Hujan Diam Dan Sebuah Renungan
Hujan, Diam, dan Sebuah Renungan — Monolog Jiwa
Hujan, Diam, dan Sebuah Renungan
Ada sesuatu tentang hujan yang selalu membuat hati ini jadi lebih senyap dari biasa.
Dari tepi lantai jubin yang dingin, aku melihat pantulan langit—gelap, lembap, dan penuh cerita. Titik-titik air menulis irama di atas jalan; ada yang jatuh perlahan, ada yang memercik lalu hilang. Dalam kesunyiannya, hujan seolah mengajak untuk berhenti sejenak: bernafas, mendengar, dan menerima.
Hujan tidak bersalah kerana ia menurunkan air; yang berat adalah cara kita menyimpan segala yang telah turun di dalam hati.
Dalam hidup, ada luka yang tak tampak oleh orang lain. Ia tertutup di balik senyum, ditambatkan pada rutinitas, tersembunyi di sela-sela kata. Kadang-kadang yang diperlukan bukanlah nasihat yang panjang, tetapi keizinan untuk diam sambil hujan membersihkan sisinya — bukan untuk melupakan, tetapi untuk meredakan.
Hujan mengajar aku untuk percaya bahawa proses itu penting. Bahawa menangis, melepaskan, atau sekadar duduk menunggu redanya badai bukan bermakna kita lemah. Ia bermakna kita memberi ruang untuk penyembuhan. Jalan yang basah akan mengering; jejak air akan hilang; namun bekas pelajaran akan tetap melekat di dalam sabar.
Biarkan hujan menjadi saksi bahawa kita masih memilih untuk bertahan. Jika hari ini langkah terasa berat, izinkan titisan itu menjadi peneman—tenang dan tidak menghakimi. Esok mungkin mentari tidak muncul dengan heboh, namun sinarnya perlahan-lahan kembali, menjemput harapan yang tertangguh.
"Setiap hujan punya akhir. Setiap akhir memberi ruang untuk mula yang baru."
Untuk siapa yang sedang membaca: kalau hari ini kau basah, jangan takut; itu hanya hujan. Biarkan ia membasuh sedikit demi sedikit, hingga kau temui semula kelegaan yang terlupa.
— Monolog Jiwa
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://belogsjm.blogspot.com/2025/08/hujan-diam-dan-sebuah-renungan.html