Budaya Makan Pinang Di Papua Pererat Tali Silaturahmi
Bule Makan Pinang - ils googleBudaya Kunya Pinang di Papua, Pererat Tali Silaturahmi
Oleh: Hasibuan Aman |
Jayapura– Masyarakat Papua memiliki budaya yang begitu kaya dan tradisi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Salah satu tradisi yang masih melekat di masyarakat Papua adalah mengunyah atau makan buah pinang mulai dari anak kecil hingga dewasa.
Salah seorang penjual pinang di Sentani, Kabupaten Jayapura, Daniel Kotomon mengatakan mengunyah dan makan pinang merupakan bagian dari tatanan kehidupan sosial sebagai tali silahturahmi dan menjalin keakraban. Selain itu makan pinang juga untuk menjaga kesehatan tubuh agar tetap sehat.
Tidak hanya itu, menikmati buah pinang sudah menjadi suatu bentuk gaya hidup sebagian besar dari masyarakat Papua pada umumnya.
Kebutuhan akan buah pinang terus meningkat. Bahkan buah pinang memberikan kesempatan ekonomi tersendiri yang bagi sebagian penduduk asli Papua menjadi pendapatan untuk perekonomian keluarga.
“Dengan mengunyah pinang bisa untuk menjaga kesehatan gigi dan mencegah bau mulut. Kalau kita tidak mengunyah atau makan pinang nafas kita bau, dan gigi tidak kuat,” kata Daniel.
Menurut dia, makan buah pinang sangat baik, tetapi banyak orang tidak menyukainya karena habis makan pinang air ludahnya dan ampasnya dibuang disembarang tempat.
Cara makan pinang ini sangat sederhana cukup buah pinang di makan dengan kapur di tambah buah sirih. Campuran ini semua dikunyah sehingga kelihatan hingga berwarna merah. Kalau tidak ada kapur dan buah sirih pinang ini tidak akan merah di makan.
Ia mengungkapkan, buah pinang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat Papua sehingga banyak buah pinang ini dijual secara tradisional di berbagai tempat mulai dari di pasar, di emperan toko, di trotoar pusat keramaian hingga di depan pom bensin. Bahkan buah pinang ini juga di kirim ke beberapa daerah di Papua dengan menggunakan penerbangan seperti ke Wamena dan Timika.
“Berjualan pinang menjadi tanda geliat ekonomi lokal sekaligus tanda budaya makan pinang yang terus dipertahankan di tanah Papua,” ucapnya.
Lanjut Daniel, buah pinang ini di jual per tumpuk yakni buah pinang beserta kapur dan buah sirih yang dijual seharga Rp. 10.000 per tumpuk.
Satu tumpuk pinang ini umumnya, bagi masyarakat asli Papua habis dalam sekali konsumsi. Sehingga kadang satu tumpuk untuk satu orang tidak cukup. Bahkan dalam ada acara adat pun pinang ini harus ada disajikan untuk tamu-tamu yang datang.
“Tradisi mengunyah atau makan pinang ini harus terus dipertahankan oleh masyarakat Papua,”
Daniel mengharapkan bagi masyarakat Papua yang mengunyah atau makan pinang agar tidak membuang sampah pinangnya sembarang sehingga tidak kelihatan kotor. (nds)
Sumber:pospapua.com/budaya-kunya-pinang-di-papua-pererat-tali-silaturahmi/
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2019/06/budaya-makaan-pinang-di-papua-pererat.html