Perang Besar Bisa Terjadi Karena Miskalkulasi Pemimpin Yang Eratik Dan Nasionalisme Yang Ekstrim


Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono

Bagi yang berharap tahun 2020 ini dunia kita menjadi lebih aman dan damai, harus bersiap untuk kecewa. Bahkan frustrasi. Tidak ada tanda-tanda untuk itu. Yang terjadi, di awal tahun baru ini kawasan Timur Tengah kembali membara.

Tahun 2019 yang baru kita tinggalkan ditandai dengan maraknya gerakan protes sosial. Kemarahan dan perlawanan rakyat terjadi di lebih dari 30 negara. Mereka melawan pemimpin dan pemerintahannya karena merasa tidak mendapatkan keadilan, ekonominya sulit dan ruang kebebasan untuk berekspresi dibatasi. Ragamnya berbeda-beda. Mulai dari sulitnya mendapatkan pekerjaan, harga-harga naik sementara daya beli rakyat turun, hingga pemerintahnya dinilai korup sementara beban utang negara meningkat tajam. Juga karena pemimpinnya dianggap ingin terus berkuasa dengan cara mengubah konstitusi dan undang-undang. Juga pemilihan umum yang baru saja dilaksanakan dianggap curang, sehingga rakyat tidak terima dan turun ke jalan. Yang lain, rakyat merasa ruang kebebasan untuk berekspresi ditutup disertai tindakan-tindakan yang represif dari pihak penguasa. Ada juga, terutama di negara-negara maju, rakyat marah karena pemerintahnya dianggap lalai dan tak serius dalam melawan perubahan iklim dan krisis lingkungan.

Sementara gejolak sosial gobal di tahun 2019 itu belum sepenuhnya usai, kini dunia menghadapai ancaman yang lebih serius. Geopolitik di kawasan Timur Tengah (Raya) kembali mendidih, yang sangat bisa merobek keamanan internasional yang sudah rapuh. Mengapa banyak pihak sungguh cemas dengan perkembangan terbaru di kawasan ini, karena banyaknya negara yang melibatkan diri dengan kepentingan yang berbeda-beda. Belum “non-state actors” yang selama ini turut meramaikan benturan politik, sosial dan keamanan yang ada. Meskipun seolah saat ini mata dunia tertuju kepada Iran, Irak dan Amerika Serikat, jangan diabaikan peran negara lain. Ada Rusia, Turki, Israel, Suriah, Saudi Arabia, Libya, Mesir, Qatar, Afghanistan dan Yaman serta sejumlah negara NATO. Tentu masih ada yang lain. Kalau situasi makin memburuk dan belasan negara itu melibatkan diri, apalagi pada posisi yang berhadap-hadapan memang keadaan sungguh menakutkan. Itulah sebabnya sebagian dari kita mulai bertanya, jangan-jangan perang dunia yang kita takutkan terjadi lagi. Akankah kesitu?

Saya pribadi termasuk orang yang tak mudah percaya bahwa krisis di Timur Tengah saat ini bakal menjurus ke sebuah perang besar. Apalagi perang dunia. Namun, saya punya hak untuk cemas dan sekaligus menyerukan kepada para pemimpin dunia agar tidak abstain, dan tidak melakukan pembiaran. Maksud saya, janganlah para “world leaders” itu "do nothing". Mereka, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, harus "do something". Terlalu berbahaya jika nasib dunia, utamanya nasib 600 ratus juta lebih saudara-saudara kita yang hidup dan tinggal di kawasan itu, hanya diserahkan kepada para politisi dan para jenderal Amerika Serikat, Iran dan Irak. Timur Tengah dan bahkan dunia akan bernasib buruk jika para politisi, diplomat dan jenderal di negara-negara itu melakukan kesalahan yang besar. Risikonya bisa memunculkan terjadinya tragedi kemanusiaan yang juga besar. Generasi masa kini memang tidak pernah merasakan harga yang harus dibayar oleh sebuah perang dunia, sebagaimana yang terjadi di awal dan medio abad 20 dulu. Sebenarnya, melalui buku-buku sejarah atau film-film, sebagian dari mereka mengetahui getirnya penderitaan manusia yang menjadi korban dari sebuah peperangan berskala besar.

Pasca tewasnya Jenderal Iran Qassem Soleimani oleh serangan udara Amerika Serikat beberapa hari lalu, siang dan malam saya mengikuti pemberitaan media internasional. Saya ikuti aksi-aksi (dan juga reaksi) politik, sosial dan militer di banyak negara yang punya kaitan dan kepentingan dengan Timur Tengah. Utamanya yang dilakukan oleh Irak, Iran dan Amerika Serikat. Bukan hanya pada tingkat pemimpin puncak, tetapi juga pada pihak eksekutif, legislatif, militer dan bahkan rakyatnya. Bukan hanya aksi-aksi nyata yang dilakukan di masing-masing negara, tetapi juga pada hebohnya sikap ancam-mengancan, perang mulut dan retorika besar yang digaungkan.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah sebuah perang besar yang mengerikan bakal benar-benar terjadi? Jawabannya tentu tak mudah. Saya yakin tak ada yang berani memastikan perang itu pasti terjadi. Atau sebaliknya. Oleh karena itu, dalam kaitan ini, saya hanya ingin menyampaikan pendapat dan harapan saya. Pendapat saya mengait pada kapan atau dalam keadaan apa perang di kawasan itu benar-benar terjadi. Sedangkan harapan saya adalah apa yang harus dilakukan oleh Amerika Serikat, Iran dan Irak dan juga dunia pada umumnya, agar sebuah peperangan di kawasan yang rakyatnya sudah cukup menderita itu dapat dicegah dan dihindari. Saya orang biasa dan tak punya kekuasaan yang formal. Namun, sebagai warga dunia yang mencintai perdamaian dan keadilan, secara moral saya merasa punya kewajiban untuk "to say something".

Penyebab terjadinya perang antar negara, atau yang melibatkan banyak negara, berbeda-beda. Pemicu meletusnya sebuah peperangan juga macam-macam. Perang Dunia ke-1, yang menyebabkan korban jiwa 40 juta orang, disebabkan oleh terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand dari Austria-Hongaria di Sarajevo pada bulan Juni 1914. Peristiwa yang menyulut peperangan besar ini sering disebut sebagai "kecelakaan sejarah" (unexpected accident). Sementara, Perang Dunia ke-2 yang terjadi di mandala Pasifik dipicu oleh serangan “pendadakan” angkatan udara Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, 7 Desember 1941. Untuk diingat, keseluruhan korban perang dunia ke-2 di mandala Eropa dan mandala Pasifik berjumlah 70-85 juta jiwa. Para ahli sejarah mengatakan bahwa Jepang menyerang Amerika Serikat itu adalah sebuah kesalahan. Diibaratkan Jepang sebagai membangunkan macan tidur. Kesalahan itu sebuah "strategic miscalculation" yang dilakukan oleh para politisi dan jenderal-jenderal militer Jepang.

Kejadian miskalkulasi ini, atau salah hitung, kerap menjadi faktor yang mendorong terjadinya peperangan. Demikian juga kejadian di lapangan, yang tak terduga, seperti yang terjadi di Sarajevo tahun 1914 dulu.

Dari kacamata ini, sejarah tengah menunggu apakah politisi dan jenderal Amerika Serikat dan Iran melakukan miskalkulasi, sehingga akhirnya mendorong terjadinya perang terbuka di antara mereka. Di luar itu, apakah juga tiba-tiba terjadi peristiwa di lapangan, entah di Irak, di Iran, ataupun di tempat dimana aset dan satuan-satuan militer Amerika Serikat berada. Sebuah peristiwa yang bisa ditafsirkan sebagai aksi untuk melancarkan peperangan, meskipun para politisi dan petinggi militer tak merencanakan dan memerintahkannya. Kalau kedua hal ini tak terjadi dalam waktu mendatang, dunia bisa menghela nafas lega. Paling tidak untuk sementara.

Tetapi, harus diingat, di kawasan Timur Tengah terlalu banyak elemen yang tidak selalu berada dalam satu garis komando dengan pemimpin puncaknya. Dalam konteks permusuhan dan ketegangan Amerika Serikat dengan Iran saat ini, ada sejumlah elemen di luar Iran (dalam kapasitasnya sebagai negara). Misalnya Hesbollah di Libanon, Hamas di Palestina, dan elemen dalam negeri Irak yang sangat pro Iran. Belum organisasi radikal dan terorisme yang meskipun tidak ada kaitannya dengan Iran, tetapi anti Amerika. Jadi, segala kemungkinan yang menjadi pemicu meletusnya sebuah perang terbuka selalu ada.

Perang juga mudah terjadi di tangan pemimpin yang eratik (erratic) dan "gemar perang" (warlike). Saat ini sejarah juga sedang menguji apakah Presiden Trump, Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani termasuk kategori pemimpin yang eratik dan suka perang atau tidak. Semoga mereka bukan tipe itu. Semoga pikiran jernih, kalkulasi yang matang dan kearifan hati menyertai para pemimpin tersebut. Semoga doa dan harapan saya ini, saya yakin juga banyak yang berdoa dan berharap demikian, dikabulkan oleh Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya tahu bahwa para pemimpin itu sangat mencintai bangsa dan negaranya. Saya tahu bahwa mereka juga patriot sejati bagi tanah airnya. Namun, patriotisme dan nasionalisme yang positif tidaklah boleh menghalang-halangi para pemimpin itu jika hendak menyelesaikan masalah sedamai mungkin. Paling tidak bukan memilih perang sebagai satu-satunya cara. Saya yakin "political and diplomatic resources" masih tersedia. Saya yakin masih ada jalan untuk mencegah terjadinya peperangan besar.

Saya tahu memang keadaan sangat tidak mudah bagi para pemimpin Iran dan Amerika Serikat. Ada persoalan harga diri dan juga keadilan (justice) yang harus ditegakkan. Akar permusuhan di antara mereka juga sangat dalam. Iran merasa sangat dipermalukan (humiliated) dengan tewasnya Jenderal Soleimani yang sangat dibanggakan dan dicintainya. Namun, jangan lupa pula Amerika Serikat juga pernah merasa terhina ketika 52 orang warga negaranya disandera selama 444 hari di Kedutaan Besar mereka di Teheran tahun 1979-1981 yang lalu.

Sekali lagi, situasinya memang tidak mudah saat ini. Kita saksikan di layar televisi, emosi dan kemarahan rakyat Iran tinggi sekali. Para pemimpin Iran “pastilah” berada di ombak dan arus besar yang menyeru dilakukannya pembalasan yang lebih keras terhadap Amerika Serikat. Namun, orang bijak menasehatkan kepada para pemimpin agar tidak mengambil keputusan yang gegabah tatkala hati dan pikiran mereka sedang diliputi oleh amarah yang memuncak. Maknanya… keputusan itu bisa salah. Hal begini tentu berlaku pula bagi para pemimpin Amerika Serikat. Di samping itu, politik selalu menyediakan pilihan. Dalam politik segalanya juga mungkin. Tidakkah Otto Von Bismarck pernah mengatakan bahwa politik adalah “the art of the possible”. Politik juga berangkat dari kehendak para pemimpinnya. “So, if there is a will, there is a way”.

Dewasa ini dunia berada dalam situasi yang jauh dari teduh. Banyak sikap dan pandangan yang serba ekstrim. Paling tidak lebih ekstrim dibandingkan dengan situasi sepuluh-dua puluh tahun yang lalu. Gelombang nasionalisme, populisme, rasisme dan radikalisme makin menguat (on the rise). Demikian juga otoritarianisme. Saya kira bukan hanya Donald Trump yang mengangkat simbul-simbul nasionalisme "America First". Saya amati banyak pemimpin dunia seperti itu. Barangkali itu pula sikap pemimpin Iran. Demikian pula Tiongkok, Rusia, Inggris, Korea Utara dan banyak lagi yang lain. Barangkali, semua negara juga begitu. Apa yang dikatakan oleh Ian Bremmer dalam bukunya G Zero World ~ Every Nation for Itself, bagai mendapatkan pembenaran sejarah.

Selama 10 tahun memimpin Indonesia dulu saya masih merasakan suasana dunia yang lebih baik. "Kehangatan dan kedekatan" di antara pemimpin dunia masih terasa. Misalnya, meskipun ada perbedaan kepentingan antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dan Rusia, namun para pemimpinnya masih membuka ruang untuk berdialog dan berkolaborasi untuk kepentingan bersama. Demikan juga antara Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Demikian juga antara Inggris, Perancis dan Jerman untuk urusan Eropa. Juga antara Tiongkok dengan negara-negara ASEAN menyangkut urusan Laut Tiongkok Selatan. Juga antara Saudi Arabia, Iran, Qatar, Mesir dan negara-negara Islam di Timur Tengah dalam urusan kerjasama dunia Islam. Termasuk tentunya kemesraan antara Amerika Serikat dengan kedua tetangganya, Kanada dan Meksiko.

Kesediaan untuk duduk bersama dan mencari solusi atas berbagai permasalahan global di antara negara-negara besar (global players and regional powers) amat dirasakan. Apakah itu berkaitan dengan kerjasama mengatasi krisis ekonomi dunia 2008-2009, mengelola perubahan iklim, memerangi kemiskinan global, melawan terorisme dan kejahatan transnasional, serta kerjasama-kerjasama yang lain.

Kedekatan antar pemimpin dunia juga tercermin dalam kebersamaan di berbagai forum. Misalnya PBB, G20, G8 (+), APEC, OKI, D8, ASEAN, EAS, GNB, ASEM (yang secara pribadi saya aktif berperan di dalamnya), serta forum-forum kerjasama multilateral dan regional yang lain. Apapun latar belakang ideologi dan sistem politik yang dianut, apapun tingkatan kemajuan ekonomi serta kepentingan nasionalnya, para pemimpin dunia masih relatif "rukun". Tentu saja minus perseteruan yang terjadi di antara negara-negara tertentu yang memang sudah berlangsung lama dan nyaris permanen. Misalnya, antara Iran dengan Israel, antara Amerika Serikat dengan Korea Utara, Iran dan juga Venezuela.

Dalam pengamatan saya, G20 tidak sekokoh dulu. G8 sudah mati suri. Di tubuh OKI nampak ada jarak dan ketegangan internal yang meningkat. Bahkan, ASEANpun tidak sekohesif dulu. Di internal Uni Eropa sering terjadi “pertengkaran” yang antara lain ditandai dengan keluarnya Inggris dari organisasi yang berusia tua itu. Mengapa ini terjadi? Tentu banyak teori dan alasan yang bisa diungkapkan. Namun, menguatnya kembali sentimen nasionalisme dan populisme turut menjadi penyebab. Berbagai organisasi kerjasama kawasan ikut melemah semangatnya untuk selalu berada dalam satu posisi, karena barangkali masing-masing negara harus mengutamakan kepentingan nasionalnya masing-masing.

Kembali pada topik tulisan ini, kalau ada yang sangat mencemaskan dan sungguh ingin tahu apakah ketegangan yang begitu memuncak di Timur Tengah ini bakal menyulut terjadinya perang terbuka di kawasan itu, tiga faktor yang saya kedepankan tersebut bisa dijadikan pisau analisis. Miskalkulasi, pemimpin yang eratik dan nasionalisme yang ekstrim. Silahkan ditelaah sendiri.

Namun, ada satu hal yang mungkin luput dari percaturan para pengamat geopolitik dan hubungan antar bangsa. Yang satu ini justru yang mungkin akan sangat menentukan "endgame" dari kemelut berintensitas tinggi di Timur Tengah ini. Saya tidak yakin, paling tidak saat ini, kalau baik Presiden Trump maupun Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani benar-benar siap dan sungguh ingin berperang. Pasti para pemimpin itu sangat menyadari bahwa di belakangnya ada puluhan bahkan ratusan juta manusia yang dipimpinnya. Mereka juga tahu keputusan dan tindakan yang akan diambil akan berdampak pada situasi kawasan secara keseluruhan, bahkan dunia. Mereka juga tidak ingin punya "legacy" yang buruk dalam biografinya masing-masing jika keputusan dan pilihannya salah. Dengan ini semua, saya masih punya keyakinan bahwa pilihan yang diambil akan sangat rasional. Rasional dan "bermoral". Artinya, perang terbuka di antara kedua negara bukanlah pilihan utama. Jika bukan, apa yang akan terjadi?

Sangat mungkin ketegangan bahkan permusuhan yang sangat memuncak ini akan berakhir dengan sebuah “kesepakatan besar” (great deal). Sebuah kesepakatan strategis yang adil. (A strategic, fair deal). Tentu ada “take and give” diantara mereka. Elemennya bisa soal sanksi ekonomi, pengembangan nuklir Iran, komitmen untuk tidak saling menyerang aset dan objek militer masing-masing. Apa bentuknya? Biarlah para pemimpin kedua negara itu yang akan menentukan dan memilihnya. Dunia dan sejarah harus memberikan kesempatan kepada mereka. Semua pihak juga harus mendorong dan mempersuasi agar solusi indah itu terjadi, jangan sebaliknya merintangi dan memprovokasi untuk tidak terjadi.

Siapa tahu sejarah menyediakan peluang baru bagi hubungan antara Amerika Serikat dan Iran. Siapa tahu para pemimpin di kedua negara penting ini tergerak untuk berpikir “out of the box”, misalnya membangun paradigma dan cara pandang baru dalam hubungan bilateralnya di masa depan. Haruskah kedua bangsa itu menjadi musuh permanen di abad 21 yang banyak menjanjikan jalan bagi sebuah perubahan?

Apa yang bakal terjadi di hari-hari, atau di minggu-minggu mendatang, bisa menjadi “game changer”. Artinya, apa yang akan diputuskan dan dilakukan oleh para pemimpin Amerika Serikat dan Iran bisa mengubah jalannya sejarah di masa depan. Semoga yang akan datang adalah yang membawa harapan baik, bukan sebaliknya, sebuah malapetaka dan titik gelap dalam sejarah kemanusiaan.

Cikeas, 6 Januari 2020

Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :

https://phaul-heger.blogspot.com/2020/01/perang-besar-bisa-terjadi-karena.html

Kempen Promosi dan Iklan
Kami memerlukan jasa baik anda untuk menyokong kempen pengiklanan dalam website kami. Serba sedikit anda telah membantu kami untuk mengekalkan servis percuma aggregating ini kepada semua.

Anda juga boleh memberikan sumbangan anda kepada kami dengan menghubungi kami di sini
Waspada Banjir Besar Samarinda Bisa Terulang

Waspada Banjir Besar Samarinda Bisa Terulang

papar berkaitan - pada 13/1/2020 - jumlah : 256 hits
Balai Wilayah Sungai III Kalimantan Kementerian PUPR yang bertugas mengelola Bendungan Benanga mengingatkan potensi banjir besar seperti Juni 2019 Saat itu sekitar 56 000 jiwa terdampak banjir Kondisi ini berpotensi kembali terulang akibat ...
Inilah Sebab Sebenar Trump Menyerang Pemimpin Tentera Iran Apakah Bakal Perang Dunia Ketiga

Inilah Sebab Sebenar Trump Menyerang Pemimpin Tentera Iran Apakah Bakal Perang Dunia Ketiga

papar berkaitan - pada 3/1/2020 - jumlah : 661 hits
Apa yang sedang berlaku di Iraq Kena cerita dari mula Pada 27 Disember 2019 US mendakwa bahawa pangkalan udaranya di Kirkuk Iraq diserang oleh 30 roket seorang kontraktor US terkorban Susulan daripada itu US melancarkan serangan balas pada ...
Penerbangan Batal Karena Bandara Halim Banjir Penumpang Bisa Refund Tiket 100 Persen

Penerbangan Batal Karena Bandara Halim Banjir Penumpang Bisa Refund Tiket 100 Persen

papar berkaitan - pada 2/1/2020 - jumlah : 203 hits
Sekarang air di landasan pacu bandara sudah mulai surut Namun dikarenakan masih ada sisi yang masih menggenang di landasan kurang lebih 10 meter Penerbangan belum bisa dilakukan
Ceramah Pemimpin Utama Pembangkang Dapat Sambutan Besar Besaran Di Kimanis

Ceramah Pemimpin Utama Pembangkang Dapat Sambutan Besar Besaran Di Kimanis

papar berkaitan - pada 17/1/2020 - jumlah : 304 hits
Pemimpin pembangkang pada satu ceramah di Kimanis malam tadi KIMANIS Kemunculan ramai pemimpin utama pembangkang pada satu ceramah di sini malam tadi menarik jumlah hadirin terbesar sempena pilihan raya kecil Kimanis setakat ini menjelang h...
Ali Bisa Hamili Istrinya Meski Meninggal 10 Tahun Lalu Caranya Sungguh Menyedihkan Di Luar Nalar

Ali Bisa Hamili Istrinya Meski Meninggal 10 Tahun Lalu Caranya Sungguh Menyedihkan Di Luar Nalar

papar berkaitan - pada 28/12/2019 - jumlah : 212 hits
Ali menghamili istrinya setelah meninggal dunia 10 tahun lalu Kejadian ajaib itu dilakukan Ali pria 35 tahun dengan cara tak terduga sebelum akhirnya di eksekusi mati Sementara sang istri sukses melahirkan anak buah dari keturunan suaminya ...
Lucinta Luna Bilang Cantik Itu Harus Putih Ini 9 Artis Yang Justru Memukau Karena Berkulit Gelap

Lucinta Luna Bilang Cantik Itu Harus Putih Ini 9 Artis Yang Justru Memukau Karena Berkulit Gelap

papar berkaitan - pada 18/1/2020 - jumlah : 708 hits
Orang Barat malah pengen punya kulit gelap Bahkan mereka sengaja tanning dengan berjemur di bawah terik matahari
Janda Jadi Rebutan Bapak Dan Anak Sang Anak Tikam Janda Karena Ketahuan Nikah Siri Dengan Ayahnya

Janda Jadi Rebutan Bapak Dan Anak Sang Anak Tikam Janda Karena Ketahuan Nikah Siri Dengan Ayahnya

papar berkaitan - pada 17/1/2020 - jumlah : 1460 hits
Bapak dan Anak rebutan janda Sang wanita jadi korban kesal dengar pacarnya sudah nikah siri Kisah tragis pembunuhan seorang janda muda di Balikpapan ternyata berlatar belakang asmara Sang pelaku kesal karena menganggap sang wanita yang dise...
Berjalan Secara Rutin Bisa Membantu Untuk Cegah 7 Jenis Kanker

Berjalan Secara Rutin Bisa Membantu Untuk Cegah 7 Jenis Kanker

papar berkaitan - pada 29/12/2019 - jumlah : 192 hits
Pakar kesehatan menyarankan orang dewasa untuk melakukan olahraga aerobik ringan selama 150 menit olahraga aerobik berat selama 75 menit atau keduanya setiap pekan agar tetap sehat Dilansir dari Medical Daily peneliti mengungkap bahwa anjur...
Sah Kes Najib Razak Cacat

Slot Qris Explained The Key To Faster And Safer Gaming Transactions

Rahsia Kawal Gula Dalam Darah Supaya Tak Melompat Lompat Lagi

Tremendous Nadi Collaboration

Kebaikan Rawatan Rendaman Kaki Bersama Garam Bukit Dan Ais Batu

Salam Dalam Salat Jenazah Sekali Atau Dua Kali

10 Praktik Keberlanjutan Yang Wajib Diterapkan Di Tahun 2025

Takwim Cuti Persekolahan Tahun 2025 2026


echo '';
5 Insiden Jalan Sesak Yang Berlaku Lebih 24 Jam Durasinya

Senarai Lagu Tugasan Konsert Minggu 6 Gegar Vaganza 2024 Musim 11

Keputusan Markah Peserta Konsert Minggu 5 Gegar Vaganza 2024 Musim 11

10 Filem Drama Seram Melayu Berhantu Terbaru 2024 2025 Mesti Tonton

One In A Million 2024 Senarai Peserta Juri Format Pemarkahan Hadiah Dan Segala Info Saksikan Live Di TV3 Malaysia Dan Tonton Calpis Soda OIAM


Lepas Misi Selawat Ruhainies Sertai Majlis Agama Uai

Netflix Peroleh Hak Penyiaran Piala Dunia Fifa Wanita 2027 Dan 2031 Di As

Redha Di Dalam Rumah Tangga

Ioi City Mall Gears Up For A Meletop 2025 With A Star Studded New Year S Eve Celebration

Farhan Mustapha Mutiara Hati Chord

The West Isn T Dying But It S Working On It