Makna Dan Penggunaan Ungkapan Subhanallah Dan Masyaallah Yang Tepat
Sebagai orang Indonesia dan bukan penutur asli Bahasa Arab, seringkali dijumpai beberapa ungkapan bahasa Arab yang kurang pas penggunaannya.
Hal ini mendapatkan perhatian khusus dari ustad kondang asal Jawa Barat, Ustad Adi Hidayat atau yang lebih dikenal dengan UAH.
Dalam salah satu videonya, UAH menyebutkan penggunaan kata Subhanallah yang tepat adalah ketika seseorang menyaksikan atau mendengarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keagungan Allah, maka seseorang dianjurkan untuk mengungkapkan “Subhanallah” atau Mahasuci Allah.
Tujuannya adalah untuk menyucikan Allah dari berkurangnya keagungan-Nya, atau jika disederhanakan, Mahasuci Allah dari sifat-sifat kekurangan.
Sebaliknya, ungkapan “Masyaallah” diperuntukkan ketika seseorang menyaksikan sesuatu yang indah, menakjubkan, atau yang luar biasa, maka seseorang dianjurkan untuk mengucapkan “Masyaallah”. Ini menurut UAH didasarkan kepada firman Allah surah al-Kahfi:
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ إِن تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (QS. Al-Kahfi: 39)
Ayat di atas memberikan gambaran bahwa ketika seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan seperti kebun yang indah, maka ungkapan yang tepat adalah masyaallah dengan “ma” untuk arti ta’ajjub, atau jika disederhanakan alangkah indahnya kehendak Allah.
UAH mengingatkan agar masyarakat tidak terbalik-balik dalam menggunakan dua kalimat tersebut, tempatkan subhanallah dalam situasi yang tepat, begitu juga dengan masyaallah.
Demikian penjelasan dari UAH yang dapat penulis rangkum dari video beliau yang diupload hampir 2 tahun yang lalu oleh salah satu akun YouTube.
Untuk memastikannya, penulis tertarik membuka-buka kamus bahasa Arab dan beberapa syarah dan penafsiran mengenai dua kalimat atau ungkapan tersebut, masyaallah dan subhanallah.
Fakhruddin al-Razi menyebutkan bahwa ungkapan masyaallah secara bahasa terdiri dari dua asumsi susunan. Pertama adalah bahwa kalimat “ma” dalam ungkapan tersebut adalah ma syarthiyyah atau berarti syarat.
Sedangkan jawab syaratnya disembunyikan dalam ungkapan tersebut, sehingga jika dituliskan ayyu syai’in sya allah kaana (segala sesuatu yang Allah kehendaki, pasti terjadi).
Kedua adalah kalimat “ma” yang berarti maushulah atau kata penghubung, ma maushulah tersebut merupakan khabar yang didahulukan (muqaddam) sedangkan mubtada’nya dibuang yang takdirnya adalah kata al-amru (perkara).
Jika ditulisakan secara penuh maka tampak kalimat al-amru ma syaa allah (perkara tersebut adalah sesuatu yang telah dikehendaki Allah).
Dari dua susunan bahasa masyaallah tersebut, menurut al-Razi disimpulkan sebuah kalimat:
كل ما أراده اللّه وقع وكل ما لم يرده لم يقع
“Segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah, pasti terjadi, dan setiap yang tidak dikehendaki-Nya tidak terjadi.”
Imam al-Suyuthi, dalam al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur merangkum beberapa penafsiran ulama mengenai firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat 39 di atas. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa “masyaallah” sangat manjur digunakan ketika seseorang memiliki hajat.
Suatu ketika Nabi Musa As, berdoa kepada Allah SWT. Doa tersebut tidak kunjung dikabulkan oleh Allah sejak lama, dan ketika Musa berdoa dengan menyebut “masyaallah”, dan tiba-tiba doanya dikabulkan.
Lalu Musa bertanya: “Ya Rabb ana athlub hajati mundzu kadza wa kadza, wa a’thaitaniha al-aan? (wahai Tuhanku, aku meminta dikabulkan hajatku sejak saat itu dan Engkau mengabulkannya sekarang?)”
kemudian Allah menjawab: “Tidak kah engkau ingat apa yang engkau katakan (yakni masyaallah), kalimat itulah yang paling mempercepat dikabulkannya sebuah hajat.”
Disebutkan pula bahwa ketika imam Malik memasuki rumah, beliau mengucapkan masyaallah, ketika ditanya beliau mengatakan bahwa yang dilakukannya sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat 39.
Wahab bin Munabbih juga melakukan hal yang sama setelah mengetahui firman Allah tersebut beliau bahkan menuliskan di atas pintu rumahnya kalimat masyaallah. Keterangan ini disampaikan oleh Ibn Abi Hatim.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan, berupa istri, harta atau anak kemudian mengucapkan: masyaallah la quwwata illa billah kecuali dia akan terjaga dari segala gangguan sampai keinginannya dia meninggal. Kemudian Rasulullah membaca surah al-Kahfi ayat 39.” (HR. Abu Ya’la)
Dari beberapa keterangan tersebut sedikit dapat disimpulkan bahwa ungkapan masyaallah lebih tepat digunakan untuk menunjukkan kepasrahan dan rasa syukur kepada Allah atas segala ketetapannya, baik yang menurut kita kurang menguntungkan dan apalagi nikmat berupa harta dan kekayaan, maka ungkapan masyaallah adalah ungkapan yang paling tepat.
Itu mengapa masyaallah seringkali disandingkan dengan laa quwwata illa billah (tidak ada kekuatan kecuali dengan kehendak Allah) sebagaimana dalam surah al-Kahfi di atas, menunjukkan bahwa segala sesuatu jika sudah dikehandaki oleh Allah pasti akan terjadi karena tidak ada kekuatan kecuali atas kehendak Allah.
Sedangkan untuk ungkapan “subhanallah” Nabi dan para sahabatnya menggunakannya untuk hal-hal yang mengherankan dan mengagumkan. Misalnya dalam riwayat al-Bukhari Rasulullah saw, heran dengan kesalahpahaman sahabatnya, kemudian beliau berujar, subhanallah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَقِيَهُ فِي بَعْضِ طَرِيقِ الْمَدِينَةِ وَهْوَ جُنُبٌ فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ : كُنْتُ جُنُبًا فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ.
Dari Abu Hurairah, suatu ketika Rasulullah bertemu dengannya di sebuah jalan di Madinah, saat itu Abu Hurairah dalam keadaan junub. “Kemudian aku bersembunyi dari Rasulullah, lalu beliau pergi dan mandi kemudian menemuiku kembali.” Beliau bertanya: “Kamu tadi di mana Abu Hurairah?” “Aku tadi sedang junub, dan aku tidak ingin duduk bersamamu dalam keadaan tidak suci (junub).” Jawab Abu Hurairah. Kemudian Rasulullah berujar: “Subhanallah, sesungguhnya seorang mukmin tidaklah najis.”
Dalam riwayat lain Imam al-Bukhari mengisahkan ekspresi para sahabat yang heran dengan seekor sapi betina yang bisa berbicara dan menegur pemiliknya, mereka mengucapkan subhanallah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ،قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ بَيْنَا رَجُلٌ يَسُوقُ بَقَرَةً إِذْ رَكِبَهَا فَضَرَبَهَا فَقَالَتْ إِنَّا لَمْ نُخْلَقْ لِهَذَا إِنَّمَا خُلِقْنَا لِلْحَرْثِ فَقَالَ النَّاسُ سُبْحَانَ اللهِ بَقَرَةٌ تَكَلَّمُ
Abu Hurairah mengisahkan bahwa suatu ketika Rasulullah salat subuh, seusai mengerjakan salat subuh, beliau menghadap sahabat-sahabatnya dan bercerita bahwa di antara kita ada seorang laki-laki yang membawa seekor sapi betina, ketika ia menungganginya dan memukulnya, tiba-tiba sapi tersebut berbicara, “Sebenarnya kami tidak diciptakan untuk ini, kami diciptakan untuk membajak (sawah/ladang).” Seketika para sahabat mengucapkan Subhanallah sapi betina berbicara. (HR. Al-Bukhari)
Secara bahasa ungkapan subhanallah berarti unazzihullah ‘amma laa yaliiqu bihi min sifaatin (aku menyucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak untuk-Nya).
Sayyidah ‘Aisyah dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa orang Arab ketika mendapati sesuatu yang tidak mereka inginkan dan mereka berkeinginan untuk mengangungkan Allah, mereka mengucapkan “subhan”.
Seakan-akan dengan ungkapan tersebut mereka ingin menyucikan Allah dari keburukan yang tidak patut ada di dalam sifat-Nya.
Dengan demikian ungkapan subhan tepat digunakan untuk sesuatu yang mengherankan dalam pengertian negatif, atau ta’ajjub mimma yukrah (perasaan takjub terhadap sesuatu yang tidak disukai).
Dan itu mengapa Nabi dan para sahabat menggunakan kata subhanallah ketika mendapati sesuatu tidak pada tempatnya, dan ingin mengagungkan Allah dan menyucikan-Nya dari segala kekurangan.
Dalam salat pun demikian, untuk menegur kesalahan imam, maka makmum dianjurkan untuk menggunakan ungkapan subhanallah.
Di satu sisi makmum ingin menunjukkan kesalahan imam, di sisi lain makmum ingin mengagungkan Allah dari sifat lalai.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawanya: “Perintah untuk bertasbih kepada Allah adalah bentuk menyucikan Allah dari segala macam aib dan keburukan (di satu sisi), dan menetapkan kesempurnaan sifat yang dimiliki Allah (di sisi lain) dengan begitu tasbih berarti menyucikan dan mengagungkan sekaligus…”
Disebabkan karena dalam tasbih juga terdapat ta’dhim (mengagungkan Allah), maka disebutkan di dalam Ithaf al-Kiram, bahwa ungkapan subhanallah digunakan dalam dua kondisi, yang pertama adalah pengingkaran (atau heran dalam bahasa penulis) yang kedua adalah untuk kekaguman (ta’ajjub).
Bahkan di dalam kitab karya ‘Abdurrahman Sahim tersebut, ketika seseorang kagum dengan sesuatu juga dianjurkan mengucapkan takbir (Allahu akbar/Allah Mahabesar) selain dari pada tasbih.
Ini disebabkan karena keduanya mengandung makna mengagungkan Allah. Dari sini jelas bahwa tidak ada salahnya ketika seseorang menyakiskan sesuatu yang indah untuk mengagungkan Allah dengan ungkapan subhanallah.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di suatu pagi Rasulullah menyaksikan keagungan Allah beliau mengatakan Subhanallah.
Keterangan ini terdapat dalam riwayat Imam Bukhari. Dalam riwayat lain juga disebutkan suatu ketika ‘Umar bertanya kepada Rasulullah saw.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ ، قَالَ : قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم طَلَّقْتَ نِسَاءَكَ قَالَ : لاَ قُلْتُ اللَّهُ أَكْبَرُ
“Apakah engkau mentalak istrimu (wahai Rasulullah)? Tanya ‘Umar. “Tidak!” Jawab Rasulullah, kemudian ‘Umar mengucapkan: “Allahu Akbar!”
Subhanallah atau yang lebih dikenal dengan kalimat tasbih juga termasuk zikir yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. Beliau mengatakan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيمِ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ
Dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda: “Ada dua kalimat yang ringan diucapkan namun berat timbangan (pahala) nya, dan dicintai oleh Allah, yakni subhaanallah al-adzim subhaanallah wabihamdihi.” (HR. Al-Bukhari)
Atau dalam riwayat lain.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِئَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْر
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membaca subhanallah wa bihamdih seratus kali dalam sehari, maka akan dihapuskan kesalahannya meskipun sebanyak buih di lautan.” (HR. Al-Bukhari).
Dari dua hadis di atas, jelas sekali bahwa ungkapan subhanallah adalah zikir yang sangat diagungkan dalam Islam, dengan banyak sekali faedah yang diterima, itu artinya sekalipun seseorang kurang tepat dalam menggunakan kalimat subhanallah dan ketika ia berniat untuk memuliakan Allah maka ia sudah dalam kondisi berzikir kepada Allah SWT dan bernilai pahala.
Pada dasarnya masih banyak ungkapan-ungkapan lain dalam agama Islam yang bisa diutarakan ketika dalam kondisi-kondisi terntentu seperti ketika bersyukur mengucapkan alhamdulillah, dan lain sebagainya.
Sumber: bincangsyariah.com
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://islamidia.com/makna-dan-penggunaan-ungkapan-subhanallah-dan-masyaallah-yang-tepat/