Hukum Sholat Jama Ah Di Wilayah Zona Hijau Saat Wabah Covid19
Hukum Sholat Jama’ah di Wilayah Zona Hijau Saat Wabah Covid19
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan ustadz saya mau tanya lagi
Ini kan Alhamdulillah di tempat saya kota Tegal yg sebelum nya zona merah sudah menjadi zona hijau corona namun di daerah sekitar kota Tegal seperti kabupaten Tegal brebes pemalang masih zona merah seperti yg di katakan pak gubernur ganjar pranowo. Apakah dengan demikian saya yg tinggal di kota Tegal yg sudah zona hijau. Diwajibkan kembali untuk sholat berjamaah si masjid?
Sdr. Yusuf, di Tegal.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.
Pertama, kekhawatiran tertular penyakit, adalah uzur yang diakui oleh syari’at Islam.
Di dalam kitab Al-Inshof, Imam Al-Mardawi rahimahullah menerangkan,
وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ بِلَا نِزَاعٍ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ
“Orang yang sakit, beruzur boleh tidak melaksanakan sholat Jumat dan sholat jama’ah di masjid. Tak ada perselisihan ulama tentang ini. Demikian pula bagi orang yang takut/khawatir tertular penyakit, juga diberi uzur tidak melaksanakan sholat Jum’at dan sholat jama’ah. (Lihat : Al-Inshof fi Ma’rifatir Rojih minal Khilaf, 2/300)
Oleh karenanya, selama di sebuah wilayah masih ada kekhawatiran tertular virus COVID-19, maka uzur tidak melaksanakan sholat Jum’at dan jama’ah di masjid, masih berlaku.
Meskipun wilayah tersebut telah berstatus zona hijau. Karena zona hijau saat ini, belum bisa dijadikan referensi meyakinkan amannya sebuah wilayah dari penularan virus ini. Hal ini karena:
– Banyaknya OTG (Orang Tanpa Gejala)
Besar kemungkinan banyak OTG yang tidak terdata.
– Ruang gerak masyarakat yang sulit dibatasi. Bahkan di wilayah yang diberlakukan PSBB pun masih banyak masyarakat membandel nekat keluyuran.
– Banyaknya masyarakat yang tidak komitmen dengan protokol pencegahan COVID-19.
– Keterbatasan alat kesehatan dan ketersediaan tenaga medis.
– Daya tampung RS di suatu wilayah juga menjadi pertimbangan.
Oleh karena itu, zona hijau tidak bisa semata-semata menjadi acuan gugurnya uzur tersebut, sampai benar-benar bisa dipastikan aman.
Kalau yang zona merah dan zona kuning, sudah jelas uzur tetap berlaku tanpa perlu pembahasan di sini.
Kedua, surat edaran Menteri Agama.
Alhamdulillah pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri Agama, telah menerbitkan surat edaran panduan penyelenggaraan kegiatan keagamaan di rumah ibadah di masa Pandemi (*kami cantumkan di akhir tulisan). Ini bisa menjadi dasar pelaksanaan ibadah Jumat atau sholat jama’ah di masjid. Seraya tetap bertawakal kepada Allah.
Karena ketaatan kepada Ulil Amri, juga syariat yang diperintahkan Allah kepada umat Islam, selama keputusan tidak bertentangan dengan norma agama Islam. Dalilnya adalah firman Allah,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. (QS. An-Nisa’: 59)
Dan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam,
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Khaliq.” (HR. Ahmad, shahih)
Dasar keputusan Menteri Agama, tidak lepas dari alasan di poin pertama, yaitu kekhawatiran tertular penyakit adalah uzur tidak jama’ah. Sehingga, wallahua’lam, keputusan tersebut tidak keluar dari norma agama, alhamdulillah.
Jika kita baca aturan yang pemerintah tetapkan sebagai panduan ibadah di masa Pandemi, menunjukkan adanya upaya menghilangkan kekhawatiran tersebut. Sementara kaidah fikih mengatakan,
الحكم يدور مع علته وجودا و عدما
“Ada dan tidaknya suatu hukum, bergantung pada ada dan tidaknya illat (alasan) hukum.”
Artinya, selama masih ada kekhawatiran, maka hukum berupa uzur tidak jama’ah di masjid masih berlaku. Selama kekhawatiran itu tidak ada, maka uzur tidak jama’ah di masjid berubah menjadi tidak berlaku.
Ketiga, taat Ulil Amri secara utuh.
Tidak cukup sekedar semata-mata mendengar judul berita, wacana “New Normal” atau warta “Pemerintah Sudah Membolehkan Pelaksanaan Ibadah di Rumah Ibadah”, kemudian dijadikan dasar membuka masjid untuk sholat jama’ah dan Jumat, tanpa membaca dan menerapkan detail aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah.
Jika dasarnya adalah taat kepada Ulil Amri, maka silahkan laksanakan taat itu secara utuh.
Kami yakin, pemerintah kita tidak akan mengizinkan masjid membuka sholat jama’ah atau Jumat, tanpa menjalankan protokol pencegahan COVID-19 untuk rumah ibadah. Sehingga membuka masjid untuk sholat jama’ah dan Jumat, tanpa menjalankan aturan yang berlaku, tidak disebut sebagai amal sholih taat Ulil Amri. Lebih tepat disebut melanggar daripada taat.
Bagi masyarakat yang ingin membuka kembali masjidnya, harus siap melaksanakan aturan-aturan yang ditetapkan Kemenag berikut ini:
1. Rumah ibadah yang dibenarkan untuk menyelenggarakan kegiatan berjamaah/kolektif adalah yang berdasarkan fakta lapangan serta angka R-Naught/RO dan angka Effective Reproduction Number/Rt, berada di kawasan/lingkungan yang aman dari COVID-19.
Hal itu ditunjukkan dengan Surat Keterangan Rumah Ibadah Aman COVID-19 dari Ketua Gugus Tugas Provinsi/Kabupaten/Kota/Kecamatan sesuai tingkatan rumah ibadah dimaksud, setelah berkoordinasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah setempat bersama Majelis-majelis Agama dan instansi terkait di daerah masing-masing. Surat Keterangan akan dicabut bila dalam perkembangannya timbul kasus penularan di lingkungan rumah ibadah tersebut atau ditemukan ketidaktaatan terhadap protokol yang telah ditetapkan.
2. Pengurus rumah ibadah mengajukan permohonan surat keterangan bahwa kawasan/lingkungan rumah ibadahnya aman dari COVID-19 secara berjenjang kepada Ketua Gugus Kecamatan/ Kabupaten/Kota/Provinsi sesuai tingkatan rumah ibadahnya.
3. Rumah ibadah yang berkapasitas daya tampung besar dan mayoritas jemaah atau penggunanya dari luar kawasan/lingkungannya, dapat
mengajukan surat keterangan aman COVID-19 langsung kepada pimpinan daerah sesuai tingkatan rumah ibadah tersebut.
4. Kewajiban pengurus atau penanggung jawab rumah ibadah:
a. Menyiapkan petugas untuk mengawasi penerapan protokol kesehatan di rumah ibadah.
b. Melakukan pembersihan dan desinfeksi berkala.
c. Membatasi jumlah pintu/jalur keluar masuk rumah ibadah untuk pengawasan protokol kesehatan.
d. Menyediakan fasilitas cuci tangan, sabun, atau hand sanitizer di pintu keluar masuk rumah ibadah.
e. Menyediakan alat pengecekan suhu di pintu dan tidak membolehkan jamaah dengan suhu tubuh lebih dari 37,5 derajat Celcius masuk rumah ibadah.
f. Menerapkan pembatasan jarak minimal satu meter.
g. Melakukan pengaturan jumlah jemaah/pengguna rumah ibadah yang berkumpul dalam waktu bersamaan.
h. Mempersingkat waktu pelaksanaan tanpa mengurangi kesempurnaan beribadah.
i. Memasang himbauan penerapan protokol kesehatan di area rumah ibadah pada tempat-tempat yang mudah terlihat.
j. Membuat surat pernyataan kesiapan menerapkan protokol kesehatan yang telah ditentukan.
k. Memberlakukan penerapan protokol kesehatan secara khusus bagi jamaah dari luar lingkungan rumah ibadah.
5. Kewajiban masyarakat yang akan melaksanakan kegiatan di rumah ibadah:
a. Jamaah dalam kondisi sehat.
b. Meyakini rumah ibadah yang digunakan memiliki Surat Keterangan aman COVID-19 dari pihak yang berwenang.
c. Menggunakan masker/masker wajah sejak keluar rumah dan selama berada di area rumah ibadah.
d. Menjaga kebersihan tangan dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun atau hand sanitizer.
e. Menghindari kontak fisik seperti bersalaman atau berpelukan.
f. Menjaga jarak antar jamaah minimal satu meter.
g. Menghindari berdiam lama di rumah ibadah atau berkumpul di area rumah ibadah selain untuk ibadah wajib.
h. Melarang beribadah di rumah ibadah bagi anak-anak dan warga lanjut usia yang rentan tertular penyakit, serta orang dengan sakit bawaan yang berisiko tinggi terhadap COVID-19.
i. Ikut peduli terhadap penerapan pelaksanaan protokol kesehatan di rumah ibadah sesuai dengan ketentuan.
6. Penerapan fungsi sosial rumah ibadah meliputi kegiatan pertemuan masyarakat, misal akad pernikahan/perkawinan, tetap mengacu pada ketentuan di atas dengan tambahan ketentuan sebagai berikut:
a. Memastikan semua peserta yang hadir dalam kondisi sehat dan negatif COVID-19.
b. Membatasi jumlah peserta yang hadir maksimal 2O% (dua puluh persen) dari kapasitas ruang dan tidak boleh lebih dari 30 orang.
c. Pertemuan dilaksanakan dengan waktu seefisien mungkin.
(Sumber : Surat Edaran Menteri Agama RI, Nomor : SE 15 Tahun 2020)
Jika siap melaksanakan aturan di atas, maka silahkan dibuka masjidnya dan berargumen dengan taat kepada Ulil Amri. Namun jika belum siap, mari berpindah pada argument taat Ulil Amri dalam judul yang berbeda. Tetap beribadah di rumah aja dulu.
Demikian. Wallahua’lam bis showab.
******
Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc
(Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta dan Pengasuh Situs thehumairo.com)
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://konsultasisyariah.com/36419-hukum-sholat-jamaah-di-wilayah-zona-hijau-saat-wabah-covid19.html