Refleksi Natal Di Tengah Konflik Dan Operasi Militer Di Tanah Melanesia West Papua
Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman
RELA BERKORBAN SEBAGAI BUKTI KASIH YANG SESUNGGUHNYA/SEBENARNYA
( Yesus Kristus rela berkorban 2.000 tahun lalu dan Wentius Demiangge rela berkorban di Nduga Desember 2019)
A. PENDAHULUAN
Allah dalam sejarah ilahi dan kemanusiaan pernah mengukir sejarah pengorbaban demi menyelamatkan umat manusia dari belenggu kuasa Iblis dan kuasa dosa dengan mengorbankan Putra Tunggal Yesus Kristus sebagai Raja Damai. Supaya Tuhan Yesus memberikan kepastian jaminan pengharapan hidup kekal kepada seluruh umat manusia dengan jalan mendamaikan Allah dengan manusia dan mendamaikan manusia dengan manusia.
Bagi Orang Asli Papua sebagai bangsa West Papua ada peristiwa besar dan penting kita rayakan dan ada peristiwa besar dan luar biasa yang kita saksikan sebagai bukti kasih dan rela berkorban bagi umat manusia dan bagi sesamanya.
Yesus Kristus rela berkorban untuk sekuruh umat manusia
Raja Damai Yesus Kristus rela berkorban, rela hilang segala yang dimilikinya, rela tinggalkan kekuasaan dan kesenangan sendiri di sorga dan menjadi sama dengan manusia.
Rasul Paulus menulis dan menggambarkan tentang pengorbanan Yesus Kristus, Raja Damai bagi umat manusia dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Kasih Allah bukan kata-kata dan janji-janji.
“…yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itu sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan menganugerahkan kepada-Nya nama di atas segala nama…” (Fil. 2:6-10).
Yesus Kristus rela lahir di kandang Betlehem, rela menderita dan mati tersalib di Golgota/Kalvari dan bangkit dari kubur hanya untuk penyelamatan seluruh umat manusia, untuk umat Tuhan di Nduga dan umat Tuhan di Intan Jaya dan umat Tuhan di Tanah Melanesia di West Papua.
Umat Tuhan di Nduga dan di Intan Jaya ketakutan, tidak ada rasa kedamaian, mereka telah lari dan tinggalkan rumah dan kampung halaman untuk mencari teman yang aman. Karena operasi militer sedang berlangsung di Nduga dan Intan Jaya.
TNI dan Kepolisian Indonesia telah menjadi sahabat Iblis dan mendirikan Kerajaan dan Kekuasaan Iblis di Nduga dan Intan Jaya dan di seluruh Tanah West Papua dari Sorong-Merauke. Di tangan, dimuka dan dibaju TNI-Kepolisian Indonesia berlumuran darah umat Tuhan yang tidak bersalah.
Wentius Demiangge rela berkorban demi umat Tuhan
Bagi penguasa Indonesia, TNI-Polri merasa biasa-biasa atau bangga dan rasa sinis dengan perlawanan dan protes yang dilakukan oleh Wentius Demiangge yang meletakkan jabatan wakil bupati kabupaten Nduga. Tetapi, menurut saya, Wentius seorang yang memiliki hati nurani yang mulia dan suci.
“Wentius, Anda pahlawan orang-orang beriman. Anda pahlwan besar. Anda pemimpin hebat. Anda pahlawan kemanusiaan. Anda pahlawan hati nurani. Anda pahlawan keadilan. Anda pahlawan kemanusiaan. Anda pahlawan kedamaian. Anda pahlawan kesetaraan. Anda pahlawan moral. Anda telah nengukir sejarah peradaban bangsa. Namamu abadi di hati Allah, di hati rakyat Nduga, di hati rakyat Intan Jaya, di hati rakyat dan bangsa West Papua dan di hati bangsa Melanesia. Namamu akan dikenang sepanjang sejarah sebagai pahlawan mereka yang menangis, mereka yang mencucurkan darah, dan mereka yang ketakutan di atas tanah leluhur mereka. Anda layak mendapat nobel Anti Kekerasan, Keadilan dan Perdamaian.”
Dalam refleksi ini, saya abadikan komentar pahlawan hati nurani, pahlawan keadilan dan kedamaian serta kemanusiaan Wentinus Namiangge.
“KENYAM – Kecewa, penembakan terhadap warga sipil kembali terjadi di wilayah pemerintahannya, Wakil Bupati Kabupaten Nduga, Wentius Nemiangge menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Wakil Bupati. Padahal masa jabatannya masih tersisa 3 tahun (periode 2017 – 2022)
Wentius menyebut, penembakan terhadap warganya (Hendrik Lokbere) merupakan dampak dari banyaknya pasukan yang dikirim oleh negara ke Nduga dalam satu tahun terakhir. Akibatnya, ribuan masyarakat Nduga mengungsi meninggalkan kampung karena takut dengan aparat.
“ Sudah satu tahun terjadi seperti ini, Kami (pemerintah daerah) sudah menghadap Menteri, DPR RI, Panglima dan Kapolri meminta agar pasukan TNI-Polri yang ada di Nduga segera ditarik agar masyarakat kembali ke kampung-kampung untuk beraktivitas seperti biasanya. Namun sampai hari ini permintaan kami ini tidak pernah direspon, bahkan penembakan terhadap warga sipil terus terjadi,” ungkapnya dengan nada kecewa di hadapan ratusan masyarakat Nduga yang berkumpul di Bandara Kenyam, Senin (23/12) siang.
Menurutnya, dia bersama Bupati, Yairus Gwijangge, merupakan perpanjangan tangan dari presiden di daerah, dan harusnya bisa didengar oleh pemerintah pusat, namun kenyataanya sangat bertolak belakang, karena permintaan mereka tidak pernah digubris pemerintah pusat.
“ Kami ini adalah perpanjangan tangan presiden di daerah, tapi sejauh ini kami tidak ada nilainya, kami tidak dihargai. Permintaan kami tidak pernah digubris oleh pemerintah pusat, lalu untuk apa kami ada? Kami hanya dijadikan boneka oleh pemerintah, maka mulai hari ini saya meletakan jabatan saya sebagai Wakil Bupati Nduga, dan mulai hari ini saya akan kembali menjadi masyarakat biasa,” tegasnya
Sudah Lepas Seragam
Bahkan lanjut dia, sejak korban Hendrik Lokbere ditembak pada Jumat malam, dirinya sudah melepas seragamnya dan meletakannya bersama jasad korban.
“ Seragam sudah saya buka dan letakan bersama korban, mulai hari ini saya lepas jabatan wakil bupati, saya tidak ingin menjadi perpanjangan pemerintah di daerah tapi rakyat saya terus menjadi korban,” ujarnya sedih
Menurutnya, masyarakat Nduga sama dengan masyarakat lainnya di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan seluruh dunia, namun rakyat Nduga diperlakukan berbeda dan tidak dihargai.
“ Kita semua ciptaan Tuhan yang paling mulia, memiliki derajat yang sama dengan saudara kita diluar papua. Tapi perlakuan negara ke kita orang Nduga sangat berbeda, jadi untuk apa kita pertahankan negara ini kalau kita terus dibunuh? Dimana keadilan itu? Apakah kami tidak berhak mendapat keadilan?” akunya heran
Wakil bupati menyebut, pengunduran dirinya merupakan tanggung jawab terhadap masyarakat Nduga yang terus menjadi korban kekerasan dari aparat.
“ Kepada pak bupati yang saya hormati, mulai hari ini saya mengundurkan diri sebagai wakil bupati dan bapak saja jalan sendiri. Terima kasih sudah bersama kurang lebih 3 tahun, banyak kelebihan dan kekurangan dalam menjalankan tugas, mulai hari ini saya akan kembali ke masyarakat dan menggunakan koteka,” ungkapnya
Ia juga meminta kepada pemerintah pusat untuk segera menarik seluruh personil yang dikirim dan ditempatkan di Nduga, serta pekerjaan pembangunan jalan trans papua dikerjakan oleh sipil.
“ Sekali lagi saya minta aparat TNI-Polri segera ditarik dari Nduga dan pembangunan jalan trans papua diserahkan kepada sipil, dengan begitu maka rakyat yang sudah mengungsi akan kembali dan memulai kembali hidupnya di kampung,”pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelummya, Hendrik Lokbere (25) warga Kenyam, Kabupaten Nduga, Papua, dilaporkan tewas tertembak. Korban diduga ditembak oleh aparat keamanan saat melakukan perjalanan untuk menjemput keluarganya di Distrik Batas Batu, Kabupaten Nduga pada Jumat (20/12) malam.**
B. PARA PEMIMPIN DAN RAKYAT PAPUA HARUS SADAR
Pada kesempatan refleksi Natal ini, saya membagikan artikel saya.
“Ada satu masalah mendasar yang belum dan tidak disadari oleh rakyat dan bangsa West Papua, terutama para pejabat Orang Asli Papua dan kaum terpelajar. Ketika OAP berbicara dan sampaikan pendapat dan ide-ide mereka yang cemerlang sekalipun, yang terjadi ialah para penguasa & pengusaha orang Melayu Indonesia tidak pernah serius dan sungguh-sungguh mendengarkan mereka.”
Tetapi yang ada dalam pikiran dan hati orang Melayu Indonesia ialah bagaimana memanfaatkan dan mengobyekkan mereka untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.
Karena orang Melayu Indonesia selalu menilai Orang Asli Papua kelas dua dan tidak perlu didengar karena tidak setara dengan mereka.
Itu watak dan perilaku kolonial sesungguhnya. Intinya, Anda orang terdidik ataupun pejabat, dalam pandangan orang Melayu Indonesia, Anda tidak ada artinya bagi mereka dan Anda tidak lebih dari seorang budak.
Keberadaan Orang Asli Papua merupakan gangguan dan hambatan besar bagi orang Melayu Indonesia. Tujuan utama Indonesia ialah mau memiliki tanah subur yang penuh dengan emas ini.
Karena itu manusianya Orang Asli Papua harus dimusnahkan dengan berbagai macam cara yang wajar dan tidak wajar. Contohnya: Operasi Militer di Nduga, pengusiran besar-besaran Penduduk Asli dari Tanah leluhur mereka. Masih banyak contoh lain.” (Gembala Dr. Socratez S.Yoman). Ita Wakhu Purom, 16 Juni 2019.
Akhirnya, Selamat Natal 25 Desember 2019 dan 1 Januari 2019
Ita Wakhu Purom, Rabu, 25 Desember 2019.
HP 08124888458
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2019/12/refleksi-natal-di-tengah-konflik-dan.html