Perkara Rasisme Diadili Oleh Hakim Yang Logikanya Rasis
LUAR BIASA, PERKARA RASISME DIADILI OLEH HAKIM YANG LOGIKANYA RASIS
Dua orang Papua terdakwa makar dan pemufakatan jahat di PN Jakpus dilarang mengenakan koteka selama sidang. Hakim risih dan meminta mereka pakai celana ketimbang mengenakan pakaian adat mereka sendiri. Lha kok rasis?
Ada penjelasannya kenapa dua orang Papua terdakwa kasus makar Anes Dano Tabuni dan Ambrosius Mulait konsisten memakai koteka saat menghadiri sidang praperadilan kasus mereka.
Pada 30 dan 31 Agustus 2019, delapan orang ditangkap di Jakarta atas tuduhan makar. Mereka adalah:
1. Anes Dano Tabuni
2. Ambrosius Mulait
3. Surya Anta
4. Charles Kossay
5. Isay Wenda
6. Arina Lokbere
7. Naliana Wasiangge
8. Norince Kogoya
Kejadian yang membuat mereka tertangkap: Pada 28 Agustus 2019, ratusan mahasiswa Papua dan masyarakat yang bersolidaritas melakukan demonstrasi di depan Istana Merdeka dan Mabes TNI di Jakarta Pusat. Massa aksi menuntut hak menentukan nasib sendiri untuk Papua.
Sejumlah bendera bintang kejora dikibarkan massa aksi. Kedelapan orang tadi dituduh sebagai pengibarnya.
Mengapa mereka demo?: Sebagai respons atas tindakan rasis sekumpulan ormas dan tentara yang mengepung asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019. Massa menuduh mahasiswa di asrama sengaja membuang bendera merah putih ke selokan depan asrama. Tuduhan itu tidak terbukti.
Tapi mereka tak cuma mengepung. Sejumlah orang meneriaki mahasiswa di dalam asrama dengan sebutan “Monyet!”. Mahasiswa yang dikepung menolak keluar asrama. Bukannya dilindungi dengan mengusir massa ormas, polisi malah memaksa masuk dan menangkap ke-43 mahasiswa penghuni asrama. Empat mahasiswa terluka dalam penggerebekan ini. Mereka kemudian dilepaskan karena tak ada bukti bahwa mereka yang membuang bendera merah putih ke selokan.
Peristiwa di Surabaya berbuntut panjang. Kemarahan orang Papua membuat kerusuhan pecah selama berminggu-minggu di sejumlah kota di Provinsi Papua dan Papua Barat. Karena teriakan “Monyet!” di Jawa, ribuan orang di Papua jadi pengungsi, harta benda hangus dilalap api, infrastruktur rusak, dan korban jiwa berjatuhan.
Yang belakangan terbukti dan kemudian diproses hukum, adalah sejumlah pelontar ucapan rasial di asrama Papua Surabaya. Lima anggota TNI juga diskors, termasuk di antaranya Danramil 0831/02 Tambaksari Mayor Inf N.H. Irianto.
Dalam situasi seperti itulah kedelapan aktivis Papua ditangkap di Jakarta. Berselang tiga hari dari penangkapan, pada 3 September 2019 Naliana dan Norince dibebaskan karena terbukti tak terlibat pengibaran bendera kejora.
Konteks itu pulalah yang bikin permintaan hakim agar kedua tahanan politik itu tak memakai koteka–sebuah simbol identitas dan ketertindasan Papua–menjadi ironi. Satu kasus yang berpangkal pada rasisme dan diadili pakai logika rasis.
“Hakim minta pakai celana. Badan atas tetap kosong tapi jangan pakai koteka lagi sidang berikutnya karena katanya aturan pengadilan,” ujar Anes Dano Tabuni setelah sidang, dikutip dari CNN Indonesia. Selain memakai koteka, Anes Dano Tabuni dan Ambrosius Mulait juga menuliskan dengan cat putih kata “Monkey, usir Papua” di tubuh mereka.
Tapi Anes akan tetap memakai kotekanya. “Saya harus menunjukkan bahwa orang Papua seperti ini dan kita menyelesaikan masalah sebesar apapun kita selesaikan secara budaya. Mesti harus pakai koteka. Saya lebih menghormati persidangan ketika saya pakai koteka.”
Memang relevan jika orang membandingkan sikap orang-orang Indonesia yang rasis pada orang Papua dengan sikap orang-orang kulit putih pada orang-orang kulit cokelat di era kolonial. Jika sekarang si hakim bermasalah dengan asumsi ketidakberadaban yang ia lekatkan pada koteka, di masa lampau ketaksopanan itu dilekatkan pada kaki yang tak beralas, makan dengan tangan, dan kegemaran makan sirih.
Koteka tidak bisa disetarakan dengan baju transparan dan jeans robek yang pernah bikin Nikita Mirzani ditegur. Batasannya toh jelas, koteka adalah pakaian adat. Sama seperti laki-laki yang bersarung di acara resmi tak perlu dilarang-larang, sebab memang ada kultur yang menjadikan sarung pakaian sopan, tidak peduli Anda menganggapnya cuma pantas dipakai di rumah. Demikian juga jika menjumpai perempuan yang memakai sari dan karena itu, bagian perutnya jadi terbuka. Mau bilang tak sopan juga?
Sebelum ini, masalah pakaian dalam persidangan pernah menimbulkan prahara. Very Idham Henyansyah alias Ryan Jombang juga pernah dilarang pakai gamis, peci, dan sorban. Padahal terdakwa kasus mutilasi ini kabarnya ingin berubah dan menunjukkannya dengan mengubah tampilannya jadi makin alim. Ryan akhirnya dipaksa mengenakan setelan hitam putih dengan alasan biar kayak terdakwa lainnya. Loh, mohon maaf, terdakwa korupsi banyak yang pakai kostum ustaz kok santuy gitu ya, kok nggak dilarang?
Keadaan seperti ini mengenaskan. Bayangkan, di ruang pengadilan saja seorang manusia tak bisa menerima perlakuan adil. Entah ke mana lagi kita harus berlindung.
Sumber: https://mojok.co/ajr/ulasan/pojokan/luar-biasa-perkara-rasisme-diadili-oleh-hakim-yang-logikanya-rasis
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2020/01/perkara-rasisme-diadili-oleh-hakim-yang.html