Sejarah 23 Juni Jadi Perayaan Hari Janda Internasional
Tanggal 23 Juni setiap tahunnya dirayakan sebagai Hari Janda Internasional (International Widow’s Day) di seluruh dunia.
PBB memulai perayaan ini sejak tahun 2011 lalu.
Namun penyelenggaran hari ini diinisiasi oleh The Loomba Foundation, sebuah organisasi dari India untuk meningkatkan keawasan tentang berbagai isu janda.
Tanggal 23 Juni dipilih berdasarkan tanggal Shrimati Pushpa Wati Loomba, ibu dari pendiri organisasi tersebut, Lord Loomba, menjadi janda pada 23 Juni 1954.
Perayaan hari Janda Internasional Pertama berlangsung pada 2005.
Pada 2010, mereka mengajukan hari peringatan ini ke PBB.
Mereka mengungkapkan dalam bukunya Invisible, Forgotten Sufferers: The Plight of Widows Around the World (2010) ada setidaknya 245 juta janda di seluruh dunia, sekitar 115 juta di antaranya berada di garis kemiskinan dan mengalami stigma sosial dan kekurangan uang karena kehilangan suaminya.
Pada 21 Desember 2020, PBB secara resmi mengadopsi 23 Juni sebagai Hari Janda Internasional.
Di 2010, perayaan ke-6 dilakukan di Rwanda, Sri Lanka, Amerika Serikat, Inggris, Nepal, Suriah, Kenya, India, Bangladesh, dan Afrika Selatan.
Dalam lamannya, PBB mengungkapkan bahwa tujuan diadakannya hari janda adalah untuk memberikan perhatian pada suara dan pengalaman para janda demi menggalang dukungan unik yang mereka butuhkan.
Hari ini diungkapkan PBB, adalah kesempatan untuk bertindak menuju pencapaian hak penuh dan pengakuan bagi para janda.
Kehilangan pasangan untuk selamanya sudah sangat menghancurkan hati, namun wanita di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang masih menghadapi masalah lain yaitu perjuangan jangka panjang untuk kebutuhan dasar mereka, hak asasi manusia, dan martabat.
Beberapa di antaranya adalah memberikan mereka informasi tentang akses ke bagian yang adil dari warisan, tanah, dan sumber daya produktif mereka; pensiun dan perlindungan sosial yang tidak didasarkan pada status perkawinan saja; pekerjaan yang layak dan upah yang sama; dan peluang pendidikan dan pelatihan.
Memberdayakan janda untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga mereka juga berarti mengatasi stigma sosial yang menciptakan pengucilan, dan praktik diskriminatif atau berbahaya.
PBB juga meminta pemerintah masing -masing negara untuk memastikan hak para janda dipenuhi.
Hak ini tercantum dalam hukum internasional, termasuk Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan Konvensi tentang Hak-Hak Anak.
“Pandemi baru saja memperburuk situasi selama beberapa bulan terakhir dengan kehilangan orang terkasih, dan satu yang kemungkinan meninggalkan puluhan ribu wanita baru saja menjadi janda pada saat mereka terputus dari dukungan sosial-ekonomi dan (bantuan) keluarga mereka.”
“Pengalaman dari pandemi masa lalu, misalnya HIV / AIDS dan Ebola, menunjukkan bahwa para janda sering kali ditolak hak warisnya, properti mereka diambil setelah kematian pasangannya, dan dapat menghadapi stigma dan diskriminasi ekstrem, sebagai ‘pembawa’ penyakit. Di seluruh dunia, wanita jauh lebih kecil untuk memiliki akses ke pensiun hari tua daripada pria, sehingga kematian pasangan dapat menyebabkan kemelaratan bagi wanita.”
Diperkirakan ada 258 juta janda di seluruh dunia, dan hampir satu dari sepuluh hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Tetapi, diperkirakan jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi dan terus bertambah karena virus corona dan efeknya pada kesehatan masih terus terjadi sampai saat ini.
“Dan dalam konteks COVID-19, para janda tidak boleh ditinggalkan dari pekerjaan kita untuk “membangun kembali kehidupan yang lebih baik”. Mari kita memastikan bahwa pemulihan kita memprioritaskan kebutuhan unik mereka dan mendukung masyarakat agar lebih inklusif, ulet, dan setara untuk semua,” tulis PBB.
Sumber: cnnindonesia.com
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://islamidia.com/sejarah-23-juni-jadi-perayaan-hari-janda-internasional/