Spdk Meminta Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim Pecat Rektor Universitas Khairun Ternate
KONFRENSI PERS
Solidaritas Perjuangan Demokrasi Kampus Kota Ternate [ SPDK - Ternate ]
Pernyataan Sikap Bersama
"Rektor UNKHAIR Harus Segera Mencabut Surat Keputusan Drop Out nomor 1860/UN44/KP/2019 dan Mengembalikan Fungsi Kampus Sebagai Ruang untuk Kebebasan Berpendapat dan Berpikir."
"Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau"
(Soe Hok Gie)
Salam Solidaritas !!
Salam Demokrasi !!
Hidup Mahasiswa !!
12 Desember 2019 dengan menimbang Surat Kepolisian Nomor B/52B/XII/2019/Res Ternate tanggal 12 Desember 2019 perihal Surat Pemberitahuan. Tanpa alasan yang jelas, Rektor Universitas Khairun (Unkhair) Ternate memberhentikan 4 mahasiswanya dengan tuduhan melakukan perbuatan ketidakpatutan yang mengarah tindakan makar dan mengganggu ketertiban umum.
Keempat mahasiswa tersebut adalah Arbi M. Nur (Mahasiswa Jurusan Kimia, FKIP, Semester XIII), Fahyudi Marsaoly (Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Semester XI), Ikra Alaktiri (Mahasiswa Jurusan PKN, FKIP, Semester V) dan Fahrul Abdul (Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Semester XI). Dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 1860/UN44/KP/2019 tertera bahwa yang menjadi dasar pemberhentian keempat mahasiswa tersebut adalah unjuk rasa damai “Memperingati 58 Tahun Deklarasi Kemerdekaan Rakyat West Papua” yang dilakukan pada 2 Desember 2019 di depan kampus Universitas Muhammadiyah Ternate.
Tidak ada hubungan hukum yang jelas terkait Surat Kepolisian Nomor B/52B/XII/2019/ dengan Pemberhentian Ke-4 Mahasiswa tersebut karena dalam isi surat Kepolisian Nomor B/52B/XII/2019/ bukan Surat mentersangkakan atau Surat Perintah Penangkapan tindak makar atau mengganggu ketertiban umum. Pun jika surat tersebut untuk penangkapan atau menjadikan sebagai tersangka tidak lantas Rektor menerbitkan Surat Keputusan Drop Out (SK DO) karena seseorang belum bisa dikatakan bersalah tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, apalagi apa yang dilakukan ke-4 mahasiswa tersebut pada 2 Desember 2019 bukan merupakan tindak pidana melainkan dalam rangka mengekspresikan hak konstitusionalnya yang dijamin negara dalam bentuk unjuk rasa damai/demonstrasi damai memprotes kesewenang-wenangan negara terhadap rakyat Papua. Sehingga tindakan Rektor untuk mengambil Keputusan pemberhentian ke-4 Mahasiswa tersebut janggal dan terkesan dipaksakan.
Isian dari pada protes tersebut bukanlah menjadi persoalan yang mendasar karena unjuk rasa damai/demonstrasi damai apapun bentuknya selama itu dalam lingkup mengekspresikan hak dan tidak mengganggu atau membatasi hak orang lain bukan merupakan sebuah tindak pidana ataupun ketidakpatutan seperti apa yang didalilkan Rektor UNKHAIR. Sebaliknya protes terhadap kesewenang-wenangan negara tersebut merupakan sebuah keharusan dan kampus sebagai wadah yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan seharusnya turut serta dalam mengabarkan pesan-pesan kebenaran bukan menuduh mahasiswanya hendak melakukan tindak pidana.
Surat kepolisian tersebut tidak bisa menjadi dasar karena sifatnya bukan surat penetapan yang memiliki kekuatan mengikat untuk dilaksanakan karena isiannya adalah, tentang pemberitahuan yang dikirim komite aksi yang akan melakukan aksi damai/demonstrasi damai pada tanggal 2 Desember 2019. Surat pemberitahuan dari kepolisian itu sebagai bukti bahwa dalam melaksanakan unjuk rasa damai/demonstrasi damai ke-4 mahasiswa tersebut telah menempuh jalur hukum yang diperintahkan Undang-Undang. Sehingga dasar surat pemberitahuan sebagai alasan menerbitkan SK D.O adalah tidak beralasan menurut hukum.
Rektor UNKHAIR Melampaui Prosedur
Berkaitan dengan diterimanya surat kepolisian Rektor tanpa mendengarkan keterangan dari pihak mahasiswa menerbitkan SK. D.O pada tanggal yang sama dengan masuknya surat dari kepolisian. Kalau dilihat dari rentan waktu masuknya surat kepolisian dan terbitan SK. D.O adalah terkesan terburu-buru tanpa pertimbangan Rektor mengeluarkan SK. D.O. Padahal jelas dan terang disebutkan dalam Pasal 74 ayat (1) Peraturan Rektor No. 1714/UN44/KR.06/2017 tentang Peraturan Akademik bahwa tahapan sanksi dimulai dari: (a) teguran lisan, (b) teguran tertulis. Pada ayat (2) disebutkan sanksi akademik berupa: (a) tidak diizinkan mengikuti kegiatan perkuliahan dan kegiatan akademik lain, (b) tidak boleh mengikuti ujian semester, (c) pembatalan mata kuliah tertentu, (d) pembatalan skripsi/tugas akhir dan karya ilmiah lain, (e) diberhentikan sebagai mahasiswa yang menjadi salah satu alasan pelanggaran yang dilakukan ke-4 mahasiswa tersebut.
Selain itu menurut kepatutan rektor sebelum mengeluarkan SK. D.O terlebih dahulu memanggil ke-4 mahasiswa tersebut untuk mendengarkan keterangan mereka sehingga keterangan kedua belah pihak dapat menjadi pertimbangan yang objektif bagi rektor untuk mengeluarkan SK. D.O. Ke-4 mahasiswa tersebut bahkan belum pernah dipanggil sama sekali untuk didengarkan keterangannya.
Dalam hal memberikan sanksi, Rektor harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Peraturan Akademik. Dalam SK D.O poin C di pokok pertimbangan, rektor menuduh ke-4 mahasiswa tersebut telah melakukan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan pasal 32 ayat (4) sehingga dengan demikian sanksi terhadap perbuatan yang diatur dalam pasal 32 ayat (3) Peraturan Akademik harus merujuk pada ketentuan pasal 32 ayat (4), yaitu : “bagi mahasiswa yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan sanksi berupa teguran, diberhentikan sementara pada semester tertentu dan/atau dikeluarkan (putus studi) sebagai mahasiswa Universitas Khairun”. Dalam poin pertimbangannya, SK D.O tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 32 ayat (3) tetapi dalam memberikan sanksi Rektor melampaui tahapan-tahapan yang diperintahkan dalam ketentuan pasal 32 ayat (4). Apalagi ke-4 mahasiswa di-DO telah melakukan aktivitas politik atau aksi mimbar bebas diluar dari kampus Unkhair yang tidak ada sankut pautnya dengan kampus ataupun merusak fasiltas kampus, membawa organisasi legal kampus, dan mengatasnamakan mahasiswa Unkhair.
Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Intelektual
Sulitnya mendapatkan hak akan kebebasan untuk berekspresi dalam bentuk protes terhadap negara tidak terlepas dari represifitas negara yang tidak hanya datang dari aparatus kekerasan negara (sekalipun pelanggaran terbanyak dari aparat negara) tetapi sudah menyasar secara luas sampai pada dunia akademik. Padahal dunia akademik sudah seharusnya memberi kebebasan pada setiap individu untuk mengekspresikan minat bakat dan semua hal tentang kemampuan dirinya untuk berbuat bagi kehidupan yang lebih baik.
Dunia akademik melekat padanya kebebasan intelektual yang harus dibuat tumbuh subur pada setiap periodesasi bahkan setiap saat. Tapi represi akademik telah mengubah wajah kampus yang seharusnya ramah pada kritik dan pengungkapan kebenaran ilmiah menjadi otoriter dan sewenang-wenang. Dalam kasus ini, kampus UNKHAIR tidak amanah dalam mewujudkan Tridarma perguruan tinggi, yakni pengabdian terhadap masyarakat. Protes yang dilayangkan ke-4 orang tersebut kepada negara harus dimaknai sebagai pengabdian mereka dalam mengemban pengetahuan yang di dapat, kalau saja Rektor UNKHAIR mau supaya membantah protes tersebut harusnya didiskusikan dalam ruang-ruang keilmiahan, bukan sebaliknya menggunakan kuasa untuk menghantam setiap protes yang dianggap mengancam status quo negara.
Dalam hal ini, sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM dan Demokrasi, UNKHAIR sebagai institusi perpanjangan tangan dari negara yang bergerak di bidang akademik memberikan ruang bagi setiap individu/mahasiswa untuk bebas bicara tentang apa saja yang diyakini sebagai kebenaran ilmiah dan ketidaksetujuan setiap orang atas hal tersebut mesti diuji lewat ruang-ruang dialogis yang ilmiah pula. Jika tidak, apapun alasan kita sebagai bangsa Indonesia yang meratifikasi konven tentang HAM, mengamandemen Konstitusi dengan Pasal-Pasal tentang jaminan HAM dan pelaksanaannya dibuat dalam Undang-Undang untuk menjamin hak orang tidak akan pernah terwujud selama di ruang akademik saja dibatasi orang berbicara dan berekspresi dengan D.O apalagi ruang kita bermasyarakat.
Untuk itu dalam mewujudkan pendidikan yang bersih, mengedepankan kebebasan akademik, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan pemenuhan hak asasi setiap orang dengan pembatasannya adalah hak dan kebebasan orang lain maka segala bentuk tindakan unjuk rasa damai/demonstarsi damai yang dilakukan setiap mahasiswa/orang lain harus dimaknai sebagai ekspresi atas hak yang dilindungi oleh konstitusi dan peraturan perundangan dibawahnya termasuk Statuta UNKHAIR. Sehingga tindakan represifitas dan pengekangan terhadap hak berekspresi harus dijadikan sebagai musuh setiap orang yang menginginkan tegaknya demokrasi dan HAM serta diakui pemberlakuannya.
Berdasarkan uraian di atas dengan tegas, untuk ruang demokrasi, kebebasan akademik dan juga kebebasan intelektual maka kami menuntut :
1. Cabut Surat Keputusan Rektor Universitas Khairun (Unkhair) Ternate nomor 1860/UN44/KP/2019 dan segera pulihkan hak-hak akademik
2. Menuntut pertanggungjawaban pihak Universitas Khairun Ternate atas penggunaan kekerasan dalam pembubaran massa aksi Solidaritas Perjuangan Demokrasi Kampus pada 30 Desember 2019
3. Cabut Surat Edaran Rektor Nomor 1913/UN44/RT/2019
4. Meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Anwar Makarim untuk memecat Rektor Universitas Unkhair karena telah menciderai hak mahasiswa untuk berkumpul, berekspresi, dan berpendapat yang dijamin dalam konstitusi
5. Berikan jaminan kebebasan akademik sesuai dengan amanat konstitusi
6. Menyerukan dukungan solidaritas untuk kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat
#KamiBersamaArbi
#KamiBersamaFahyudi
#KamiBersamaIkra
#KamiBersamaFahrul
#CabutEdaranRektorSekarangJuga
#KampusUnkhairAntiDemokrasi
#BubarkanPremanDalamKampus
#JanganDiam
Photo : Mardani LegayeLol
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2020/01/spdk-meminta-menteri-pendidikan-nadiem.html