Ali Anyang Pejuang Dayak Yang Membuat Belanda Menggelar Sayembara 25 000 Gulden
BloggerBorneo.com – Nama Ali Anyang mungkin belum setenar pahlawan nasional dari Pulau Jawa, namun bagi masyarakat Kalimantan Barat, ia adalah simbol keberanian dan perlawanan.
Sosok asli Suku Dayak ini menjadi ancaman besar bagi tentara Belanda pasca-Proklamasi 1945 hingga membuat mereka mengadakan sayembara 25.000 gulden bagi siapa pun yang dapat menangkapnya.
Kisah Ali Anyang Pahlawan Kalimantan Barat
Dalam artikel ini, Anda akan menemukan kisah lengkap perjalanan hidup Ali Anyang: mulai dari masa kecil, perannya sebagai tenaga medis, keterlibatannya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, hingga kecintaannya pada tanah kelahiran.
Kisah ini penting bukan hanya sebagai sejarah, tetapi juga sebagai inspirasi bagi generasi muda Indonesia.
Pejuang Dayak yang Membuat Belanda Ketakutan
Pada akhir Oktober 1946, Belanda secara resmi mengumumkan sayembara senilai 25.000 gulden untuk menemukan dan menangkap seorang pemuda pejuang republik: Ali Anyang. Jumlah ini setara dengan hadiah besar pada masanya, bahkan lebih tinggi dari nilai rumah megah kolonial.
Apa yang membuat Belanda sampai harus menggelar sayembara tersebut?
Jawabannya adalah: perlawanan Ali Anyang sangat merugikan dan mempermalukan pasukan NICA.
Pada 8 Oktober 1946, laskar republik di bawah komandonya menyerang markas militer Belanda di Bengkayang, Kalimantan Barat. Serangan mendadak itu berhasil merebut kota dan mengibarkan Merah Putih di wilayah yang berbatasan dengan Malaysia Timur.
Tindakan tersebut membuat nama Ali Anyang semakin dikenal di kalangan pejuang republik—dan semakin ditakuti oleh Belanda.
Asal Usul dan Perjalanan Hidup Ali Anyang
Lahir di Pedalaman Sintang
Ali Anyang lahir pada 20 Oktober 1920 di Desa Nanga Menantak, wilayah pedalaman Sintang. Ia adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara dan berasal dari keluarga Dayak Uud Danum.
Pada usia delapan tahun, ia diangkat anak oleh Raden Mas Suadi Djoyomiharjo, seorang bangsawan Jawa yang menjadi kepala sekolah di Sintang.
Hidup bersama keluarga barunya membawanya ke lingkungan yang lebih modern dan terdidik. Ia lalu memeluk Islam dan diberi nama baru: Mohammad Ali, yang kemudian menjadi Mohammad Ali Anyang.
Menempuh Pendidikan Medis
Berkat dukungan ayah angkatnya, Ali Anyang belajar di HIS Pontianak, lalu melanjutkan pendidikan tenaga kesehatan di Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichting (CBZ) Semarang.
Selepas lulus, ia bekerja sebagai perawat di Semarang dan kemudian kembali ke Pontianak untuk mengabdi di Rumah Sakit Umum Sei Jawi.
Tak ada yang menyangka bahwa seorang perawat yang lembut dan bertanggung jawab akan menjadi pemimpin laskar rakyat yang ditakuti Belanda.
Peran Ali Anyang dalam Perjuangan Kemerdekaan
Bergabung dengan PPRI Pontianak
Menjelang kekalahan Jepang pada 1945, para pemuda di berbagai daerah membentuk gerakan rahasia untuk menyambut kemerdekaan Indonesia. Di Pontianak, gerakan tersebut dikenal dengan Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI).
Ali Anyang, yang saat itu bekerja di rumah sakit, ikut aktif menyebarkan informasi kemerdekaan ke berbagai wilayah Kalimantan Barat.
Masuknya Pasukan NICA dan Mulainya Perlawanan
Namun situasi berubah drastis ketika pasukan Australia dan NICA memasuki Pontianak pada 29 September 1945 dan mengambil alih pemerintahan. Perlawanan meletus di banyak daerah.
Pada 12 November 1945, Ali Anyang memimpin aksi penyerangan terhadap tangsi dan gudang amunisi Belanda. Ia ditangkap, namun beruntung dibebaskan pada Februari 1946.
Pasca pembebasan, ia mendapat tugas dari Dokter Soedarso, Ketua PPRI, untuk memimpin kelompok pejuang republik di seluruh Kalimantan Barat.
Komandan BPRI dan BPIKB
Saat Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) dibentuk, Ali Anyang ditunjuk sebagai komandan untuk wilayah Kalimantan Barat. Ia kemudian memprakarsai pembentukan Barisan Pemberontak Indonesia Kalbar (BPIKB) sebagai kekuatan laskar yang lebih terorganisir.
Mulai dari Pontianak, Singkawang, Mempawah, hingga Sambas, berbagai serangan dilancarkan oleh pasukannya. Puncaknya adalah perebutan Bengkayang yang membuat Belanda benar-benar murka.
Belanda semakin terdesak. Tidak mampu menangkapnya, mereka menempuh cara putus asa: menggelar sayembara besar berhadiah uang.
Perlawanan baru berhenti setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Kehidupan Setelah Perang: Dari Pejuang Menjadi Wakil Rakyat
Setelah masa perjuangan selesai, Ali Anyang menginstruksikan semua anggotanya untuk kembali ke kampung masing-masing. Ia sendiri menikahi Siti Hajir, seorang perawat asal Sambas.
Bersama istrinya, ia menjalani penugasan ke berbagai daerah seperti Ciawi, Indramayu, Banjarmasin, hingga Jakarta sebelum akhirnya kembali ke Kalimantan Barat.
Di tanah kelahirannya, Ali Anyang memilih jalur pengabdian baru: dunia politik. Ia menjadi anggota parlemen daerah dan akhirnya dipercaya sebagai Ketua DPRD Kabupaten Sambas.
Namun takdir berkata lain. Pada 7 April 1970, Ali Anyang meninggal dunia pada usia 49 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bambu Runcing, Singkawang.
Warisan dan Penghormatan untuk Ali Anyang
Nama Ali Anyang tetap dikenang oleh masyarakat Kalimantan Barat. Beberapa jalan utama di Singkawang dan kota lainnya menggunakan namanya sebagai bentuk penghargaan.
Pada tahun 2011, Monumen Ali Anyang diresmikan oleh Panglima TNI Jenderal Agus Suhartono sebagai simbol dedikasi dan keberanian sang pahlawan Dayak.
Sosoknya bukan hanya pejuang, tetapi juga teladan keberanian, ketulusan, dan pengabdian pada bangsa.
Kesimpulan
Kisah Ali Anyang adalah bagian penting dari sejarah perjuangan kemerdekaan di Kalimantan Barat. Dari seorang tenaga medis yang sederhana, ia berubah menjadi komandan laskar yang membuat Belanda kewalahan.
Keberaniannya tidak hanya menginspirasi pada masa itu, tetapi juga menjadi warisan berharga bagi generasi masa kini.
Melalui keberanian dan semangatnya, Ali Anyang menunjukkan bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan dilakukan bukan hanya oleh tokoh-tokoh besar di pusat, tetapi juga oleh putra daerah yang memiliki cinta mendalam kepada tanah kelahirannya. (DW)
The post Ali Anyang: Pejuang Dayak yang Membuat Belanda Menggelar Sayembara 25.000 Gulden first appeared on Blogger Borneo Network.
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://bloggerborneo.com/ali-anyang-pejuang-dayak-kalimantan-barat/