeda antara sesuatu yang tersembunyi dan sesuatu yang nampak, berbeda antara yang masuk dan yang keluar.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/490)Politisasi masjid seperti ini yang bertentangan dengan fungsi masjid. Inilah bentuk kampanye terselubung yang tidak relevan. Sehingga, politisasi yang seperti ini harus dijauhkan dari masjid-masjid.
Dengan demikian, gerakan anti politisasi masjid tidak bisa dibenarkan. Sebaliknya, masjid harus menjadi pusat penyadaran politik dan pendidikan politik Islam, agar umat Islam paham seperti apa aturan politik dalam Islam dan bagiamana konsekuensi dari siyasah syariyah yang notabene adalah perwujudan dari syariat Islam. Wallahu ‘alam bish showab.
Penulis: Zamroni
Editor: ArjuMengapa Masjid Dipisahkan dari Politik? - Kiblat
https://www.kiblat.net/2018/05/08/mengapa-masjid-dipisahkan-dari-politik/
Kemenangan Politik Sejati Adalah Tegaknya Syariat Islam
Ahad, 2 Desember 2018 06:16
Foto: SyariahKIBLAT.NET, Jakarta – Ketua Majelis Fatwa Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Ustadz Zain An Najah mengatakan tugas ulama mengingatkan penegakan syariat. Islam akan tegak apabila didukung dengan politik yang kuat.
“Tugas ulama dan umat mengingatkan politisi agar tidak mengedepankan syahwat berkuasa. Melainkan kekuasaannya ditujukan untuk menjalankan syariat Islam,” katanya dalam Tabligh Akbar MIUMI ‘Arah Perjuangan Umat’ di Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (01/12/2018).Ia menjelaskan walaupun hingga saat ini belum ada penguasa yang mencita-citakan itu, umat harus tetap bersabar menyaikapinya. Umat Islam ini harus yakin akan selalu menang walau dalam kondisi apapun.
“Selama umat mengarahkan tujuan hidupnya untuk tunduk, sujud kepada Allah dan menegakkan syariat Islam di Indonesia atau di bumi Allah. Sehingga tugas umat adalah menegakkan nilai-nilai Islam di dalam kehidupan,” tuturnya.
Ustadz Zain mengatakan kemenangan bukan hanya ditentukan dari diberikannya kemenangan politik. Akantetapi kemenangan itu bicara terkait akidah atau ideologi.
“Masalah menang atau kalah dalam politik. Umat Islam tetap harus tetap berpegang teguh syariat Islam hingga akhir hayat, karena itu kemenangan yang hakiki,” tandasnya.
Reporter: Hafidz Syarif
Editor: Imam S.Kemenangan Politik Sejati Adalah Tegaknya Syariat Islam - Kiblat
https://www.kiblat.net/2018/12/02/kemenangan-politik-sejati-adalah-tegaknya-syariat-islam/
Dua Syarat Ulama Boleh Berpolitik
Selasa, 20 November 2018 21:34
Foto: Diskusi 'Arah Politik Ulama' di AQL Islamic Center, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (20-11-2018)
KIBLAT.NET, Jakarta – Ketua majelis fatwa Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr. Ahmad Zain An Najah mengatakan politik yang tidak mendekati ulama maka akan menjadi politik yang rusak. Sebaliknya apabila politik yang meminta arahan ulama maka akan lahir politik yang baik dan santun.
“Ilmu politik adalah ilmu mengatur negara. Sebab segala sesuatu diperlukan ilmu. Umar bin Khattab pernah mengatakan belajarlah sebelum kalian memimpin. Adapun sumber ilmu adalah melalui ulama,” katanya dalam diskusi ‘Arah Politik Ulama’ di AQL Islamic Center, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (20/11/2018).
Ia menjelaskan keterlibatan ulama dalam politik ada dua, meski idealnya ulama tidak masuk ke dalam politik praktis. Pertama, ulama semestinya berada di atas politisi, yang tidak diatur oleh atasan atau menjadi wakil. Model ke dua, ulama boleh masuk ke dunia politik praktis tetapi harus menjadi pemimpin bukan menjadi bawahan.
“Sehingga ulama harus menjaga keidealannya dalam menjadi rujukan penguasa. Ulama harus mengarahkan, bukan justru diarahkan oleh penguasa. Sebab tidak ada contoh nabi menduduki jabatan sebagai wakil atau bawahan, kecuali pemimpinnya adalah nabi,” tuturnya.
Dr. Zain melanjutkan sejatinya umat Islam ini bisa memenangkan pertarungan antara hak dan batil tanpa perang. Salah satunya melalui politik ulama yakni politik dakwah. Ulama harus menjadi hakim para politisi, yang mengarahkan atau menegur politisi yang melakukan kekeliruan.
“Sejatinya alur politik ulama adalah menegakkan keadilan. Baik ulama menjadi penguasa atau mengarahkan penguasa untuk menegakkan keadilan,” ujar Pimpinan Pesantren Tinggi Al Islam Bekasi itu.Ia menyampaikan keutamaan ulama banyak disebutkan dalam kitab Al Quran. Salah satunya dalam QS. An Nisa ayat (59), perintah untuk taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri. Ahli Tafsir sepakat Ulil Amri dalam ayat tersebut bermakana ulama.
“Sebab ulama mengikuti perintah Allah dan Rasul. Adapun makna ulil amri, pemimpin ialah pemimpin yang taat pada ulama,” tukasnya.
Reporter: Hafidz Syarif
Editor: Imam S.Dua Syarat Ulama Boleh Berpolitik - Kiblat
https://www.kiblat.net/2018/11/20/dua-syarat-ulama-boleh-berpolitik/
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
http://peceq.blogspot.com/2018/12/melayu-disamun-oleh-bangsawan-melayu.html