Makan Keong Haram Benarkah
(Ambiguistis) - Indonesia adalah kawasan tropis yang dihuni oleh jutaan jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan. Kondisi tanah yang subur dimanfaatkan oleh para petani untuk bercocok tanam. Di antara binatang yang sering berada di sekeliling para petani di lahan sawah mereka adalah belalang dan keong.
Populasi keong yang begitu banyak, memunculkan sebuah ide kreatif untuk menjadikannya sebagai bahan komoditi yang bisa menghasilkan uang. Keong diolah menjadi makanan tertentu, lalu dijual, atau minimal dikonsumsi sendiri.
Masalah yang muncul selanjutnya adalah, keong itu halal untuk dimakan atau tidak? Kalaupun halal, bagaimana cara menyembelihnya, sementara keong adalah binatang yang sangat licin tubuhnya dan tak memiliki darah yang mengalir?
Berkaitan dengan halal haram hukum keong, Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid pernah menyampaikan penjelasan secara singkat melalui website kumpulan fatwa beliau.
Keong dalam bahasa arab diistilahkan dengan Halzun. Halzun ada dua jenis; Halzun darat (di Indonesia, Halzun darat biasa disebut dengan Bekicot) dan Halzun air atau Halzun laut. Halzun darat termasuk kategori binatang yang darahnya tidak mengalir. Sedangkan Halzun air itu termasuk spesies binatang bercangkang yang merupakan bagian dari binatang laut.
Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Alamiyah disebutkan, Halzun adalah binatang laut yang tubuhnya lunak, dia termasuk bagian dari spesies binatang bercangkang. Hampir seluruh permukaan tubuhnya dibalut dengan cangkang. Ada pula jenis Halzun yang cangkangnya hanya menutupi sebagian kecil kulit bagian atas atau bawahnya. Tapi kebanyakan Halzun tidak memiliki cangkang pada tubuhnya.
Halzun darat memiliki dua tanduk kecil yang masing-masing ujungnya terdapat mata. Halzun yang berwarna kelabu dan berukuran besar dianggap sebagai hama bagi tanaman. Sebab, dia memiliki tingkat kerakusan yang tinggi dalam memakan tumbuhan. Halzun jenis ini panjangnya bisa mencapai 10 cm.
Keong Darat/Bekicot
Terkait dengan hukum memakannya, para ulama menjelaskan bahwa Keong darat/bekicot termasuk kategori serangga (Hasyarat). Sehingga hukum memakannya sama dengan hukum memakan serangga. Jumhur Ulama berpendapat bahwa memakan serangga hukumnya haram.
Imam an-Nawawi menyatakan, “Mazhab para Ulama tentang serangga darat…(menurut) mazhab kami adalah haram. Abu Hanifah, Ahmad, Abu Daud juga menyatakan demikian. Sedangkan Malik berpendapat ‘Halal’.” (Al-Majmu’, Imam an-Nawawi, 9/16)
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Halzun darat tidak halal untuk dimakan, sebagaimana tidak halalnya jenis serangga-serangga yang lain baik yang bisa terbang ataupun yang tidak seperti Wazghah (Cicak), Hunfusyah (Kumbang), Naml (Semut) Nahl (Lebah), Zhubab (Lalat) Dabbur (Lebah Hornet), Dudah (cacing), Qummal (Kutu), Burghuts (kutu anjing), Baqqah (Kutu Busuk), Ba’udhah (Nyamuk), dan spesies sejenis lainnya.
Dalil pengharamannya adalah firman Allah,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai..” (QS. Al-Maidah: 3)
Dan firman-Nya,
إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
“Kecuali yang sempat kamu sembelih..” (QS. Al-Maidah: 3)
Telah jelas bahwa yang dimaksud dengan menyembelih itu tidak bisa dilakukan kecuali pada leher atau pun dada binatangnya, sehingga binatang yang tak bisa disembelih itu tidak ada cara menghalalkannya untuk boleh dimakan. Oleh sebab itu dihukumi haram karena faktor dilarang memakannya, kecuali bangkai yang tidak disembelih (haram karena wujudnya sebagai bangkai). (Al-Muhalla, 6/76-77)
Namun, Ulama mazhab Maliki tidak mensyaratkan pemberlakukan penyembelihan bagi hewan yang tidak mengalirkan darah, mereka menghukumi binatang seperti itu sama dengan hukum yang berlaku pada belalang; cara menyembelihnya diganti dengan cara direbus, atau dipanggang, atau dengan ditusuk dengan duri atau jarum hingga mati disertai dengan membaca bismillah.
Imam Malik pernah ditanya tentang persoalan binatang dikenal dengan sebutan Halzun darat yang hidup di pohon-pohon tengah gurun pasir di wilayah Maghrib, apakah boleh dimakan? Beliau menjawab, ‘Saya berpendapat binatang itu seperti belalang (Jarrad). Halzun darat yang masih hidup yang kemudian direbus atau dipanggang; menurut saya tidak mengapa untuk memakannya, namun untuk Halzun darat yang sudah mati duluan (bangkai) jangan dimakan.” (Al-Mudawwanah, 1/542)
Abul Walid al-Baji rahimahullah menuliskan dalam kitabnya, “Jika memang demikian, maka hukum memakan Halzun darat itu sama dengan hukum memakan belalang. Imam Malik mengatakan, ‘Cara menyembelihnya adalah dengan direbus atau dengan ditusuk menggunakan duri atau jarum hingga mati, dengan mengucapkan bismillah saat melakukan itu tentunya, sebagaimana metode yang dipakai dalam (menyembelih dengan) memutus kepala belalang.’” (Al-Muntaqa Syar hal-Muwaththa’, Abul Walid Al-Baji, 3/110)
Keong Air Atau Keong Laut
Adapun tentang Keong air atau Keong laut, hukumnya halal. Hukum terhadap binatang ini termasuk dalam hukum keumuman binatang buruan laut yang halal untuk dimakan. Dalilnya firman Allah,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعاً لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (QS. Al-Maidah: 96)
Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah penjelasan ayat di atas dari Umar Bin Khattab radhiyallahu anhu, Shaiduhu adalah semua binatang yang diburu, wa tha’amuhu adalah segala yang dilemparkan (tumbuh) di laut.
Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Syuraih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ شَيءٍ فِي الْبَحْرِ مَذْبُوحٌ
“Semua binatang yang ada di laut, sudah (dianggap) disembelih.”
Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid menyimpulkan, boleh memakan kedua jenis Keong yang ada; Keong darat dan Keong air atau Keong Laut, meskipun harus dimasak hidup-hidup itu tidak masalah. Sebab Keong darat tidak memiliki darah yang mengalir yang menjadi sebab diharuskannya menyembelih (menyembelih: mengalirkan darah), dan Keong air atau Keong laut termasuk kategori binatang buruan dan makanan laut yang hukum dasarnya halal secara syar’i.Source: dakwah.id
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://ambiguistis.blogspot.com/2018/01/makan-keong-haram-benarkah.html