Perjuangan Konsumen Lepas Dan Jerat Narasi Murah Meikarta
Berita Islam 24H - Beberapa tahun lalu Sularsi mengenang, dalam padatnya pameran properti di Jakarta Convention Center dia dimarah-marahi oleh developer alias pengembang. Sularsi yang kala itu membawa nama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mempertanyakan iming-iming yang ditawarkan pengembang kepada para pengunjung
“Bebas banjir sampai tua.”
“Bebas banjir sampai mati.”
“Cukup lima menit dari monas,” seperti itu bunyi iming-imingnya.
Sularsi hanya meminta supaya apa yang digemakan ke masyarakat itu sesuai dengan realitas.
“Kita survei lima menit dari Monas, itu jam 12 malam. Sebutkan dong, biar tidak mislead informasi ke konsumen,” ungkapnya sembari tertawa.
Kenangan-kenangan Sularsi itu hanya sepenggal kisah dalam kariernya membela konsumen di Indonesia. Bertempat di kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Jakarta Utara, Sularsi bercerita soal aduan masyarakat terkait properti yang teraktual.
Sularsi, Koordinator Divisi Pengaduan dan Hukum YLKI (Foto: Retno Wulandari/kumparan)
Menurut Koordinator Pengaduan dan Hukum YLKI itu, properti masuk dalam tiga besar jenis aduan yang sering disampaikan masyarakat. 51 persen di antara aduan kasus properti adalah perihal pembangunan terkait aduan pengelolaan dan transaksi.
Memasuki tahun 2018, aduan soal properti terus mengalir ke YLKI. Salah satu yang menjadi perhatian khusus adalah terkait Meikarta, proyek hunian raksasa di atas tanah 500 hektare di Cikarang, Kabupaten Bekasi
YLKI mencatat ada 12 aduan yang diterima terkait masalah Meikarta hingga April 2018.
“Dari data sebelum adanya OTT ini memang kita per tanggal 27 April kita mengirimkan surat ada 12 konsumen. Satu adalah mayoritas terkait dengan refund. Kemudian yang kedua terkait dengan akad,” terang Sularsi
Promosi Meikarta memang masif dan menggiurkan, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), pengembang Meikarta menjanjikan konsumen bisa mendapatkan hunian dengan terlebih dahulu membeli Nomor Urut Pemesanan (NUP) atau booking fee seharga Rp 2.000.000.
“Informasi yang diterima oleh konsumen adalah bahwa konsumen kalau Anda nanti tidak jadi beli uang Anda akan dikembalikan,” ungkap Sularsi.
Namun, hal itulah yang justru menjadi sumber masalah. Dengan tawaran itu para konsumen berbondong-bondong membayar booking fee dengan alasan kalau tidak jadi membeli uang bisa ditarik lagi
Akan tetapi, realitas berbicara lain. Untuk mendapatkan refund, konsumen harus memenuhi beberapa syarat tertentu dan uang yang akan dikembalikan tidak bisa sepenuhnya,
“Tidak bisa di-refund 100 persen dan ada informasi bahwa untuk refund ini perlu waktu yang sangat panjang. Itu yang diadukan ke YLKI,” sebut Sularsi
Mendapati aduan-aduan ini, pihak YLKI sebelumnya telah mengeluarkan public warning terkait anjuran menunda pembelian Meikarta karena masalah perizinan yang tidak jelas
Hunian yang rencananya terdiri dari 200 tower di atas tanah 500 hektare ini, faktanya saat ini baru 84,6 hektare yang dikantongi izinnya oleh Meikarta.
Public warning, lanjut Sulastri, tak hanya ditujukan kepada masyarakat, melainkan juga pemerintah. Public warning adalah suatu indikasi, sebuah masalah serius sedang dihadapi masyarakat
“Siapa yang memberikan perlindungan kepada masyarakat kalau bukan negara,” kata Sularsi.
Surat Teguran
Munculnya public warning membuat aduan-aduan masyarakat terkait Meikarta terus berdatangan. Hal ini membuat YLKI turun tangan dengan melayangkan surat kepada PT MSU. Namun, hingga saat ini surat tersebut sama sekali tidak direspons.
Pihak YLKI menyayangkan sikap pengembang Meikarta itu. Sebagai pengembang hunian yang didesain dengan harga miring, seharusnya publik tak dibuat kebingungan
“Boleh sekali satu lembar diinformasikan bahwa konsumen untuk tidak usah resah,” ujar Sularsi.
Informasi tersebut menjadi wujud iktikad baik dari pembangunan yang dilaksanakan. Yang menjadi bukti memang ada niat untuk melakukan pembangunan sehingga bisa meredam keresahan masyarakat.
Selain informasi secara terbuka, alternatif lain juga bisa ditempuh PT MSU. Konsumen bisa diberi surat secara tertulis.
“Kan mereka punya datanya. Yang sudah bayar, yang sudah melakukan suatu akad kredit, itu kan sudah ada datanya. Apalagi yang sudah lunas gitu,” sebut Sularsi
Dengan kejelasan ini, konsumen tak perlu risau lagi dalam mengambil keputusan. Mereka selama ini gamang apakah tetap melanjutkan akad atau berpindah ke developer lain.
Jadi Konsumen Cerdas
Para konsumen membeli hunian di Meikarta melalui perantara agen dan tidak berhubungan langsung dengan perusahaan. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat dilanda kebingungan kala kasus OTT menjerat pengembang Meikarta.
Sularsi menyebut, para konsumen ingin tahu pasti bagaimana nasib mereka. Tetapi, mereka tak tahu kepada siapa mereka harus bertanya. Ya, bisa dimaklumi agen yang mereka temui tak berurusan langsung dengan keberlangsungan pembangunan.
“Konsumen boleh menanyakan langsung menyurati kepada PT MSU ini apakah proyeknya jalan atau tidak. Unit yang saya beli ini apakah masuk dalam anggaran. Ini enggak masalah itu haknya konsumen,” Sularsi menganjurkan
Pada era modern ini, setiap konsumen dituntut untuk cerdas dan kritis. Bila properti yang hendak dimiliki masih terganjal perihal perizinan, lantas mengapa masih saja dibeli.
Hal itulah yang terus diwanti-wanti YLKI, konsumen haruslah kritis. Supaya, jurang merugi tak menghampiri.
Pengembang juga perlu ingat, pelaku usaha dan konsumen itu berada di posisi yang sama. Tak hanya di kasus Meikarta ini, dalam kasus lainnya pun rumus ini tetap berlaku.
“Konsumen adalah mitra bisnis Anda, itu posisinya. Bukan sebagai objek dalam melakukan usaha,” tutup Sularsi
Bagaimana nasib dan cerita mereka usai proyek Meikarta tersandung kasus hukum? Simak cerita selengkapnya dalam konten spesial kumparan dengan topik Yang Bergantung Pada Meikarta. [b-islam24h.com / kumparan]
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://www.b-islam24h.com/2018/10/perjuangan-konsumen-lepas-dan-jerat.html