Kisah Khalifah Umar Lindungi Kaum Nasrani Saat Pembebasan Yerusalem

  Hingga kini, Yerusalem masih diyakini masing-masing  pemeluk agama samawi, yakni Islam, Yahudi, dan Nasrani sebagai kota  suci. Sejarah mencatat, kota ini sudah terbentuk ratusan tahun, bahkan  ribuan tahun silam. Bagaimana tidak, Yerusalem sudah menjadi tempat  lahir dan tinggalnya para nabi, seperti Nabi Sulaiman, Nabi Dawud, dan  Nabi Isa, bahkan Nabi Muhammad pun pernah singgah saat menjalani Isra’  dan Mi’raj, tepatnya sebelum naik ke Sidratul Muntaha (Nurcholis Madjid,  Fatsoen, Nurcholis Madjid, Jakarta: Penerbit Republika, 2002, hal. 57).
Tak heran jika kota ini mendapat banyak julukan yang populer di masa  para penguasanya, antara lain Jerusalem, al-Quds, Yerushaláyim, dan  Aelia, yang menurut Abul Fida’, nama terakhir ini berarti ‘baiturrabb’  atau ‘rumah tuhan’ (Tarikh Abul Fida, 49)
Yang terakhir ini  memang jarang terdengar, tetapi faktanya nama inilah yang disebutkan  Umar bin Khattab dalam surat perjanjian dengan kaum Nasrani. Sebab, pada  masa Khalifah Umar bin Khathab-lah Yerusalem, sebuah kota yang dalam  bahasa Ibrani berarti ‘damai’, menjadi wilayah kekuasaan Islam.  Sementara pada masa Nabi Muhammad, begitu pula zaman khalifah pertama  Abu Bakar, Yerusalem belum terbebaskan (Tim Sunrise Pictures, (Ed.)  Astutiningsih, Seratus Keajaian Dunia, Jakarta: Cikal Aksara-AgroMedia,  2010, hal. 18).
Ada yang menarik untuk dicermati dalam peristiwa  pembebasan kota Yerusalem oleh Khalifah Umar bin Khathab. Dikisahkan,  pada tahun 637 M, pasukan Islam sudah mendekati wilayah Yerusalem, yang  saat itu di bawah tanggung jawab Uskup Sophronius selaku perwakilan  Bizantium sekaligus kepala Gereja Kristen Yerusalem. Tatkala pasukan  muslim pimpinan Khalid bin Walid dan Amr bin Ash sudah mengepung kota  itu, Sophronius tetap tidak bersedia menyerahkan Yerusalem kepada kaum  Muslimin. Pasalnya, sang uskup ingin langsung menyerahkannya kepada  Khalifah Umar bin Khattab. (Tim Penusun, Al-Muslimun, Penerbit Yayasan  Al-Muslimun, 1994, hal. 42).
 Mendengar kabar itu, Umar pun  bergegas ke Yerusalem dengan berkendara seekor keledai, ditemani seorang  pengawalnya. Setiba di Yerusalem, Umar disambut Sophronius yang  benar-benar merasa kagum atas kesederhanaan dan kesahajaan sosok  pemimpin yang satu itu. Kagum karena seorang penguasa bangsa yang kuat  kala itu hanya bersandangkan busana lusuh ala kadarnya yang banyak  jahitan dan tidak jauh berbeda dengan busana ajudannya. Sungguh jauh  dengan penampilan para pemimpin dunia sekarang (Musthafa Murad, Kisah  Hidup Umar bin Khattab, Jakarta: Zaman-Serambi, 2009, hal. 95).
Oleh Uskup Sophronius, Umar sempat diajak mengelilingi Yerusalem, bahkan  mengunjungi Gereja Makam Suci, yang menurut keyakinan Kristen, Nabi Isa  pun dimakamkan di sana. Ketika waktu shalat tiba, Sophronius  mempersilakan Umar untuk shalat di dalam gereja, namun Umar menolaknya,  “Jika mendirikan shalat dalam gereja ini, saya khawatir orang-orang  Islam nantinya akan menduduki gereja ini dan menjadikannya sebagai  masjid.” Mereka mengambil alih gereja untuk dibangun masjid, dengan  alasan Umar pun pernah shalat di situ, yang akibatnya kaum Nasrani jadi  tersisih dan terzalimi (Kisah Hidup Umar bin Khattab, hal. 96; Rahasia  di Balik Penggalian Al Aqsha, Jakarta: Ramala Books, 2007, hal. 54).
Akhirnya, Umar memilih shalat di luar gereja, yang di kemudian hari,  tepat di tempat Umar shalat itu dibangunlah masjid bernama Masjid Umar  bin Khattab yang posisinya bersebarangan dengan Gereja Makam Suci kaum  Nasrani. Untuk menunjukkan tingginya toleransi, maka shalat berjamaah  pun tidak dilakukan di masjid itu, yang berarti agar kumandang azan  tidak mengganggu jamaah gereja. Sungguh sebuah model kerukunan yang  mengagumkan bagi pemeluk agama samawi di mana pun. (Musthafa Murad,  Kisah Hidup Umar bin Khattab, Jakarta: Penerbit Zaman-Serambi, 2009,  hal. 96).
 Pembebasan Yerusalem pada masa pemerintahan Umar bin  Khattab di tahun 637 M benar-benar peristiwa yang sangat penting dalam  sejarah kerukunan dan perdamaian. Selama 462 tahun ke depan wilayah ini  terus menjadi daerah kekuasaan Islam dengan jaminan keamanan memeluk  agama dan perlindungan terhadap kelompok minoritas berdasarkan pakta  yang dibuat Umar ketika membebaskan kota tersebut. Bahkan pada tahun  2012, ketika konflik Palestina kian memuncak, banyak umat Islam, Yahudi,  dan Kristen menuntut diberlakukannya kembali pakta tersebut dan membuat  poin-poin perdamaian yang merujuk pada pakta itu sebagai solusi konflik  antara umat bergama di sana.
Pada masa pemerintahan Umar bin  Khattab hubungan antara kaum Muslimin dengan kaum Nasrani berlangsung  harmonis. Hubungan itu tertuang dalam perjanjian Aelia, yaitu perjanjian  antara orang-orang muslim dengan Kristen pasca-perang Yarmuk yang  dimenangkan oleh tentara Umar. Ketika itu, Shapharnius selaku pemimpin  Kristen kelahiran Damaskus, menyepakati untuk menyerahkan kunci-kunci  kota Al-Quds kepada Umar bin Khattab, dengan syarat Umar harus  memberikan jaminan untuk menghormati ritual dan tradisi umat Nasrani.  Umar pun menyepakati persyaratan itu, sehingga ketika memasuki kota  Al-Quds tak ada setetes darah pun yang tercecer. Dan setelah pembebasan  pun, tak ada satu pun perlakuan buruk Khalifah Umar kepada kaum Nasrani.  (Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam  Rahmatan Lilalamin, Jakarta: Pustaka Oasis, 2010, hal. 355).
  Abdul Husein Sya’ban sebagaimana dikutip Zuhairi Misrawi, menyebut  perjanjian Umar bin Khattab itu dengan Uhdah Umariyyah (Perjanjian  Umariyah), yang isinya mengatur hak dan kewajiban antara umat muslim  Yerusalem dengan penduduk non-Muslim. Perjanjian ini ditandatangani  langsung oleh Umar bin Khattab, Uskup Sophronius, dan beberapa  perwakilan kaum muslimin.
 Teks perjanjian tersebut berbunyi  sebagaimana di bawah (Muhammad Mas’ad Yaqut, Nabiyurr Rahmah: ar-Risalah  wal-Insan, Kairo: az-Zahra lil-I’lam al-Arabiy, 2007, hal. 72):
  Dengan nama Allah Yang Maha Esa Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah  jaminan keamanan yang diberikan hamba Allah, Umar, Amir al-Mu`minin  kepada penduduk Aelia: Ia menjamin mereka keamanan untuk jiwa dan harta  mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta dalam  keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan.  Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan  tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak  pula dari lingkungannya; serta tidak dari salib mereka, dan tidak  sedikit pun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka  tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak dari seorang  pun dari mereka boleh diganggu. Dan di Aelia tidak seorang Yahudi pun  boleh tinggal bersama mereka.
Atas penduduk Aelia (Yerusalem)  diwajibkan membayar jizyah sebagaimana jizyah itu dibayar oleh penduduk  kota-kota yang lain (di Syria). Mereka berkewajiban mengeluarkan  orang-orang Romawi dan kaum al-Lashut dari Aelia (Yerusalem). Tetapi  jika dari mereka (orang-orang Romawi) ada yang keluar (meninggalkan  Aelia) maka ia (dijamin) aman dalam jiwa dan hartanya sampai tiba di  daerah keamanan mereka (Romawi). Dan jika ada yang mau tinggal, maka ia  pun akan dijamin aman. Dia berkewajiban membayar jizyah seperti  kewajiban penduduk Aelia. Dan jika ada dari kalangan penduduk Aelia yang  lebih senang untuk menggabungkan diri dan hartanya dengan Romawi, serta  meninggalkan gereja-gereja dan salib-salib mereka, maka keamanan mereka  dijamin berkenaan dengan jiwa mereka, gereja mereka dan salib-salib  mereka, sampai mereka tiba di daerah keamanan mereka sendiri (Romawi).  Dan siapa saja yang telah berada di sana (Aelia) dari kalangan penduduk  setempat (Syria) sebelum terjadinya perang tertentu (yakni, perang  pembebasan Syrya oleh tentara Muslim), maka bagi yang menghendaki ia  dibenarkan tetap tinggal, dan ia diwajibkan membayar jizyah seperti  kewajiban penduduk Aelia; dan jika ia menghendaki, ia boleh bergabung  dengan orang-orang Romawi, atau jika ia menghendaki ia boleh kembali  kepada keluarganya sendiri. Sebab tidak ada suatu apa pun yang boleh  diambil dari mereka (keluarga) itu sampai mereka memetik panenan mereka.  Atas apa yang tercantum dalam lembaran ini ada janji Allah,  perlindungan Rasul-Nya, perlindungan para Khalifah dan perlindungan  semua kaum beriman, jika mereka (penduduk Aelia) membayar jizyah yang  menjadi kewajiban mereka.
Menjadi saksi atas perjanjian ini  Khalid Ibn al-Walid, Amr Ibn al-Ashsh, Abdurrahman Ibn Auf, dan Muawiyah  Ibn Abi Sufyan. Ditulis dan disaksikan tahun lima belas (Hijriah).  (Musthafa Murad, Kisah Hidup Umar bin Khattab, Jakarta: Zaman-Serambi,  2009, hal. 95. Meski dalam redaksi Arabnya tertulis Elia, sebagaimana  dalam Tarikh Al-Quds Al-Arabiyyah, tetapi dalam menerjemahkan perjanjian  tersebut, penerjemah menggunakan istilah Yerusalem. Lihat pula: Muin  Hasib Farajullah, Tarikh Al-Quds Al-Arabiyyah, Yerusalem: Daru Saad  As-Shabah, 1997).
 Melalui perjanjian itu, Umar bin Khattab  membebaskan para penduduk Yerusalem beribadah sesuai dengan keyakinan  masing-masing, termasuk kaum Yahudi. Ini merupakan fakta penting dalam  sejarah kerukunan umat beragama yang pernah ditampilkan oleh seorang  Khalifah Umar yang sebelum masuk Islam terkenal sebagai sosok yang  keras. Memang dalam perjanjian itu disebutkan, kaum Yahudi tidak  diperbolehkan tinggal di Yerusalem, namun hal itu bukan berasal dari  permintaan Umar, melainkan permintaan Uskup Sophronius. Pasalnya, kaum  Nasrani tidak menyukai kaum Yahudi (Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan  Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum, Jakarta: BPK  Gunung Mulia, 2007, hal. 182).
Dalam sebuah riwayat, Umar  bertanya, “Mengapa orang Yahudi tidak boleh? Harus boleh!” Uskup  Sophronius menjawab, “Kalau begitu jangan dicampur sama orang Kristen,  karena orang Kristen tidak menyukai orang Yahudi.” Dengan sangat  terpaksa, Umar mengkapling Yerusalem menjadi empat kapling atau khai  (dan sekarang masih ada), yang terdiri dari (1) kapling Kristen Armenia,  (2) kapling Ortodoks, yang keduanya tidak dipersatukan, (3) kapling  Yahudi, dan paling besar (3) kapling kaum muslimin. Sejak itu Yerusalem  menjadi kota multiagama. Namun, menurut Nurcholis Madjid, setelah  Yerusalem menjadi kota Kristen, para pemimpin Kristen sama sekali tidak  memperbolehkan pemeluk Yahudi tinggal di kota tersebut (Nurcholish  Madjid dan Asrori S. Karni, Pesan-pesan Takwa Nurcholish Madjid:  Kumpulan Khutbah Jum'at di Paramadina, Jakarta: Paramadina, 2000, hal.  115).
 M. Tatam Wijaya, Tim Peneliti Pusat Studi Indonesia-Arab UIN Jakarta (2015)
Sumber: NU Online
Semoga bermanfaat.
			
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang : 
http://prabuagungalfayed.blogspot.com/2020/01/kisah-khalifah-umar-lindungi-kaum.html