Komnas Ham Sebut Bicara Soal Papua Harus Hati Hati
JAKARTA – Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut, persoalan Papua yang belakangan ini gencar dibicarakan publik mestinya semua elemen harus bisa lebih berhati-hati dalam menyampaikan informasi soal Papua. Demikian ketua Komnas HAM RI, Otto Nur Abdullah mengatakan hal itu dalam rapat dengar pendapat umum bersama Pansus Papua DPD RI, minggu kemarin.
Foto Ketua Pansus Papua, Dr. Filep Wamafma bersama Ketua Komnas HAM, Otto Nur Abdullah dalam Rapat Dengar Pendapat Umum bersama Pansus Papua DPD RI
Berikut ini kutipan pembicaraan ketua Komnas HAM:
“Ranah yang menyatakan kasus ini pelanggaran HAM atau tidak adalah komnas HAM. Yang terjadi adalah tarik menarik berkas hasil penyelidikan komnas HAM. Selanjutnya adalah ranah jaksa agung untuk membentuk tim. Manakala Jaksa Agung menganggap berkas tersebut belum mencukupi, maka Jaksa Agung bisa melakukan SP3.
Saya ketika bertemu dengan bapak Presiden ia bertanya, “Pak ketua apa yang menjadi masalah serius soal pelanggaran HAM?, saya jawab Papua Pak. Saya menyatakan, “Pak, hati-hati. Kalau kita tidak tangani ini, ini gawat pak.”. Ini saya sampaikan ke Bapak Presiden pertama kali. bukan berarti persoalan Aceh tidak penting. Tetapi untuk Aceh misalnya sudah ada solusi damai dan lainnya. Tetapi Papua ini nggak.
Jadi, kembali Sekali lagi, jika berkas belum memenuhi syarat formal dan materiilnya menurut Jaksa Agung, bisa melakukan SP 3. Tetapi ini kan nggak pernah.
Kami tawarkan solusi lain, kalau Jaksa Agung bersedia, silahkan buat surat perintah kepada Komnas HAM. Atas nama penyidik memberikan surat perintah kepada penyelidik komnas HAM. Karena Undang-undang juga mengizinkan itu. Karena jika berdebat terus, tidak akan ada solusinya. Sekarang pertanyaannya, apakah pemerintah mau atau tidak menyelesaikannya dengan serius.
Saat itu ada diskusi serius. Kami katakan, silahkan aja bapak buatkan. Komnas tentu tidak bisa membahas hal itu karena yang ada UU 26. Namun, tidak seluruh kasus bisa. Misalnya soal penembakan misterius yang pelakunya sudah tidak ada. Tetapi beberapa kasus masih mungkin seperti kasus Wamena.
Persoalan lain yang perlu diperjelas adalah soal siklus kekerasan. Bagaimana langkah penanganan keamanan di Papua. Respon pemerintah itu seringkali mengecewakan. Kita harus mengakui ada siklus kekerasan yang tidak terselesaikan. Maka ini harus menjadi perhatian bagi pihak keamanan, TNI, POLRI, baik di Pusat dan di daerah. Seringkali operasi-operasi itu menimbulkan ekses-ekses.
Selanjutnya soal gap antara orang orang asli Papua dan pendatang. Karena seringkali yang menikmati hasil dari investasi adalah orang-orang pendatang. Misalnya tanah tanah ulayat yang banyak diambil alih oleh pihak “asing”, proyek-proyek investasi itu dalam berbagai temuan Komnas HAM memang menimbulkan persoalan. Gap sosial dan ekonomi terlihat jelas. Dan itu setiap saat bisa memicu kecemburuan, konflik dan lainnya. Dan itu terbukti setelah peristiwa Surabaya.
Saya kira Pansus mesti memberikan suatu dorongan kepada Jaksa Agung. Kepada pak Mahfud kami katakan untuk jangan mundur terhadap apa yang telah disepakati. Orang akan lebih percaya pada komnas HAM. Kalau prosedur hukum dalam negeri tidak mampu menyelesaikan, bukan tidak mungkin kasus ini bisa sampai pada dunia internasional. Karena dianggap “unwilling dan unable”, tidak ada niat dan tidak mampu untuk menyelesaikan persoalan.
Kalau ekspresi masyarakat kami sangat merasakan. Bahkan mereka sudah tidak mau lagi menjadi saksi komnas HAM karena merasa tidak ada hasilnya.
Sumber: https://jagapapua.com/2020/01/25/komnas-ham-sebut-bicara-soal-papua-harus-hati-hati/
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2020/01/komnas-ham-sebut-bicara-soal-papua.html