Resume Buku Approaches To The Study Of Religion Oleh Peter Connolly
Penulis: Hafniati
Pendahuluan
Ada beberapa tipe mahasiswa yang mengambil mata kuliah keagamaan didasari oleh latar belakang pemahaman mereka masing-masing. Di antaranya:
1. Mahasiswa yang religius yang aktif dalam suatu komunitas yang ingin memperluas wawasannya dan mempelajari tradisi-tradisi keagamaan lainnya.
2. Mahasiswa yang tidak menggambarkan sifat religius sama sekali dalam dirinya bahkan cenderung menolak agama namun tetap memiliki permasalahan yang harus diselesaikan terkait dengan agama.
3. Mahasiswa yang sangat minim pengetahuan agamanya sejak kecil namun mengakui pengaruh agama pda sektor-sektor penting populasi dunia
4. Mahsiswa yang ragu apakah dalam agama terdapat sesuatu yang bernilai atau tidak
Buku ini bermaksud untuk memberikan petunjuk bagi mahasiswa dan peneliti yang tertarik dengan studi keagamaan agar terbiasa mengakui bahwa terwujudnya pikiran yang terbuka (open mind) adalah sesuatu yang langka. Para mahasiswa danpeneliti tidak hanya puas dengan perolehan gelar atau studi saja namun meraka bisa membawa sebuah filter perseptual dan interpretatif yang akan mengarahkan mereka tentang materi-materi keagamaan dalam konteks perbincangan akademik.
Tujuh tulisan dalam buku ini membrkan titik tekan yang berbeda pada masing-masing pembahasan sehingga melahirkan sejumlah asumsi yang berbeda pula dalam melaksanakan penelitian. Ditinjau dari hubungannya dengan keagamaan, semua pendekatan yang diungkapkan dalam buku ini (selain pendekatan teologi) pada dasarnya adalah jenis pendekatan dari luar yang berarti pendekatan ini bisa dilakukan oleh orang yang religius ataupun non-religius, artinya seorang penelitinya tidak membawa suatu komitmen tentang kebenaran, dan tidak pula membawa keyakinan kesalahpandangan dunia tersebut yang menjadikan pikiran terbuka menjadi keniscayaan yang pokok.
Umumnya, peneliti dari dalam (insider) perlu belajar bagaimana melangkah secara imajinatif di luar perspektif religius yang dimiliki agar memperoleh banyak ide. Sedangkan peneliti dari luar (outsider) mereka yang memiliki pandangan dunia nonreligius, memiliki kewajiban mengimajinasikan bagaimana bentuk suatu dunia ketika di dalamnya terdapat wilayah suci. Kedua kelompok tersebut sedang berupaya atau diarahkan menuju imajinasi untuk memasuki dunia orang lain, namun bentuk perubahan mental dan emosional yang dialamai oleh masing-masing berbeda.
Tulisan dalam buku ini tidak dimaksudkan untuk mengarahkan mahasiswa menjadi antropolog atau sosiolog agama atau apapun. Untuk itu diperlukan suatu training-training yang sangat praktis yang bertujuan membantu mahasiswa menentuka disiplin manakah yang paling menarik dan cocok sebagaimana mereka merefleksikan pilihan spesialisasi metodologis.
1. Pendekatan Antropologis Oleh David N. Gellner
Antropologi bermula pada abad XIX sebagai penelitian terhadap asal-usul manusia. Penelitian Antropologi ini mencakup pencarian fosil yang masih ada, mengkaji keluarga binatang yang delat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia apakah yang paling tua dan tetapbertahan (survive). Masyarakat tersebut disebut masyarakat primitif. Seluruh aktivitas penelitian di atas tergolong penelitian antropologi, sekarang hal itu tampak sebagai kecelakaan sejarah semata.[1]
Menurut Durkheim agama-agama primitif memenuhi kebutuhan yang sama, memainkan peran yang sama dan bertolak dari sebab yang sama oleh karenanya, agama-agama primitif dapat menjelaskan watak kehidupan agama dengan baik.[2]Durkheim mengritik definisi agama-agama lain selain agama primitif yang mendefinisikan agama sebagai keyakinan pada supranatural atau keyakinan pada Tuhan atau Zat yang spiritual. Ia yakin bahwa masyarkat membutuhkan bebrapa bentuk agama untuk mengikat mereka bersam. Di dunia modern, agama seperti yang diyakini secara tradisional akan diganti oleh berbagai bentuk agama individual nasional dan sipil.
Teori ini kemudian dikritik oleh Malinowski (1884-1942). Maliowski menegaskan bahwa ia seorang fungsionalis. Apa yang ia pahami dengan fungsionalis adalah gagasan bahwa masyarakat dilihat sebagai suatu totalitas fungsional, seluruh adat kebiasaan dan praktik harus dipahami dalam totalitas konteksnya dan dijelaskan dengan melihat fungsinya bagi anggota masyarakat tersebut sehingga tidak tepat sama sekali menggunakan gagasan survivals evolusionis untuk menjelaskan segala sesuatu. Ia juga menjelaskan fungsi agama dan ilmu melalui teori fungsionalis tentang keutuhan manusia, menggunakan struktur sosial dan keagamaan yang menjadi legitimasi dasar antropologi sosial dan antropologi budaya yang khas. Dengan bantuan observasi yang melihat suatu hal terkait dengan suatu yang lain (holisme).
Antropologi sosialnya Malinowski diperkuat oleh Radcliffe Brown (1881-1955) yang kemudian dikenal dengan fungsionalisme struktural untuk membedakan dari fungsionalisme Malinowski. Bedanya ia tidak menjadi etnografi yang melakukan penelitian lapangan dan fokus pada kebutuhan biologis tetapi dia seorang teoritis yang fokus pada kebutuhan masyarakat yang keduanya tetap sama-sama menekankan holisme.
Dalam pandangan fungsionalisme struktural, agama dilihat sebagai perekat masyarakat, agama dianalisis guna menunjukan bagimana agama memberikan kontribusi dalam mempertahankan struktur sosial suatu kelompok.
Pada saat yang sama, antropolog menjadi lebih tertarik mengkaji budaya masyarakat demi kepentingan budaya itu sendiri dan bukan semata-mata memberikan kontribusi dalam mewujudkan stabilitas sosial. Dimana tokoh yang berpengaruh adalah antropolog Prancis, Claude Levi-Strauss. Sistem pemikiran dianlisis dari sudut pandang oposisi biner, yang mengungkapkan inti logikanya. Oposisi dasar dianggap bersifat universal ditemukan dalam mite, simbol, dan prilaku-prilaku budaya diseluruh dunia. Metode ini terinspirasi oleh metode linguistik struktural.
Karakteristik Dasar Pendekatan Antropologis
Menurut Soulthwold ada 12 karakteristik pendekatan antropologis, yaitu:
1. Concern pada sesuatu yang ilahiyah dan hubungan manusia dengan Nya
2. Dikotomi elemen menjadi sacred dan profanedan perhatin utama pada secred
3. Orientasi pada keselamatan dari keadaan biasa dalam kehidupan duniawi
4. Praktik-praktik ritual
5. Keyakinan yang tidak dapat ditunjukkan secara logis atau empiris, atau sangat mungkin tetapi harus ada sebagai dasar keimanan
6. Suatu kode etis yang didukung oleh keyakinan-keyakinan
7. Sanksi supernatural karena terjadi planggaran terhadap kode tersebut
8. Mitologi
9. Adnya suatu kitab suci atau tradisi oral yang mulia
10. Adanya kependetaan (nabi) atau spesialisasi
Disisi lain, kebanyakan antropolog seperti Clifford Geertz, memberi penekanan yang lebih besar utuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang masyarakat itu sendiri (atau juga melihat dari luar (outside). Dalam disiplin yang lain, dapat disebut prespektif fenomenologis atau hermeneotik.
Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yaitu pandangan bahwa praktek-praktek sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktek yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Sehingga agama misalnya tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oeh praktek-praktek sosial lainya. Dalam hal ini, para antropolog harus melihat agama dan praktek-praktek pertanian, kekeluargaan dan politik, magic, dan pengobatan secara bersama-sama.
1. Pendekatan Feminis Oleh Sue Morgan
Pendekatan feminis dalam studi agama merupakan transformasi kritis dari prespektif teoritis dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utama. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain.
Feminisme bukanlah fenomena tunggal atau monolitik, melainkan mencakup spektrum perspektif politis atau ideologis yang luas. Oleh karenanya tidak mungkin atau bahkan merupakan kesalahan untuk memulai dengan apapun kecuali melalui suatu definisi inklusif yang luas seperti yang ditawarkan David Bouchier yang mendeskripsikan feminisme dengan berbagai bentuk perlawanan terhadap beragam bentuk diskriminasi sosial, personal, atau ekonomi dimana perempuan sebagai pihak yang menderita karena jenis kelaminnya.
Studi feminis terhadap agama memiliki asal-usul panjang dan menarik. Asal-usul bentuk dapat dikenali dari feminisme religius Anglo-American yang terorganisir muncul pada abad XIX dan didominasi oleh dua isu utama, perbedaan terkait persamaan akses terhadap jabatan pendeta (ministry) dan kritisme Injil.
Keterlibatan mereka ini merupakan suatu yang rumit dan berbelit namun mengilhami baik tanggapan yang konsservatif maupun radikal. Feminis liberal selain menentang ideal-ideal Injil tentang subordinasi dan domestifikasi perempuan, menuntut kesetaraan politik dan sosial sekalipun dengan perbedaan seks sebagai hak yang diberikan Tuhan.
Salah satu teori ekplanatoris yang paling berpengaruh dikemukakan oleh Rosemari Radford Reuther dalam bukunya; Religion and Sexime (1974) dan New Woman, New Earth: Sexist Ideologist and Human Liberation (1975) ia mengatakan, bahwa pencemaran keagamaan terhadap perempuan bergantung pada serangkaian kesalahan teologis dan dualisme antropologis. Teolog-teolog kristen awal yang mendukung antropologi aristotelian yang cacat dimana perempuan dianggap sebagai laki-laki yang hina akal, fisik, dan moralitasnya dianggap tidak sempurna. Salah satu aspek pendekatan feminis yang paling berbeda dan produktif adalah kemampuannya yang konsisten untuk mencakup spektrum yang luas.
Agar pengalaman mereka dapat dikatakan valid sebagai bentuk pengetahuan keagamaan yang legimate dan mengubah watak parsial model toeritis dominan, feminis menuntut reorientasi fundamental dalam studi agama dimasukkannya (pengalaman) perempuan dalam analisis keagamaan dan teologis seperti yang dikemukakan Reuther dalam sexism and God-Talk (1983) meskipun bagi refleksi teologis sendiri, kriteria pengalaman bukan kategori unik yakni kesadaran diri untuk menarik pengalaman perempuan secara pasti.
Seak tahun 1980, pertumbuhan dan diversifikasi pendekatan feminis dicirikan dengan upaya untuk menciptakan sumber materiil baru dan digunakannya paradigma kesarjanaan keagamaan yang baru, memperbaiki model androsentris sebelumnya dengan mengistimewakan pengalaman perempuan.
Pertama, Feminis tidak mesti harus membuang metafor-metafor tradisional meskipun mereka berusaha mengacaukan dan mentransendisikan batasan-batasan pratiarki metafor-metafor tersebut. Seperti apa yang dikemukakan Ursula King “barangkali bukan hal yang bijak dan tidak perlu untuk meninggalkan image Tuhan Bapak, tetapi pandangan terhadap keyakinan yang sedang hidup juga menghendaki tidak semata-semata mewarisi simbol yang tidak lagi bicara dengan mudah kepada kita.
Pendekatan keduamengacu kepada tradisi kenabian Yesus dalam Injil sebuah tema dasar yang oleh feminis dinyatakan sebagai bukti kemampuan Injil memunculkan perspektif kritisisme diri terhadap patriarki dengan bersumber pada Injil sendiri.
Karakteristik perspektif feminis yang ketiga adalah penemuan kembali sejarah keagamaan perempuan. Namun kerjasam feminis religius akhirakhir ini memfokuskan perhatiannya untukl memperbaiki jarak penglihatan historis tidak hanya ratu yang saleh atau perempuan suci melainkan juga permepuan awam religius dalam beragam peran spiritual dan konteks historis.
3. Pendekatan Fenomenologis Oleh Clive Erricker
Fenomenologi lahir dan ditetapkan dalam studi agama sebagai sebuah metode penelitian ilmiah yang ditawarkan dengan pendekatan-pendekatan teologis. Filsafat Hegel dikatakan sebagai dasar dibangunnya pendekatan fenomenologis dimana ia mengembangkan tesis bahwa esensi dipahami melalui penyelidikan atas penampakan dan manifestasi. Dari Hegel inilah lalu melahirkan Van der Leeuw. Pengaruh filosofis kedua yang dijadikan dasar adalah filsafat Edmund Husserl, yaitu dengan munculnya istilah yang diambil dari bahasa Yunani epoche(apa yang ada di dalam) dan pandangan eidetic (melihat apa yang ada sesungguhnya). Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye lalu menjadikan ini sebagai pendekatan agama ketahap disiplin ilmiah selain juga Rudolf Otto yang berhasil memecahkan persoalan dasar dalam studi ini.
Karakteristik dalam pendekatan ini yang pertama adalah dengan melaksanakan kajian agama “deskriptif” dengan tujuan mengukuhkan pengetahuan tentang berbagai ekspresi fenomena yang secara tipologis diintrepetasikan menurut prinsip-prinsip filosifis pragmatik yang jelas dan prinsip-prnsip psikologis.
Objek fenomenologi tidak lolos dari kritik hingga memiliki implikasi pergeseran objek yang penting, 1). Ia memberikan penekanan pada watak kontemporer, 2). Ia lebih fokus pada individual, kelompok, dan pandangan keagamaan sehari-hari dari pada melihat tradisi, otoritas, dan pernyataan doktrinal tentang tema-tema teologis, 3). Ia mengakui bahwa pluralitas tidak hanya ada pada serangkaian tradisi, melainkan pada relaitas agama yang jauh lebih komplek baik lokal maupun global, dinamis maupun tradisionalis, 4). Agama dan budaya adalah hubungan yang kompleks.
4. Pendekatan Filosofis Oleh Rob Fisher
Pendekatan filosofis ini mengalami krisis identitas karena 1). dimana pendekatan filosofis dalam studi agama dapat ditemukan, karena pada faktanya ini bisa ditemukan di filsafat, studi agama, teologi, dan deparemen kemanusiaan. 2). mengapa banyaknya tempat atau konteks yang berbeda-beda menyebabkan krisis identitas.
Jika dalam program studi teologi, pendekatan filosofis dalam studi agama mungkin harus melakukan penelitian dan penyelidikan yang berfokus pada bagaimana ide-ide dan konsep-konsep dalam sejarah filsafat memungkinkan kita memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang doktrin atau memahami pandangan para teolog secara lebih akurat. Dari sinilah maka pendekatan ini terkadang disebut dengan “teologi filosofis”.
Pendekatan filosofis terhadap agama adalah proses rasional yang mencakup pada dua hal. 1). Kita menunjukan fakta bahwa akal memainkan peranan fundamental dalam refleksi pengalaman dan keyakinan keagamaan dalam tradisi keagamaan. 2). Menunjukan fakta bahwa dalam menguraikan keimanannya, tradisi keagamaan harus dapat memproduksi argumen-argmen logis dan dalam membuat klaim-klaim yang dapat dibenarkan. Adapun pusat filsafat adalah pertanyaan-pertanyaan tertentu, dari pertanyaan inilah maka pendekatan filsafat dimulai.
Menjawab persepsi umum yang begitu negatif tentang nilai guna filsafat, maka filsafat dalam nilai guna (yang pertama) sebagai suatu aktivitas yang dilakukan oleh individu, suatu proses kerja gradual, abadi melalui ide, argumen, pemikiran dan pengalaman. Nilai guna kedua filsafat adalah belajar bagaimana berfikir (suatu proses yang melibatkan produksi alasan dan argumen. Dengan produksi inilah menunjukan bahwa kita sedang berpikir tentang apa yang sedang kita katakan, atau apa yang kita yakini, kita sedang berusaha menemukan cara untuk mendukung dan membenarkan pernyatan-pernyataan kita.
4 posisi utama Filsafat: 1. Filsafat sebagai agama, 2. Filsafat sebagai pelayan agama, 3. Filsafat sebagai pembuat ruang bagi keimanan, 4. Filsafat sebagai perangkat analitis dalam agama, dan boleh ditambahkan yang ke 5. Filsafat sebagai studi tentang penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan.
Logika sebagai cabang pendekatan filosifis pertama yang menuntut premis yang benar guna membangun argumen yang tidak keliru sebelum akhirnya menyimpulkan. Cabang aktivitas filosofis kedua adalah metafisika, yang secara literal berarti kehidupan, alam, dan segala hal yang syarat akan petanyaan fundamental (kehidupan, eksistensi, dan watak itu sendiri) terkait hal yang paling besar. Cabang aktivitas filosofis ketiga adalah epistimologi, yang menitik beratkan pada apa yang kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui. Tugasnya tidak lain untuk menemukan bagaimana pengetahuan berbeda dari keyakinan dan pendapat. Cabang keempat aktivitas filosofis adalah etika, yang minitikberatkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang kewajiban, keadilan, cinta, dan kebaikan. Dalam kaitannya dengan studi agama jelas terlihat dalam kehidupan keagamaan aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang menerangkan tentang cara kehidupan religius yang sumbernya dikatakan adalah Tuhan.
5. Pendekatan Psikologis Oleh Peter Connolly
Psikologi agama pada kenyataanya adalah bukanlah bagian daripada ilmu mainstreampsikologi. Seperti di Inggris dan Amerika yang menitikberatkan penggalian ilmu psikologi agama ini di dalam departemen studi-studi keagamaan atau teologi, bukan masuk ke dalam departemen psikologi. Hal ini menjadikan psikologi agama berbeda daripada kebanyakan psikolog lainnya.
Ada perbedaan pandangan melihat psikologi agama antara psikolog nonreligius dan psikolog religius. Psikolog nonreligius biasanya akan berusaha menjelaskan fenomoena keagamaan tanpa mengacu pada realitas transempiris, sementara psikolog religius ingin tetap membuka kemungkinan realitas itu menjadi satu faktor yang berpengaruh. Beberapa psikolog yang (tampak anti religius) berusaha menerapkan prinsip hemat -menyukai yang paling sederhana ketika mendapat dua penjelasan atau lebih yang dapat menawarkan suatu pembahasan yang komprehensif terhadap fenomena- ini lebih ketat daripada yang lainnya (yang tampak proreligius).
Disiplin-disiplin dalam ilmu sosial jarang menyatu seperti dalam ilmu psikologi. Ilmu psikologi hadir dengan mazhab-mazhab yang secara radikal sering memiliki pandangan yang berbeda dan bertentangan tentang watak psikis manusia dan cara terbaik mengkajinya. Cara terbaik untuk memposisikan hal ini adalah dengan memfokuskan pada metode yang mereka gunakan untuk memperoleh informasi dan untuk mendukung atau menguji teori-teori yang mereka hasilkan, dan perbedaan untuk menjelaskan pendekatan secara soft (lunak) dan hard (keras) adalah dengan menggunakan istilah kuantitatif dan kualitatif.
Studi agama dalam pendekatan psikologis objeknya adalah manusia yang beragama, oleh karenanya pendekatan tersebut nantinya akan menghasilkan disiplin ilmu berupa psikologi agama (psychology of religion), di dalamnya akan membahas tentang keberagamaan seseorang, baik ketika masa kanak-kanak ataupun dewasa. Dalam hal ini Gordon Allport berpendapat bahwa bentuk agama yang akhirnya diambil seseorang atau cara yang mereka gunakan, pada dasarnya ditentukan oleh faktor-faktor yang ada pada masa kanak-kanak. Dia juga membedakan bentuk agama menjadi dua bagian, ekstrinsik dan intrinsik. Agama ekstrinsik adalah suatu manfaat dengan dirinya sendiri, bentuk keagamaan yang dapat melindungi diri sendiri yang memberikan kesenangan dan keselamatan kepada orang beriman dengan merugikan kelompok atau individu lainnya. Agama intrinsik menandai kehidupan dengan menginteriorkan (menjadikan sebagai bagian dalam) seluruh persaksian dari keimanannya tanpa syarat.
6. Pendekatan Sosiologis Oleh Michael S. Northcott
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama. Pusat perhatiannya adalah kehidupan kelompok dan tingkah laku sosial. Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus perhatiannya adalah interaksi antar agama dan masyarakat. Fokus sosiologi adalah pada konstruksi dan interaksi sosial, namun banyak sosiolog yang mengakui bahwa ilmu tentang masyarakat memuat kecenderungan nilai anti religius yang digantikan oleh naratif-naratif sosiologis mengenai keteraturan dan penyimpangan sosial, oleh penjelasan sosiologis mengenai sebab-akibat dalam perilaku manusia, dan oleh konstruksi sosiologis mengenai kekuatan dan kecenderungan sosial baik yang merintangi maupun yang mengembangkan kemajuan manusia.
Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukan dan signifikasinya dalam dunia sosial, mendorong di tetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis, meliputi:
· Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
· Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak, dan usia.
· Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem pertukaran, dan birokrasi.
· Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup,interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.
Proses perihal apapun tentang agama tidak akan tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Agama yang menyangkut kepercayaan serta berbagai praktiknya benar-benar merupakan masalah sosial dan sampai saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat. Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia, sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian bagi individu sebagai sesuatu yang memuliakan dan membela manusia yang beradab.
Pendekatan sosiologis memiliki makna yang sangat penting dalam konteks studi islam. Berbagai dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat memerlukan telaah dan penelitan secara memadai. Dengan bantuan pendekatan sosiologis, dapat diungkap berbagai karakteristik, kekayaan khazanah, dan deskiripsi yang unik dari komunitas muslim di berbagai tempat.
7. Pendekatan Teologis Oleh Frank Whaling
Teologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan tentang hakekat ketuhanan, pendekatan teologi dalam penelitian agama yang dimaksud adalah pembahasan materi tentang eksistensi Tuhan. Tidak ada arti sederhana dan monolitik untuk mendefinisikan kata teologi, karena teologi telah ada sejak bangsa Sumeria yang mulai menjadi perkataan dalam istilah Yunani yaitu theologiadan istilah ini mengacu pada tuhan-tuhan atau Tuhan. Teologi bukan merupakan hak prioritas suatu komunitas tertentu namun teologi merupakan bagian dari pendidikan yang umum. Dalam sejarahnya teologi mengacu pada sebuah candi yang dipersembahkan untuk dewa atau tuhan bangsa Romawi dan Yunani saat itu yang kemudian dalam perkembangannya teologi dapat disimpulkan sebagai ilmu yang selalu berkaitan dengan ketuhanan atau transendensi baik secara mitologis, filosofis maupun dogmatis, kesimpulan yang kedua meskipun teologi memiliki banyak nuansa, namun doktrin tetap menjadi elemen yang signifikan dalam memaknainya dan kesimpulan yang ketiga adalah teologi sesungguhnya adalah sebuah aktifitas yang muncul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan.
Tugas seorang pelajar atau sarjana perbandingan agama salah satunya adalah untuk memahami teologi-teologi tertentu dan dari agama tertentu, menggunakan pendekatan teologis dalam memahami teologi agama lain sangatlah sulit sekali karena kita harus berusaha untuk memahami dan melepaskan atau menanggalkan posisi subjektifitas sebagai peneliti agar dapat memahami objek yang diteliti dan berempati pada pandangan dunia lain (objek penelitian) dan bisa memposisikan diri sebagai bagian dari objek penelitian tersebut sehingga dapat memahami keimanan konseptual atau teologi mereka.
Dalam menganalisis teologi-teologi agama (Theology of Religion), para sarjana agama akan menemui sejumlah perbedaan teologis dalam tradisi-tradisi keagamaan. Perubahan itu bisa jadi merupakan perbedaan subtansi atau perbedaan cara kerja teologi. Perbedaan yang terdapat dalam tradisi tersebut dapat bertepatan dengan perbedaan-perbedaan lintas tradisi atau justru tidak bersesuaian, terdapat empat perbedaan mengenai hal tersebut yaitu:
a) Teologi tidak niscaya terbatas pada formulasi doktrinal, terdapat delapan elemen dimana konsep hanya merupakan salah satu bagiannya. Tradisi-tradisi keagamaan, khususnya dalam waktu terakhir melakukan refleksi konseptual terhadap tujuh elemen lainnya yaitu komunitas keagamaan, ritual, etika, keterlibatan politik dan sosial kitab suci, estetika dan spiritualitas. Teologi-teologi yang berkaitan dengan ketujuh elemen terssebut menjadi signifikan tidak hanya dalam lingkungan agama kristen melainkan juga dalam pembahasan inner tradisi keagamaan lain. (Peter Connolly, 2009: 333)
b) Terdapat beragam tipe teologi dalam masing-masing tradisi yaitu:
Tipe teologi deskriptif, historis dan posiyivistik yang disukai para sejarawan dalam setiap tradisi yang berusaha mendeskripsikan apa yang fungsional secara doktrinal tanpa mengabaikan pertimbangan nilai.
Pertimbangan nilai ini tidak dapat dihindari secara total karena konteks itu sendiri memuat anggapan yang tidak bebas nilai. Meskipun demikian tipe ini merupakn tipe yang paling dekat dengan teologi fenomenologis dan lebih memfokuskan pada deskripsi dari pada pengatahuan keimanan.
Teologi sistematik yang berusaha meringkas doktrin-doktrin dari komunitas beriman dalam suatu pengertian pengakuan (konfessional). Dalam hati, tidak ada upaya agar menjadi bebas nilai, tetapi dimaksudkan untuk mengkonstruksi posisi-posisisi doktrinal dan persaksian keimanan dengan suatu cara yang akan meningkatkan tradisi tersebut dan semua tradisi keagamaan memiliki tipe ini.
Teologi filosofis yang berusaha terlibat dengan posisi-posisisi lain pada tingkat filosofis, dengan membawa dan memberikan reaksi kepadanya secara serius. Tipe ini memungkinkan perdebatan dan petukaran yang lebih serudibandingkan dengan tipe konfessional, ia berusaha masuk dalam dialog dengan budaya yang melingkupi dan dengan posisi filosofis dan keagamaan lainnya, salah satu tujuannya adalah apologetik yakni mempertahankan dan menonjolkan posisinya sendiri dengan argumen yang ternalar, maka sudut pandangnya tetap sama bahwa tradisi tetentu bersikap hati-hati terhadap tradisi lain dan berusaha membenarkan posisinya dalam dunia yang lebih luas, meskipun demikian, pemikir-pemikir pada abad pertengahan dari tradisi monoteistik saling memberi penilaian satu sama lain pada tingkat filosofis dalam upaya membuktikan keberadaan tuhan sementara pada tingkat konfessional kitab suci dan akomodasi keyakinan-keyakinan partikular kurang dimungkinkan antara posisi pemikir dan pemikir lain seperti Maimonides dari yahudi, Thomas Aquinas dari Kristen, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dari Islam.
Terdapat apa yang secara lebih luas disebut dengan teologi dialog. Waktu-waktu terakhir, tipe ini lebih lazim namun bukan berarti pada masa lalu tidak ada. Tipe ini mengandung keinginan secara sengaja untuk memahami tradisi-tradisi lain demi kepentingannya sendiri, bukan semata-mata karena lasan apologetik. Ini juga mencakup pemahaman bahwa sesuatu yang menjadi minat dan perhatian dapat dipelajari dari yang lain dan bahwa dengan melompat pada tradisi lain dengan melakukan dialog, seseorang dapat kembali dengan pengalaman disertai penghargaan terhadap tradisinya sendiri dan seseorang sangat mungkin dapat meninggalkan sesuatu yng berharga bagi partner dialognya.
Keempat tipe tersebut berasal dari dalam satu tradisi partikular dan dari sudut pandangnya sendiri.
c) Model perbedaan yang ketiga dalam teologi adalah apa yang muncul dalam cabang-cabang tertentu dari suatu komunitas keagamaan tertentu juga. Pada saat terjadi perpecahan radikal, perbedaan tersebut menjadi sangat jelas, contohnya adalah tradisi kristen bereaksi menentang tangkai-tangkai yahudi sedangkan pada saat yang sama berusaha untuk menyempurnakannya, demikian juga dengan tradisi islam yang menyempurnakan tradisi-tradisi agama yahudi dan kristen namun dalam waktu yang sama menghapus elemen-elemen yang ada dalam keduanya. Dalam kasus tersebut terjadi suatu perpisahan radikal dalam tradisi dan munculnya suatu gerakan keagamaan baru.
d) Model perbedaan yang keempat ditinjau dari beberapa segi merupakan perbedaan yang lebih penting baik di dalam maupun lintas tradisi keagamaan adalah perbedaan yang terjadi antara pandangan-pandangan teologis yang saling berlawanan, disharmoni antara pandangan teologis ini kadang-kadang lebih jelas daripada perbedaan antar agama-agama itu sendiri.
[1]Sekarang apa yang dikenal dengan antropologis biologis atau fisikal mengkaji manuusia sebagai makhluk biologis, fosil yang masih ada dan primate. Analisa agama bukan merupakan bagian penting dalam antropologi fisikal.
[2] Emil, Durkheim, The Eleentary Forms of Religious Life, the free press, tr. Karena E. Field, New York, 1995, h. 3
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
http://quranirabbani.blogspot.com/2022/05/resume-buku-approaches-to-study-of.html