One Nation Two System Untuk Papua Damai
Gelombang gejolak politik papua terus bergulir panjang. Konflik demi konflik terus menyelimuti proses kehidupan orang Papua. Konflik itu dimulai sejak 1961 dimana hak kemerdekaan orang Papua dieleminir melalui intervensi komando Trikora Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961.
Sejak itu orang papua merasa hak kemerdekaannya dianeksasi oleh pemerintah Indonesia. Kemudian sebagian orang papua mulai mengambil posisi perlawanan terhadap pendudukan pemerintahan Indonesia di tanah Papua.
Mulai tahun 1964/1965 para tokoh pejuang kemerdekaan Papua mulai melancarkan aksi perlawanan bersenjata terhadap militer Indonesia dibawah pimpinan Permenas Awom di Prafi Manokwari. Aksi perlawanan ini terus berkembang luas menjadi perjuangan ideologi kemerdekaan orang papua.
Sampai sekarang perjuangan tersebut sudah menjadi perjuangan kolektif orang Papua menghadirkan kembali momentum 1 Desember 1961, dimana bangsa Papua telah membentuk negara bangsa dibawah naungan pemerintah Belanda.
Sejak itu embrio negara Papua Barat terbentuk dilengkapi beberapa syarat pembentukan negara, seperti : bendera kebangsaan bintang kejora, lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, lambang negara buring mambruk, nama negara , Negara Papua Barat, dan pembentukan Neuguinea Raats sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Embrio pembentukan negara bangsa tersebut, akhirnya dieliminasi oleh komando Trikora Presiden Soekarno yang isinya adalah : (1) Bubarkan negara boneka papua barat bentukan Belanda, (2) Kibarkan bendera merah putih diseluruh pelosok tanah Papua, (3) Bersiap mobilisasi umum.
Dengan semangat Trikora , pemerintah Indonesia berhasil merebut Papua melalui konfrontasi bersenjata maupun diplomasi internasional. Akhirnya Indonesia berhasil melumatkan kekuasaan pemerintah Belanda atas papua melalui New York egreement pada 15 Agustus 1962. Pada kesepakatan ini posisi Indonesia semakin kuat dalam menguasai Papua. Sehingga pemerintah Indonesia bebas menguasai Papua dengan cara politik mereka, termasuk mempersiapkan pelaksanaan Pepera 1969 yang disinyalir tidak demokratis dan intimidatif kekuatan militer . Peristiwa tersebut menjadi memoria pasionis bagi orang Papua yang kemudian sampai sekarang masih terus dipersoalkan.
Semua peristiwa politik perebutan kekuasaan atas Papua tersebut kemudian muncul kinflik dan kekerasan antara militer Indonesia dengan orang papua yang menolak kehadiran Indonesia menguasai papua. Konflik ini terus menerus berlangsung sampai dengan sekarang.
Sekarang ini konflik bersenjata sedang berlangsung di wilayah Kabupatem Nduga dan Intan Jaya. Konflik Nduga sudah memakan waktu lama satu tahun lebih. Dampak dari konflik ini rakyat sipil menjadi korban. Terdapat korban jiwa dan harta benda, gelombang besar-besaran pengungsi warga sipil yang sangat memprihatinkan. Semua rakyat dan para tokoh Papua mendesak Presiden Jokowi supaya segera menarik pasukan dari daerah konflik Nduga dan Intan Jaya. Namun Presiden tetap bersikukuh mempertahankan pasukan dan malah terus menambah kekuatan pasukan didaerah konflik Nduga dan Intan Jaya.
Jika demikian maka rakyat sipil di Nduga dan Intan Jaya akan kehilangan masa depannya. Kehidupan mereka terganggu dan selalu terancam oleh keganasan bedil milik TNI/POLRI dan juga TPNPB OPM. Situasi ini sangat memprihatinkan, seolah rakyat Nduga dan Intan Jaya bukan warga negara Indonesia yang memiliki hak sama dengan warga negara Indonesia lain untuk mendapat perlindungan dari negara.
Pengalaman konflik yang terus berlangsung lama ini membuat kehidupan orang Papua pada umumnya semakin tertekan. Orang Papua tidak bebas bergerak hidup dalam tekanan politik intimidatif, represif dan militeristik. Orang Papua ingin dan berhak hidup bebas seperti manusia lain dibumi ini.
Sebenarnya dengan pemberlakuan Otonomi Khusus situasi konflik bisa dikelola dengan terukur agar tidak berimbas merugikan hak hidup warga sipil. Akan tetapi kondisi sebaliknya kebanyakan warga sipil yang menjadi korban dampak dari konflik selama ini. Oleh karena itu harus dicari solusi penyelesaian konflik di Papua secara konprehensif dan permanen. Pemberlakuan Otonomi Khusus sudah tidak mampu mewadahi penghentian konflik secara permanen guna menghadirkan perdamaian yang hakiki.
Maka dari itu perlu adanya konsep alternatif lain yang mampu menghadirkan kedamaian abadi bagi semua warga papua dan seluruh warga negara Indonesia. Konsep yang cocok agar tidak lagi terus menciptakan konflik adalah, dijadikan status daerah Papua sebagai Daerah Administratif Khusus dengan prinsip One Nation two system ( satu negara dua sistem ). Dijadikan sebagai negara mini didalam negara dengan ibu kotanya tetap Jakarta.
Sistem pemerintahan sepenuhnya diurus sendiri kecuali bidang pertahanan diurus pemerintah pusat. Semua urusan lain termasuk kepolisian daerah diurus oleh daerah administratif khusus. One nation two system memiliki bendera sendiri, lambang sendiri, lagu sendiri dan mata uang sendiri.
Jika konsep One Nation two systems ini diterapkan untuk Papua maka sangat tepat karena Papua memiliki sejarah pembentukan negara bangsa pada 1961. Dengan demikian tinggal diakui semua syarat negara yang sudah pernah dibentuk 1 Desember 1961. Konflik yang sedang terjadipun bisa terhenti dengan sendirinya ketika orang papua mulai sadar penerapan konsep one nation two systems terbukti sudah terakomodasi lambang-lambang kedaulatan negara yang selama ini diperjuangkan hingga taruhan nyawa dan berujung konflik.
Setelah secara sah diberlakukan status one nation two systems untuk Papua, pemerintah pun boleh menggunakan kebijakan ini sebagai alat diplomasi kepada dunia internasional bahwa Papua masih bagian dari Indonesia. Mungkin juga mendesak ULMWP dan KNPB untuk berdialog mengakhiri seluruh konflik yang sedang terjadi ditanah Papua.
( Paskalis Kossay, Politisi asal Papua)
Sumber:https://jagapapua.com/2020/01/27/one-nation-two-system-untuk-papua-damai/
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2020/01/one-nation-two-system-untuk-papua-damai.html