Mama Yosepha Dan Gerakan Abolisionis Papua
Abolisionis wanita, Elizabeth Cady Stanton dan Lucretia Mott, menjadi tokoh terkemuka dalam gerakan hak-hak wanita. Meskipun abolisionis telah kuat dan mengakar selama revolusi Amerika sejak tahun 1820-an, namun gerakan ini tidak melibatkan diri dalam perang salib militan sampai tahun 1830-an.
Gerakan abolisionis merupakan dorongan sosial dan politik untuk pembebasan semua orang yang diperbudak untuk mengakhiri diskriminasi rasial dan segregasi yang terus menimpa rakyat. Abolisionisme radikal sebagian besar didorong oleh semangat keagamaan dari tokoh-tokoh agama untuk mendorong banyak orang agar mengadvokasi pembebasan dengan alasan agama.
Advokasi untuk memisahkan emansipasi rakyat yang diabolisi oleh para pendukung anti-perbudakan moderat yang berargumen untuk emansipasi bertahap sering kali muncul dari gerakan nyata para aktivis. Mereka memiliki usaha untuk membatasi perbudakan ke daerah-daerah yang ada dan mencegah penyebarannya dengan berbagai cara dan perjuangan mereka sendiri.
Dua ekspresi permusuhan terhadap perbudakan ini, yakni abolisionisme dan free-soilism sering kali terkait erat; tidak hanya dalam kepercayaan dan interaksi mereka, tetapi juga di benak para pemilik budak. Agama muncul sebagai ujung tombak dalam memberikan arahan spiritual kepada masyarakat.
Kebangkitan Abolisionis di Papua
Perjuangan penghapusan abolisionis di Papua tak jauh berbeda dari negara-negara barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Afrika. Tolok ukur dalam penghapusan perbudakan terhadap perempuan Papua dilatarbelakangi dari berbagai dinamika kehidupan di tanah Papua.
Tak asing lagi ketika mendengar Yosepha Alomang atau lebih dikenal mama Yosepa. Ia adalah seorang tokoh perempuan dan aktivis dalam gerakan abolisionis terhadap perbudakan kaum perempuan di tanah Papua. Ia juga aktivis pembela kebenaran dan hak-hak masyarakat pribumi Papua yang selalu ditindas oleh kaum kapitalis dan penjajah.
Ada beberapa tokoh perempuan di Papua yang berpartisipasi dalam gerakan seperti ini, seperti Aleta Baun, Hana Hikoyabi, Yohana Yembise, Agustina Basik-Basik, Irene Manibuy, Peggi Patricia Pattipi, Helena Murib, dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan.
Mereka ini merupakan sosok perempuan Papua yang pantas dikatakan tokoh dan/atau aktivis karena perjuangan mereka menuntut penghapusan perbudakan di Papua, yang selalu dianggap lebih rendah dari laki-laki dan juga semata-mata menjadi pelengkap hidup bagi kaum pria.
Mama Yosepha memiliki sebuah lembaga bernama YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan) yang didirikan tahun 2001, hingga kini terus memperjuangkan hak-hak kaum perempuan Papua. Selain YAHAMAK, Mama Yosepha juga punya kompleks Yosepha Alomang yang didirikan tahun 2003, di mana saat itu ia berjuang melawan PT Freeport.
Ada beberapa tokoh perempuan Papua yang berjuang karena dilatarbelakangi oleh Hak Asasi Manusia (HAM) serta kekerasan yang terus menimpa rakyat Papua. Itulah perjuangan mama Yosepha Alomang yang mau membuktikan bahwa perempuan juga bisa dan berguna layaknya manusia yang diciptakan secitra dengan Allah.
Kebangkitan abolisionis di Papua sangat dilatarbelakangi dengan lahirnya gerakan perjuangan melawan kaum penindas. Filosofi gerakan ini sangat berkembang pesat serta mengakar di tengah masyarakat pribumi Papua.
Dalam berbagai bidang kehidupan, harga diri sebagai seorang perempuan tak ada nilainya di Papua, bahkan tidak dijunjung tinggi. Memandang perempuan sebagai objek adalah hal yang basi dan sudah tidak berlaku sebagai manusia kodrati. Dan itu berlaku di seluruh dunia sebagaimana telah diperjuangkan oleh Elizabeth Cady Stanton dan Lucretia Mott.
Perempuan dalam Novel Tanah Tabu
Bagi kaum perempuan di Papua, novel Tanah Tabu sangat menginspirasi mereka, terutama dalam filosofi gerakan abolisionisme. Perjuangan tiga tokoh perempuan, yakni Mabel, Mace, dan Mama Helda, yang dianalisis melalui feminisme eksistensialis de beauvoir, dilihat dari kesadaran sebagai liyan, kebebasan, dan transendensi, sangat memotivasi perempuan Papua.
Mereka sadar telah mengalami ketertindasaan yang diakibatkan oleh budaya patriaki maupun dari suaminya sendiri. Kesadaran ini pula yang telah membuat ketiga tokoh perempuan dalam novel ini berjuang untuk lepas dari ketertindasan.
Mabel, Mace, dan Mama Helda memiliki kebebasan sebagai subjek dan bukan objek patungan. Ketidakinginan mereka melihat kaum perempuan yang selalu dibatasi dengan segala macam nilai dan norma yang mengikat dan merugikan perempuan, maka lahirlah sikap keberanian dalam mengambil keputusan sendiri sebagai subjek.
Mereka tidak menggantungkan hidup pada siapa pun, sehingga mereka tidak dipandang sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang mandiri dan berkualitas. Mereka juga menjadi perempuan intelektual yang berpikir tentang kemajuan kaum perempuan dan masyarakat Papua.
Dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat pribumi Papua, kaum laki-laki selalu menganggap perempuan sebagai kelas rendahan dan tidak mampu untuk mengatur spesifik dalam keluarga.
Apakah Hak Perempuan Papua Setara?
Tidak! Mengapa? Karena banyak penyimpangan-penyimpangan yang terus dilakukan oleh militer terhadap perempuan Papua.
Arti "hak-hak perempuan" bervariasi sepanjang waktu dalam lintas budaya. Saat ini, masih kurangnya konsensus tentang apa yang merupakan hak-hak perempuan.
Ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa kemampuan wanita untuk mengontrol ukuran keluarga adalah hak dasar wanita. Yang lain berpendapat bahwa hak-hak perempuan berada di bawah kesetaraan. Banyak yang berpendapat bahwa semua hal itu harus dianggap sebagai hak perempuan.
Istilah ini biasanya mengacu pada, apakah perempuan diperlakukan setara dengan laki-laki?
Kadang-kadang di Papua merujuk pada keadaan yang memengaruhi perempuan. Sementara laki-laki dan perempuan menjadi korban penyakit sosial dan kekerasan yang terkait dengan perdagangan manusia dan pemerkosaan serta perlindungan terhadap kejahatan ini sering digambarkan bermanfaat bagi hak-hak perempuan.
Penerapan berbagai undang-undang dan kebijakan selama bertahun-tahun melukiskan gambaran historis tentang manfaat yang dianggap sebagai "hak-hak perempuan" pada periode waktu tertentu. Masyarakat di dunia kuno, klasik, dan abad pertengahan menunjukkan bagaimana hak-hak perempuan berbeda dari satu budaya ke budaya lainnya.
Hak-hak perempuan di Papua tidak dipedulikan kaum laki-laki, bahkan lebih kejam lagi perempuan selalu dianggap yang terendah oleh negara. Negara tidak menghormati hak-hak perempuan Papua dalam lintasan sejarah. Kurang implementasi pengakuan atas perempuannya kadang meninggalkan berbagai upacara demonstrasi di Indonesia.
Dalam bidang politik, hukum, sosial dan kemanusiaan di Papua, perempuan tak memiliki wewenang tersendiri yang dapat mengatur dan memperbaharui martabat sebagai perempuan. Hingga kini, perbudakan perempuan dan hak-haknya belum diperbaiki secara saksama.
Mama Yosepha Alomang (Foto: Goldman Prize)
Oleh: (Yance Agapa)
Jurnalis
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2019/10/mama-yosepha-dan-gerakan-abolisionis.html