Mengapa Nu Tidak Menggunakan Simbol Tauhid
Jika kita berselancar sejenak di mesin pencarian Google dengan memasukkan kata kunci “tahlil”, halaman akan sesak dengan serentetan tautatan yang membahas tradisi keagamaan yang lazim dijalankan warga NU: Tahlilan. Tahlil pada dasarnya istilah untuk kalimat thayyibah “lâilâhaillallâh” (tiada Tuhan selain Allah). Pergeseran makna berlangsung karena NU-lah yang secara eksplisit dan konsisten mengajarkan dan mengamalkan secara rutin dalam bingkai budaya komunal. Tahlil lalu melekat sebagai bagian dari identitas Nahdlatul Ulama. Ormas tahlil, ya NU.
Tahlil adalah kalimat suci karena berisikan penegasan prinsip tertinggi dalam Islam, yakni tauhid (pengesaan Allah). Sebab itu pula tahlil sering disebut juga kalimat tauhid. Bukan hanya dalam tahlilan, warga NU melafalkan lâilâhaillallâh nyaris di setiap ritual keagamaannya, seperti istighotsah, ziarah, manaqiban, yasinan, ratiban, wirid bakda shalat, dan lain-lain. Bahkan bagi NU, mampu mengucapkan kalimat tauhid di akhir hayat adalah indikator paling konkret wafatnya seseorang dianggap sangat baik (husnul khatimah). Begitu dekatnya NU dengan kalimat tauhid.
Yang unik, mengapa kalimat tauhid itu nyaris tidak pernah digunakan NU sebagai simbol dalam aktivitas organisasi? Kok tidak seperti kelompok-kelompok mutakhir yang lantang mengaku menggaungkan “suara Islam”?
Sejak awal NU mendasarkan pemikirannya pada sistem bermazhab. Otoritas pengetahuan agama diserahkan kepada para ahlinya, yakni ulama. NU memang meyakini sumber primer Al-Qur’an dan Sunnah, tapi akses kepada kedua teks tersebut harus melalui disiplin ilmu dan pertanggungjawaban moral yang ketat, dan itu hanya bisa dimiliki oleh ulama. Bukan sembarang orang, terutama kalangan awam. Ini pula yang menjadi salah satu alasan kenapa nama “Nahdlatul Ulama” (kebangkitan para ulama) dipilih menjadi nama organisasi.
Paham semacam ini bukan tanpa risiko. Karena mengembangkan cara berpikir mazhab, NU dituding oleh sebagian kelompok yang mengusung agenda pemurnian Islam sebagai golongan yang menjauh bahkan menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah. Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah kerendahan hati dalam mengakui keterbatasan diri, lantas menyerahkan otoritas pengetahuan keagamaan kepada ulama. Ulama yang mana? Dalam fiqih, NU menganut empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali), dalam hal aqidah (al-Asy’ari dan al-Maturidzi), sedangkan dalam tasawuf (Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi).
Artinya, di lingkungan NU pluralitas pemikiran (mazhab) diakui. Seluruhnya dinilai sebagai produk ijtihadî (olah pikir manusia) yang memungkinkan terbukanya perbedaan. Hakikat kebenaran tak mungkin bisa diraih, tapi ikhtiar untuk mendekati itu bisa dilakukan. Proses itulah yang kemudian melahirkan ijtihad yang beragam. Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitab al-Mawâ’idh pernah mewanti-wanti umat untuk tidak terjermus dalam fanatisme. Terhadap produk ijtihadî pilihannya cuma dua: (1) semua mujtahid benar, atau (2) mujtahid yang benar hanya satu tapi mujtahid yang salah tetap mendapat pahala. Corak pemikiran ini tak ditemukan pada kelompok-kelompok penganut absolutisme yang menganggap kebenaran pasti tungal dan hanya kelompok dialah yang paling benar. Mereka menyamakan tafsir atas kebenaran dengan kebenaran itu sendiri.
Dari sini kita mendapat sedikit titik terang mengapa NU cenderung “menghindari” simbol-simbol yang secara langsung menggunakan nama Islam, termasuk soal kalimat tauhid. Sebagai as-sawâdul a’dham (komunitas terbesar Islam), bila mau, kiai-kiai pesantren generasi awal bisa saja menyepakati nama organisasi “pembela Islam”, “pejuang Islam”, “nahdlatul islam”, dan semacamnya; atau menjadikan kalimat tauhid sebagai lambang organisasi. Tapi itu tidak dilakukan. Mereka memilih nama “Nahdlatul Ulama” lewat mekanisme musyawarah dan logonya dirancang kemudian dari hasil istikharah.
Bagi ulama NU kala itu membawa nama “Islam” atau “kalimat tauhid” dalam organisasi barangkali dianggap mendekati sikap angkuh. Ada tanggung jawab dan risiko besar yang dipertaruhkan. Aspirasi dan pemikiran satu komunitas Islam belum tentu menjadi aspirasi dan pemikiran komunitas Islam lainnya. Karena itu, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari yang keulamaannya diakui seluruh ulama di Nusantara, bahkan lintas negara, hanya cukup didaulat sebagai rais akbar Nahdlatul Ulama, bukan imam besar umat Islam. Bahkan, di era kepemimpinan berikutnya, karena ketawadukan KH Abdul Wahab Chasbullah, gelar “rais akbar” (pemimpin besar) berubah menjadi “rais aam” (pemimpin umum). Inilah pengejawantahan dari i'tidal dan tasamuh, garis sikap tegas sekaligus terbuka yang dipegang NU. Di satu sisi sangat teguh dengan paham yang dianut, di sisi lain tidak mau memonopoli pemahaman umat Islam yang faktanya memang berbeda-beda.
Kesadaran inklusif ini sulit didapati dari kelompok-kelompok yang sejak awal memahami Islam dengan kacamata monolitik. Paradigmanya kebenaran tunggal. Cara berpikirnya hitam-putih: halal-haram, Islam-kafir, sunnah-bid’ah, sistem Allah-sistem thaghut, dan seterusnya. Semua kelompok yang berlainan pemikiran dengannya dianggap salah. Apa pun masalahnya, khilafah atau negara Islam solusinya. Yang runyam, penyederhanaan masalah seperti ini berakibat pada ke-GR-an berlebih untuk sah mengklaim diri sebagai representasi umat Islam secara keseluruhan dan menggunakan simbol-simbol suci Islam untuk kepentingan kelompok.
Selain mustahil pasti mewakili umat Islam yang majemuk, penggunaan simbol-simbol semacam itu juga rentan disalahgunakan. Jika terjadi, yang kotor namanya bukan hanya kelompok bersangkutan melainkan citra Islam secara umum. Kita bisa belajar bagaimana islamofobia menjalar di negara-negara Barat hanya karena ulah segelintir kelompok yang menebar teror sembari mengibarkan bendera tauhid dan simbol-simbol Islam. Padahal, dalam kitab Tanbîhat al-Wâjibat, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari juga berujar, memperalat sesuatu yang seharusnya agung untuk keperluan yang tidak semestinya adalah tindakan haram.
Ini bukan soal alergi nama Islam atau kalimat tauhid, melainkan soal pilihan sikap untuk mendudukkan simbol-simbol luhur itu dengan hati-hati dan proporsional. Dalam sejarah, di lingkungan NU pernah muncul nama Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah (pasukan Allah) untuk menyebut kelompok pejuang dari kalangan santri. Itu pun konteksnya masa-masa super-genting era penjajahan Jepang. Pascakemerdekaan, dalam suasana yang relatif damai, nama ini hilang. Sebagian anggotanya melebur dalam Tentara Nasional Indonesia.
Di NU Islam lebih banyak tampil dalam wajah kultural: maulidan, haul, pembacaan Barzanji, halal bihalal, slametan, sunatan, akikah, tahlilan, serta ibadah dan moralitas sehari-hari. Ia membumi dalam keseharian budaya dan harmoni masyarakat. Kalimat tauhid lebih sering berkibar di hati dan bibir tulus jamaah ketimbang jadi jargon politis kelompok. Kalau pun harus ada kain bertuliskan kalimat tauhid, cukuplah itu menempel di kain penutup keranda jenazah, kendaraan terakhir manusia yang entah benar-benar membawa tauhid di hatinya atau tidak. Wallahu a’lam.Semoga bermanfaat.
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
http://prabuagungalfayed.blogspot.com/2018/10/mengapa-nu-tak-menggunakan-simbol-tauhid.html