Konstitusi Menjamin Indonesia Untuk Melepaskan West Papua
WEST PAPUA:
PERSOALAN WEST PAPUA SUDAH ke LEVEL G to G BUKAN LAGI G to NGO
Oleh Dr. Socratez S. Yoman
1. Pendahuluan
Sudah waktunya pemerintah RepubIik Indonesia dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) duduk setara untuk perundingan damai dan bermartabat yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral dan di tempat yang netral.
1.1. Mengapa?
Kita perlu mengakui secara jujur dan terbuka bahwa persoalan status politik West Papua dan pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai kejahatan Negara tidak dibicarakan oleh Non Government Organisation (NGO), tetapi sudah dibicarakan di level Government to Government (G to G).
Dulu, para diplomat pemerintah Indonesia melawan dan berargumen di forum-forum Intenasional dengan NGO/LSM dengan kata lain, G to NGO. Keadaan itu sudah berbalik arah, yaitu Indonesia berhadapan dengan Pemerintah atau Negara yang berdaulat yang disingkat G to G.
1.2. Apakah Pemerintah Vanuatu mengubah kebijakannya?
Jawabannya ialah TIDAK. Karena filosofi Pemerintah dan rakyat dan Gereja dan adat Vanuatu ialah Vanuatu belum sepenuhnya merdeka kalau West Papua belum merdeka dan masih berada di bawah pendudukan dan penjajahan asing/Indonesia.
Pemerintah Vanuatu, rakyat, gereja dan adat sudah mempertaruhkan harga diri mereka di forum-forum Internasional. Dalam spirit ini, Vanuatu terus menempatkan saudara-saudaranya bangsa West Papua dalam sayapnya yang kuat dan terus terbang menelusuri tebing-tebing terjal dan melewati sungai-sungai yang deras dan mengarungi pulau dan benua, dan melintasi ombak laut dan samudera dan menembusi awan-awan yang terhalang.
Tangan TUHAN yang kuat dan kokoh menjadi kekuatan bagi pemerintah Vanuatu melewati semua rintangan. Si Daud kecil dengan Nama TUHAN berhadapan dengan si Goliat yang angkuh & sombong & kejam yang mengandalkan tombak dan lembing. Si Goliat kecil melangkah dengan pasti dengan kuasa dan nama TUHAN untuk merobohkan si Goliat pemimpin Filistin yang mengandalkan kekuatannya sendiri.
2. Konstitusi menjamin Indonesia untuk Melepaskan West Papua
Pemerintah Indonesia sebaiknya melepaskan bangsa West Papua dari kekuasaan kolonialisme selama ini. Indonesia tidak melanggar konstitusi dalam melepaskan bangsa West Papua untuk berdiri sendiri. Indonesia mempunyai landasan hukum kuat untuk memberikan ruang kepada bangsa West Papua berdiri sendiri dan membangun bangsanya.
2.1. Pembukaan Mukadimah UUD 1945 menegaskan:
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa oleh karena itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Konstitusi Indonesia ini menjamin, sesungguhnya kemerdekaan bangsa West Papua ialah hak bangsa West Papua karena penjajahan Indonesia di atas bangsa West Papua harus ditiadakan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
2.2. Pepera 1969 cacat hukum dan moral
Selain Indonesia memiliki landasan hukum yang jelas, ada proses penggabungan West Papua melalui pepera 1969 yang cacat secara hukum dan moral. Artinya proses yang penuh dengan darah dan air mata dan kekejaman dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Negara. Pepera 1969 memang sangat tidak demokratis yang benar-benar korban hak politik rakyat dan bangsa West Papua. Kajian historik ini juga dapat digunakan untuk medelegitimasi penjajahan Indonesia di West Papua.
Pdt. Dr. Karel Phil Erari teolog dan cendikiawan yang dimiliki bangsa West Papua dalam karyanya: "Yubileum dan Pembebasan Menuju Papua Baru" pernah mengabadikan:
"Sejarah Integrasi Papua dalam Indonesia adalah suatu sejarah berdarah. Pelanggaran HAM yang diwarnai oleh pembunuhan kilat, penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan kecurigaan" ( Erari: 2006: hal. 167).
Lebih jauh, Dr. Erari menegaskan:
"Sejarah sedang berbicara, bahwa genderang Trikora 19 Desember 1961 dari Yogyakarta telah mengukir sebuah tragedi budaya dan kemanusiaan. Proses peralihan Papua dari Belanda melalui PBB dan yang pada akhirnya
[06:43, 26/10/2018] +62 812-4888-458: direkayasa dalam bentuk Pepera 1969 telah menjadi persoalan yang menyangkut pelanggaran HAM. Rakyat menilainya sebagai manipulasi atas hak-hak dasar rakyat. Para pelaku sejarah mengakui bahwa menghadapi pelaksanaan Pepera, mereka tidak terlibat dalam seluruh proses persiapan pelaksanaan Pepera" (hal. 169).
Senada dengan Dr. Erari, Amiruddin al Rahab dalam bukunya: Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme (2010) mengaminkan.
"Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan tulang punggungnya pemerintah militer (hal. 42). Kehadiran dan sepak terjang ABRI yang kerap melakukan kekerasan di Papua kemudian melahirkan satu sikap yang khas Papua, yaitu Indonesia diasosiasikan dengan kekerasan. Untuk keluar dari kekerasan, orang-orang Papua mulai membangun identitas Papua sebagai reaksi untuk menentang kekerasan yang dilakukan oleh para anggota ABRI yang menjadi representasi Indonesia bertahun-tahun di Papua....Orang-orang Papua secara perlahan, baik elit maupun jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti yang sesungguhnya. Singkatnya dalam pandangan orang Papua, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI" (hal. 43).
Apa yang dikatakan Pdt. Dr. Erari dan Amiruddin diakui bahwa ABRI Memenangkan Pepera 1969. Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando mengakui: "Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka" (2009:169).
Duta Besar Gabon pada saat Sidang Umum PBB pada 1969 mempertanyakan pada pertanyaan nomor 6: "Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?" (Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN GA, agenda item 108, 20 November 1969, paragraf 11, hal.2).
"Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 Anggota Dewan Musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir..." (Sumber: Laporan Resmi PBB Annex 1, paragraf 189-200).
Surat pimpinan militer berbunyi: " Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun B/P-kan baik dari AD maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di Irian Barat (IRBA) tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS DIMENANGKAN..."
(Sumber: Surat Telegram Resmi Kol. Inf.Soepomo, Komando Daerah Daerah Militer Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radiogram MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: Menghadapi referendum di IRBA tahun 1969).
Fakta sejarah membuktikan bahwa mayoritas 95% rakyat West Papua memilih merdeka dan berdiri sendiri juga diakui pemerintah Amerika Serikat.
"...bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua."
(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman's report, July 18, 1969, in NAA).
Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui:
"Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia."
(Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz kepada Sidang Umum PBB pada 1969:
"Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka." (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723/alinea 243, hal. 47.).
Akhir dari artikel ini, penulis menyampaikan kepada pemerintah Indonesia, ada dua masalah prinsip yang dipersoalkan dan diperjuangan oleh ULMWP bersama Vanuatu dan Negara-Negara Pasifik, yaitu:
Status politik penggabungan West Papua ke dalam Indonesia melalui Pepera 1969 yang cacat hukum dan moral dan pelanggaran berat HAM.
Waa
IWP, 26102018;08:35
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2018/10/konstitusi-menjamin-indonesia-untuk.html