Awalnya Ngeluh Kebanjiran Setelah Melihat Rumah Mewah Yang Tak Kebanjiran Jadi Bersyukur
Kisah Nyata: Awalnya Orang Ini Protes Sama Tuhan Karena Rumahnya yang Kecil Kebanjiran, Sementara Rumah Mewah Tetangganya Tidak Kebanjiran Hingga Akhirnya Dia Malah Bersyukur
Saat kena musibah banjir kemarin, jujur sempat terbersit rasa iri melihat rumah tetangga yang gak kena. Apalagi tetangga di seberang jalan.
Sudah horang kayah, rumahnya megah, kontur tanahnya tinggi, akses dari jalan utama lebih mudah, mobilnya dua, eeh.. gak kena banjir pula. Syaithon pun sempat terkekeh berbisik ke kuping saya “ini gak adil, bos.. Ayo dong protes..”
Tapi beberapa subuh yang lalu, pulang dari masjid saya mendapati ibu tetangga ini gemetaran di depan pagar rumahnya. Si ibu shock.
Ternyata rumahnya baru saja kemasukan maling. Laptop, hape, dan tas berisi barang berharga digasak di depan matanya. Ia teriak-teriak tapi gak ada yang dengar.
Suaminya lalai, ke masjid lupa mengunci pintu pagar. Saya sebenarnya sempat berpapasan dengan maling bermotor ini tapi gak kepikiran kalo ini maling.
Dari sini saya mendadak bersyukur. Bukan nyukurin tetangga, tapi bersyukur atas keadaan yang kemarin sempat saya permasalahkan.
Rumah saya yang posisinya agak masuk ke dalam, setidaknya bukan prioritas utama maling.
Kalo dipikir-pikir rasanya masih mending rumah kedatangan banjir yang gak seberapa kerugiannya daripada kedatangan maling yang lebih berpotensi mengancam nyawa.
Walaupun kalo disuruh milih, tentu saja saya pilih rumah kedatangan mister easy money atau kedatangan tim bedah rumah.
Dengan kejadian yang menimpa tetangga ini, Allah seolah mengirim pesan pada saya bahwa gak baik membanding-bandingkan keadaan yang sudah diatur oleh-Nya.
Ini tentu saja terlepas dari tulisan saya perihal jiwa misqueen yang bergejolak melihat kehidupan artis-artis Indonesia, karena kalo yang itu konteksnya memang bercanda. Wkwkwk.. Ngeles ae..
Soal ini, saya jadi teringat kisah seorang pengembara yang mampir istirahat di bawah sebuah pohon asam.
“Pohon sebesar ini tapi kok buahnya kecil ya?” celutuknya iseng.
“Sementara buah labu yang besar, pohonnya malah kecil. Ini gak adil..” lanjutnya.
Tapi belum selesai ngomong tiba-tiba jatuh buah asam menimpa kepalanya. Si pengembara terperanjat, mendadak sujud syukur dan segera memohon ampun kepada Allah atas perkataannya barusan.
Bayangkan andai buah asam itu benar-benar sebesar buah labu, tentu kepalanya auto penyok.
Moral of story. Kadangkala kita melihat sesuatu dari sudut pandang kita sendiri, seolah kita punya hak untuk menggugat atau bahkan menghakimi.
Orang yang traveling mulu, kita pikir hidupnya enak, padahal bisa jadi ada masalah yang ia hindari di rumahnya.
Orang yang pake alphard kita kira nyaman dan tenteram, padahal mungkin lebih pusing dari kita mikirin pajak 10 juta.
Maka, pada setiap keadaan, ada baiknya menekan hak untuk membandingkan, karena bersyukur adalah sebuah kewajiban.
“Bila memandang langit jangan lupa bumi, lupakan kewajiban berdosa kau nanti”
Itje Trisnawaty, 1988
Sumber: Arham Rasyid
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://islamidia.com/awalnya-ngeluh-kebanjiran-setelah-melihat-rumah-mewah-yang-tak-kebanjiran-jadi-bersyukur/