Bayar Hutang Setelah Terjadi Inflasi
Bayar Hutang setelah Terjadi Inflasi
Pernyataan:
Jika saya pernah punya hutang sebesar Rp. 100.000,- di tahun 1995. Ketika itu nilai 1 dollar US terhadap rupiah adalah sekitar Rp. 2.200,-. Sehingga hutang saya ketika itu jika dinilai dengan dollar US adalah sekitar $45,5.
Namun di hari ini (tahun 2022), ketika mata uang sudah mengalami inflasi yang sangat tinggi dibandingkan tahun 1995, nilai 1 dollar US terhadap rupiah adalah sekitar Rp. 15.000,-. Sehingga hutang saya hanya senilai $6,6.
Pertanyaannya, apakah saya harus membayar hutang dengan nilai uang di tahun 1995 ataukah dengan nilai sekarang?
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala sayyidil mursalin, wal ‘ala ahli wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.
Pertama, nilai dollar US sama sekali tidak menjadi patokan dalam hutang piutang atau dalam bab apapun dalam fikih Islam terkait muamalah maliyah. Sehingga perhitungan-perhitungan di atas sama sekali tidak dilihat dalam masalah ini.
Dan mengapa patokannya dollar US, mengapa bukan Euro, atau dollar Singapura, atau ringgit Malaysia, atau Yen Cina, atau yang lainnya? Dari sini kita paham bahwa sama sekali tidak ada kebutuhan untuk mengkonversikan nilai hutang kepada mata uang negara lain.
Kedua, adapun inflasi, ini memang realita yang tidak bisa dipungkiri. Inflasi adalah kemerosotan nilai uang (kertas) karena banyaknya dan cepatnya uang (kertas) beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dan tanpa mengkonversikan kepada mata uang negara lain, kita ketahui bersama tentu nilai uang Rupiah di tahun 1995 berbeda dengan nilai uang Rupiah hari ini. Yang mana nilai uang hari ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun 1995 atau sebelumnya.
Ketiga, hutang-piutang adalah akad tabarru’. Yaitu akad yang di dalamnya seseorang memberikan harta atau manfaat kepada orang lain tanpa timbal balik sama sekali, dalam rangka untuk berbuat kebaikan dan sebagai perbuatan yang ma’ruf.
Ini adalah pendapat mu’tamad Hanabilah, sebagian ulama Syafi’iyah dan sebagian ulama Malikiyah. Di antara dalilnya, dari Barra’ ibnu Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من منح منيحة أو هدى زقاقا أو قال طريقا كان له عدل عتاق نسمة
“Barang siapa memberikan suatu pemberian atau menunjukkan gang -atau jalan- maka orang tersebut mendapat pahala memerdekakan budak” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, no.683. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad).
Dalam hadis ini Nabi memutlakkan semua manihah (pemberian) sebagai bentuk perbuatan baik yang diganjar pahala yang besar.
Dengan demikian, akad hutang-piutang itu memang ada resiko kerugian. Baik kerugian dari sisi opportunity value, karena hartanya digunakan oleh orang lain dan tidak berkembang. Maupun kerugian nilai, yaitu dengan berkurangnya nilai harta ketika dikembalikan. Bahkan orang yang memberikan piutang akan menghadapi resiko hartanya tidak kembali, karena bisa jadi penghutang mangkir tidak bayar hutang.
Ini memang sudah menjadi resiko dari semua akad tabarru‘ seperti sedekah, hadiah, wakaf, dan lainnya. Adanya resiko berkurangnya harta secara lahiriyah, namun Allah berikan pahala dan balasan berupa keberkahan.
Keempat, orang yang memberikan piutang akan mendapat pahala yang besar, walaupun secara nilai hartanya berkurang. Orang yang memberikan hutang termasuk mendapatkan keutamaan orang yang memberikan kemudahan pada orang lain. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
من يسَّرَ على معسرٍ يسَّرَ اللَّهُ عليهِ في الدُّنيا والآخرةِ
“Barang siapa memudahkan kesulitan orang lain, Allah akan mudahkan ia di hari Kiamat” (HR. Muslim no. 2699).
Dan orang yang memberikan hutang akan mendapatkan banyak ganjaran lagi ketika ia memberikan kelonggaran dalam pembayaran. Orang yang memberikan hutang, dianjurkan memberi kelonggaran pada orang yang berhutang dalam masalah pelunasan. Allah berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ
“Jika orang yang berhutang kesulitan, maka berilah kelonggaran hingga ia mudah” (QS. Al-Baqarah: 280).
Dan Allah menjanjikan pahala yang besar bagi yang memberikan kelonggaran pada orang yang kesulitan bayar hutang. Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من أنظر معسرا فله بكل يوم صدقة قبل أن يحل الدين، فإذا حل الدين فأنظره فله بكل يوم مثليه صدقة
“Barang siapa yang melonggarkan pelunasan hutang bagi orang yang kesulitan membayar, maka setiap hari penundaannya tersebut dianggap sampai datang temponya. Ketika datang tempo pembayaran lalu ia beri kelonggaran lagi, maka ia mendapatkan pahala dua kali lipat sedekah setiap harinya” (HR. Ahmad [5/360], dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no.86).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
من أنظر معسرًا أو وَضع له، أظلَّه اللهُ يومَ القيامةِ تحتَ ظلِّ عرشهِ، يومَ لا ظلَّ إلا ظلُّه
“Barang siapa yang melonggarkan pelunasan hutang bagi orang yang kesulitan membayar, atau menganggapnya lunas, maka Allah akan berikan naungan di hari kiamat di bawah naungan Arsy-Nya, di hari ketika tidak ada naungan selain naungan Allah” (HR. Tirmidzi no. 1306, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).
Kelima, hutang uang dibayar dengan uang sama dan semisal, baik nilainya naik atau turun. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:
الْمُسْتَقْرِض يَرُدُّ الْمِثْلَ فِي الْمِثْلِيَّاتِ ، سَوَاءٌ رَخُصَ سِعْرُهُ أَوْ غَلَا ، أَوْ كَانَ بِحَالِهِ
“Orang yang berhutang ia wajib mengembalikan harta yang ia pinjam semisal dengan ketika ia meminjam. Baik nilainya berkurang atau naik, ataupun nilainya masih sama” (Al-Mughni, 6/441).
Bahkan Ibnu Qudamah mengklaim ijma akan hal ini.
Sehingga wajib mengembalikan hutang berdasarkan nilai ketika meminjam bukan nilai ketika mengembalikan. Atau dengan kata lain, wajib mengembalikan hutang dengan besaran sama, dan tidak melihat kepada nilainya. Jika dahulu berhutang Rp10.000,00 maka hari ini hanya wajib membayar Rp10.000,00 walaupun sudah terjadi perbedaan nilai.
Ini merupakan salah satu ketetapan para ulama dalam Majma’ Fiqhil Islami, mereka mengatakan:
العبرة في وفاء الديون الثابتة بعملة ما هي بالمثل وليس بالقيمة ؛ لأن الديون تقضى بأمثالها ، فلا يجوز ربط الديون الثابتة في الذمة أيا كان مصدرها بمستوى الأسعار
“Yang dilihat dalam pembayaran hutang adalah besaran dari uang bukan nilai dari uang. Karena hutang itu dibayar dengan yang semisalnya. Tidak boleh mengaitkan hutang yang tertanggung dengan perubahan harga dalam bentuk apapun” (Ketetapan Majma’ Fiqhil Islami Desember 1988, no. 42).
Keenam, keyakinan bahwa pembayaran hutang harus disesuaikan dengan nilainya akan menimbulkan masyaqqah yang besar. Karena setiap hari, bahkan setiap jam dan setiap menit, nilai mata uang terus berubah. Jika pembayaran hutang harus mengikuti perubahan harta, maka orang yang berhutang hari ini harus mengembalikan dengan jumlah yang berbeda walaupun pembayarannya esok hari.
Contohnya, orang yang berhutang 1 juta rupiah hari ini, bisa jadi harus membayar 1 juta 50 ribu rupiah esok hari. Karena adanya perubahan nilai rupiah dalam 1 hari. Padahal ini jelas merupakan riba.
Dan setiap kali seseorang ingin membayar hutang, akan sibuk untuk mengecek berapa nilai rupiah hari ini, yang juga bisa jadi akan timbul perselisihan antara penghutang dan pemberi piutang tentang kurs rupiah saat itu. Maka jelas ini masyaqqah yang besar.
Sehingga yang benar, pembayaran hutang itu tetap harus dengan besaran yang sama walaupun nilainya berubah.
Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android. Download Sekarang !!
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
REKENING DONASI :
BANK SYARIAH INDONESIA
7086882242
a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Kode BSI: 451
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
http://konsultasisyariah.com/38628-bayar-hutang-setelah-terjadi-inflasi.html