Pernyataan Pers Tim Investigasi Masyarakat Nduga Alami Trauma Berkepanjangan
Pernyataan Pers
MASYARAKAT NDUGA MENGALAMI TRAUMA BERKEPANJANGAN
Kedua Pasangan Kandidat Presiden-Wakil Presiden Harus Utamakan Pendekatan HAM dan Kemanusiaan, Bukan Keamanan
Operasi militer yang dilancarkan pasca pembunuhan brutal terhadap pekerja jembatan PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018 telah mengakibatkan trauma mendalam bagi masyarakat setempat. Tim independen yang turun ke lapangan menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM di Nduga akibat dari operasi militer tersebut.
Masyarakat setempat kehilangan tempat tinggal karena rumah-rumah mereka ikut hancur ketika militer melakukan pengejaran terhadap anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Tidak hanya itu, warga juga terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka di beberapa distrik karena khawatir akan menjadi korban dari operasi tersebut.
Puluhan ribu masyarakat setempat terpaksa mengungsi. Warga masyarakat yang mengungsi di Distrik Mapenduma diperkirakan mencapai 4.276 jiwa; Distrik Mugi 4. 369 Jiwa, Distrik Jigi 5.056 Jiwa, Diatrik Yal 5.021 Jiwa, Distrik Mbulmu Yalma 3.775 jiwa, Distrik Kagayem 4.238 Jiwa, Distrik Nirkuri 2.982 Jiwa, Distrik Inikgal 4.001 jiwa, Distrik Mbua 2.021 Jiwa dan Distrik Dal 1.704 Jiwa.
Sebagian masyarakat dari beberapa distrik, termasuk Distrik Mepworok, Distrik Mbua Distrik Dal, dan Mbulmu Yalama, dan Distrik Dal juga telah mengungsi ke hutan dan bersembunyi di dalam gua-gua mengunakan tenda. Pengungsi yang lain mengungsi di beberapa Kabupaten, antara lain Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Timika, Kabupaten Lani Jaya, Kabupaten Kenyam, dan Kabupaten Asmat.
Pengungsi yang dimaksud juga termasuk anak-anak sekolah, ibu-ibu, dan lansia. Sejak operasi dilakukan anak-anak tidak bisa bersekolah karena mereka harus mengungsi ke hutan.
Bagi anak-anak yang mengungsi ke Wamena, mereka mulai membuka sekolah darurat mengunakan tenda di halaman Gereja Kingmi Weneroma. Sekolah yang dimaksud kurang lebih berjumlah sekitar 13 Kelas. Proses belajar mengajar bagi anak-anak sedang berlansung selama 3 sampai 4 bulan, sejak Januari 2019. Anak-anak yang bersekolah berjumlah 697 siswa dari SD, SMP dan SMA. Namun jumlah tersebut masih terus bertambah. Hal ini mengancam masa depan nasib ribuan anak-anak di Nduga.
Tim Investigasi Independen Kasus Nduga Papua, Jumat (29/3/2019) memaparkan temuannya di
Kantor Amnesty Internasional Indonesia (HDI) Hive Menteng, Jakarta Pusat.
Oleh karena itu, harus ada solusi dari kedua kandidat calon presiden dan calon wakil presiden untuk menyelamatkan warga Nduga.
Orang Nduga seperti orang Papua lainnya mengalami memoria pasionis sepanjang hidup. Sejarah gelap yang dialami masyarakat Papua antara tahun 1960an, tahun 1970an, sampai tahun 1980an. Orang tua Eginius Kogeya, misalnya, saat itu pernah mengalami pembunuhan dan membuat dirinya memilih menjadi pemimpin yang mengangkat senjata untuk melawan TNI.
Kabupaten Nduga memiliki 16 unit SD, 5 unit SMP dan 1 unit SMA. Namun satu-satunya yang saat ini beroperasi hanya di ibu kota Kabupaten Kenyam. Beberapa sekolah terpaksa tidak beroperasi sementara karena terdampak peristiwa pembantaian pekerja Istaka hingga sampai operasi militer, serta kontak senjata antara TPNPB/OPM dan militer.
Temuan tim investigasi lapangan terkait kontak senjata antara militer dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat berdampak dan telah merugikan masyarakat sipil di sana. Tim Investigasi menduga operasi militer di Nduga mengakibatkan terjadinya dugaan pelanggaran HAM. Hasil investigasi yang ditemukan memperlihatkan ibu-ibu melahirkan di hutan ketika mereka sedang berada dalam pengungsian. Mereka pun kesulitan mengakses pertolongan medis.
Tim juga telah menemukan korban dari masyarakat sipil di beberapa kampung, diantaranya dua anak sekolah yang ditembak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga, dan beberapa warga sipil yang ditembak lalu menderita hingga meninggal dunia. Tidak hanya itu, ada beberapa warga sipil meninggal dunia saat berada di pengungsian. Beberapa warga masyarakat juga sempat dipukul dengan senjata hingga mengalami luka bocor di bagian kepala.
Pendeta Geyimin Nirigi belum diketahui keberadaannya oleh pihak keluarga. Diduga pendeta tersebut telah menjadi dihilangkan paksa oleh aparat militer di Distrik Mapenduma. Sementara itu, Kapendam Kolonel Muhamad Aidi mengatakan pendeta tersebut masih hidup, namun pernyataan tersebut, belum bisa dipastikan kebenarannya.
Temuan lain adalah sebanyak 34 Gereja ditutup dan dirusak oleh anggota TNI, bahkan Gereja SION GKI Mapenduma dijadikan markas TNI. Akibatnya, masyarakat terpaksa beribadah di lokasi pengungsian di hutan. Masyarakat yang ditemui oleh tim mengatakan “kami tidak mau masuk di kampung kami apabila tentara masih berada di daerah kami.”
Sejumlah rumah milik masyarakat, termasuk puskesmas, telah dibakar oleh aparat militer ketika operasi berlansgung. Masyarakat menyampaikan kepada tim investigasi bahwa mereka menduga aparat militer juga menjatuhkan bom mengunakan helikopter melalui saat melakukan serangan udara di beberapa distrik.
Bom yang disampaikan warga masyarakat berbeda dari keterangan Kodam Cendrawasih Papua yang mengatakan bahan peledak yang diturunkan bukan bom, tetapi granat berasap. Menurut tim, harus ada pemeriksaan forensik untuk membuktikan kebenaran dari kedua klaim tersebut.
Tim investigasi juga melihat kondisi balita tidak bisa makan dengan baik saat berada di tempat pengungsian karena tidak ada bahan makanan yang dibutuhkan yang tersedia di hutan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari temuan tim investigasi di atas, kami menduga ada indikasi terjadinya dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Kabupuaten Nduga, Papua.
Kami menilai bahwa apabila operasi militer terus dilakukan maka akan berdampak lebih luas dan memakan korban lebih banyak lagi. Oleh karena itu kami mendesak pemerintah dan DPR untuk melakukan evaluasi menyeluruh tentang penempatan aparat keamanan dalam rangka mencari solusi.
Kami menyimpulkan bahwa anggota militer non-organik yang dikirim ke Papua, juga mengalami kesulitan di lapangan karena sulitnya kondisi topografis wilayah setempat. Kekurangpahaman terhadap kondisi daerah tersebut mengakibatkan anggota TNI juga mengalami kesulitan untuk mengejar kelompok Egianus Kogeya, bahkan megakibatkan jatuhnya korban jiwa di pihak TNI.
Menurut kami masalah Papua tidak akan dapat diselesaikan melalui operasi militer. Apabila pendekatan keamanan ini dilanjutkan, maka dugaan-dugaan kasus pelanggaran HAM di Papua akan terus terjadi dan mendapat sorotan internasional.
Karena itu, kami memberikan masukan kepada Pemerintah dan DPR mengutamakan pendekatan dialogis berbasis kemanusiaan, bukan pendekatan militer, dalam menyelesaikan permasalahan di Papua. Karena pendekatan militer bukan solusi penyelesaian masalah Papua.
Kami menyarankan agar Pemerintah dan DPR dapat menggunakan pengalaman penting di Aceh ketika melakukan dialog yang difasilitasi oleh pihak yang netral, sebagaimana pemerintah telah memfasilitasi perdamaian demi mengakhiri konflik bersenjata di Aceh.
Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan Bapak Presiden Joko Widodo, atau presiden yang nanti akan terpilih, dapat melakukan pendekatan melalui dialog.
Kami sangat mengharapkan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk segera menarik pasukan dan mengajak OPM untuk melakukan dialog, karena hasil investigasi kami menemukan banyak warga sipil yang mengalami korban fisik maupun jiwa dan juga harta benda.
Kami juga sebenarnya sangat optimis terhadap Pemerintah Indonesia, yang selalu berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus dugaan Pelanggaran HAM di Papua. Namun sayangnya, sampai saat ini tidak ada hasil nyata dari upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang dimaksud. Lebih khusus untuk Kasus Wamena, Kasus Wasior, Kasus Paniai dan beberapa pelanggaran HAM lain.
Menurut pemahaman kami, masyarakat Papua adalah bagian dari Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, pendekatan untuk Papua juga harus dilakukan secara ke-Indonesiaan, berbasis perikemanusiaan yang adil dan peradab, bukan pendekatan militer, apalagi dengan menjadikan Papua sebagai daerah operasi militer.
Kami juga sangat mengharapkan kedua pasangan Calon Presiden Republik Indonesia yang akan dipilih menjadi Presiden untuk berkomitmen memastikan pendekatan keamanan yang berbasis HAM di Papua, bukan operasi militer yang mengedepankan kekerasan bersenjata.
Kami juga sangat mengharapkan, dibentuknya tim independen Komnas HAM untuk melakukan investigasi atas dugaan kasus pelanggaran HAM di Kabupaten Nduga, Papua. Seiring dengan itu, kami mendesak Pemerintah dan DPR untuk memberikan akses kebebasan kepada jurnalis dan lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya, termasuk tim pencari fakta dari Komnas HAM atau tim pelapor khusus dari badan-badan PBB yang membidangi urusan hak-hak asasi manusia.
Kami juga berharap negara hadir untuk memenuhi kebutuhan korban agar bisa bertahan hidup dan memulihkan kehidupan mereka seperti semula. Kami juga memohon kepada semua jajaran Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Lembaga Adat, MRP, dan Gereja untuk dapat mendorong pendekatan dialog.
Wamena, 29 Maret 2019
Disampaikan di Jakarta, 29 Maret 2019
Tim Investigasi Kasus Nduga Papua
Konfirmasi :
Theo Hasegem: 081344553374,
Pater John Djonga: 085244330182,
Raga Kogeya: 085244554148,
Esmon Walilo: 082210010068,
Erson Wenda: 081248992468,
Luis Madai: 081294394738
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2019/03/pernyataan-pers-tim-investigasi.html