Kakak Korban Ditawari Jadi Pns Saya Tak Mau Jual Nyawa Adik
Kasus penembakan yang menewaskan dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara, sudah 35 hari.
Polisi belum juga mengungkap siapa pelaku penembakan Randi (21) dan apa penyebab meninggalnya Yusuf Kardawi.
Fitriani Sali, kakak kandung Randi, mengatakan suatu waktu pernah dihubungi oleh perwakilan Mabes Polri yang menjanjikan dirinya diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS).
Namun, tawaran itu ditolak dengan tegas. Fitri menilai tawaran itu sama saja menjual nyawa adiknya.
“Saya menyatakan sikap tidak mau jadi PNS untuk gantikan nyawa adik saya,” kata Fitri saat ditemui di rumah kerabatnya di Kendari, Kamis (31/10).
Seandainya tawaran itu datang setelah pembunuh adiknya terungkap, Fitri mengatakan bisa jadi ia menerimanya dengan alasan polisi berbelas kasih kepada keluarganya yang miskin.
Anak pertama dari lima bersaudara ini baru saja menjalani wisuda pada Rabu (30/10) di Universitas Halu Oleo Kendari.
Selama empat tahun kuliah di Jurusan Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) UHO, ia memperoleh predikat memuaskan dalam indeks prestasi kumulatif (IPK).
Fitri menyebut orang tuanya mendukung sikap tegasnya. Selain pertimbangan status hukum yang masih menggantung, tawaran PNS itu ditolak karena seleksi abdi negara saat ini tidak bisa melalui lobi-lobi.
“Penerimaan PNS juga tidak segampang itu. Tesnya melalui online dan harus sesuai passing grade. Menurut saya akal-akalan saja,” tuturnya.
Ia menyebut tidak mengetahui apa alasan polisi menawarkan PNS. Namun, secara tegas, keluarga tetap meminta kepastian hukum dan keadilan atas meninggalnya sang adik.
“Keluarga akan terus menagih polisi. Saya juga tidak mau menjual nyawa adik saya,” tegasnya.
Upaya kepolisian untuk menemui keluarga korban, khususnya keluarga almarhum Randi terus dilakukan. Terakhir, Mabes Polri mengirim AKBP Wa Ode Sarina yang memiliki hubungan kultur dengan keluarga korban.
Perwakilan korps Bhayangkara ini juga membawakan segepok uang yang jumlahnya puluhan juta rupiah ke keluarga korban. Namun demikian, keluarga belum mendengarkan langsung permintaan maaf dari kepolisian kepada keluarga.
Fitri mengatakan polisi beberapa kali mendatangi rumahnya. Namun, langkah itu membuat keluarga merasa tertekan.
“Bapaku mungkin jengkel karena adik saya diduga dibunuh polisi. Bapak saya tidak terima dan enggan bertatap muka dengan polisi,” ujarnya.
Lambannya penanganan kasus oleh pihak kepolisian membuat keluarga kecewa.
“Kami menilai lamban cara penyelidikannya. Masa pelaku pencurian cepat didapat, sementara pelaku penembakan belum (didapat),” kata Fitri.
Dia menilai hukuman disiplin terhadap enam anggota polisi yang melanggar standar operasional prosedur (SOP) merupakan sanksi internal.
Namun, ia meminta agar kepolisian melanjutkan proses pidana para pelaku yang diduga kuat menembak adik kandungnya saat demonstrasi di depan Gedung DPRD Sultra, Kamis (26/9).
“Hukumannya belum setimpal. Kan waktu sebelum turun ke lapangan diberi tahu sama pimpinan mereka untuk tidak melakukan penembakan. (Tapi) kenyataannya mereka melakukan penembakan. Mereka juga menggunakan senjata api,” katanya.
Ia menyebut hukuman setimpal terhadap pelaku adalah dipecat dari kesatuannya dan dihukum sesuai aturan yang berlaku.
Saat ditemui di Mabes Polri, Jenderal Idham Azis yang baru menjabat Kapolri enggan menjawab pertanyaan wartawan terkait kasus penembakan mahasiswa Kendari. Begitu pula dengan Kabid Humas Polri Irjen M. Iqbal ketika ditemui di kantornya.
Sebelumnya, Kapolda Sultra Brigjen Pol Merdisyam saat bertandang ke Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari pada (22/10) menyebut Mabes Polri terus mengusut kasus meninggalnya dua mahasiswa di Kendari.
Ia menyebut pengungkapan kasus ini dilakukan dalam dua hal. Pertama, sidang disiplin terhadap enam polisi berstatus terperiksa yang dilakukan Divisi Propam.
Selain itu, proses pidananya dilakukan oleh Mabes Polri di bawah Kabareskrim yang sebelumnya dipimpin Komjen Idham Azis.
“Kalau ada anggota melanggar SOP ada mekanisme sidang disiplin. Secara eksternal, pidananya, proses penyelidikan terus berjalan dan sampai saat ini progres kita dari barang bukti yang ada bisa dijadikan satu alat bukti untuk pembuktian di Labfor,” katanya.
Menurut dia, penetapan tersangka dalam kasus ini butuh pembuktian uji materil yang dapat dipertanggungjawabkan dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.
Kapolda menginginkan agar kasus ini cepat tuntas agar mendapatkan kepastian hukum dan rasa keadilan.
Ia juga menyebut, Randi adalah bagian dari keluarga anggota Polri, AKBP Wa Ode Sarina. Namun demikian, ia tidak menjelaskan bagaimana cara Wa Ode Sarina bertemu dan berbicara dengan keluarga korban.
Di tempat terpisah, Wakabareskrim Polri Irjen Antam Novambar menyampaikan Polri melibatkan pihak asing untuk menyelidiki kasus tersebut.
Menurutnya, senjata api yang dibawa polisi saat demo tersebut sedang diperiksa di laboratorium forensik di luar negeri.
Pemeriksaan sidik jari senjata api dilakukan di luar negeri, menurut Antam agar lebih akurat dan hasilnya tidak bisa dipertentangkan lagi.
Di sisi lain, Koordinator KontraS Yati Andriyani menyesalkan minimnya akuntabilitas Polda Sultra dalam penegakan hukum terkait kasus meninggalnya Randi dan Yusuf Kardawi.
“Keputusan Polda Sulawesi Tenggara yang hanya menjatuhkan sanksi karena pelanggaran kode etik kepada enam orang anggota kepolisian, tanpa segera diikuti dengan pemeriksaan pidana terhadap terduga pelaku dan penanggung jawab penembakan menunjukan Polri terkesan sedang melindungi terduga pelaku penembakan dan penanggung jawab komando dalam pengamanan aksi yang mengakibatkan terjadinya penembakan dan jatuhnya korban jiwa,” kata Yati dalam keterangan persnya.
Menurutnya, putusan sidang disiplin terhadap enam polisi kemarin tidak sebanding dengan hilangnya nyawa dua korban mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari.
Belum lagi, kasus ini sudah 35 hari bergulir pelaku yang diduga melakukan penembakan belum juga diungkap oleh kepolisian.
“Kami khawatir bahwa ketiadaan akuntabilitas dan transparansi dari aparat kepolisian dalam kasus ini akan membuat penyelesaian kasus semakin kelam, seperti yang terjadi pada peristiwa tewasnya sembilan orang pada saat peristiwa Aksi 21-23 Mei di Jakarta, yang hingga saat ini tidak berhasil mengungkap siapa pelaku penembakan tersebut,” tuturnya.
Sumber: cnnindonesia.com
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://islamidia.com/kakak-korban-ditawari-jadi-pns-saya-tidak-mau-jual-nyawa-adik/