Herman Wainggai Indonesia Adalah Corona Virus Bagi Bangsa Papua
Pendiri sekaligus direktur eksekutif West Papua Human Rights Center (WPHRC) USA, Herman Wainggai, mengatakan Indonesia adalah Virus Corona yang begitu mematikan karena terus membunuh dan bakal memusnahkan Rakyat Papua di tanahnya.
Hal itu disampaikan Wainggai dalam aksi protes damai bersama sejumlah aktivis Papua yang berlangsung di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Washington DC, pada Rabu (18/3).
"Kami berdiri disini untuk menyampaikan bahwa Rakyat Papua telah banyak yang mati. Karena itu kami ingin mengingatkan masyarakat internasional hari ini bahwa militer dan polisi Indonesia lebih berbahaya dari Corona Virus," ungkap Wainggai saat membacakan pernyataan yang ditujukan untuk meminta perhatian Presiden AS, Donald J. Trump dan masyarakat internasional.
Menurut pria yang juga diplomat United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini, meski Indonesia telah nemasuki masa reformasi sejak 1998 dengan kejatuhan Presiden Soeharto yang otoriter, namun hingga masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini, pendekatan militerisme masih tetap berlaku, terutama bagi Rakyat Papua.
Hal lain kata dia, bisa dilihat juga dari dilarangnya jurnalis asing dan Lembaga pemantau HAM internasional untuk bekerja di Papua secara independen. Pembatasan itu pun membuat informasi tentang situasi yang terjadi di Papua Barat sedemikian tertutup bagi dunia luar.
"Karena itu kami meminta perhatian Pemerintah AS melalui Presiden Donald Trump untuk mendesak Pemerintah Indonesia segera mengijinkan Komisi Tinggi HAM PBB dapat melakukan investigasi dan pemantauan situasi pelanggaran HAM yang terjadi di Papua," tegas pria yang pernah menjadi visiting scholar untuk studi analisis konflik dan resolusi pada George Mason University (GMU) Virginia ini.
Baca juga: Raja Belanda Datang Minta Maaf, Pemerintah RI Berak di Muka Sendiri
Jurnalis asing dan kelompok-kelompok pegiat kemanusiaan internasional, menurut Herman Wainggai, perlu juga diberikan akses secara terbuka untuk bekerja bersama pemimpin Rakyat Papua yang berada di dalam maupun luar negeri.
"Bahkan jika perlu pada akhirnya, PBB dapat menyiapkan suatu prose's penyerahan kedaulatan kembali kepada Rakyat Papua secara damai," harap pria yang pernah membawa 43 orang dari Papua untuk mengungsi dan mencari suaka politik di Australia pada Januari 2006 ini.
Dalam kesempatan yang sama, Charity Titiulu, seorang pegiat WPHRC USA, juga mengatakan, Papua Barat sebagai bagian dari keluarga besar rumpun ras Melanesia di Pasifik Selatan, mestinya dapat diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri.
"Indonesia tidak bisa menyembunyikan kejahatan kemanusiaan yang sudah mereka lakukan atas Rakyat Papua Barat," tegasnya.
Aksi damai yang dikoordinir WPHRC USA itu berlangsung selama kurang lebih satu jam di depan KBRI Washington DC. Para aktivis terlihat membawa selembar bendera Bintang Fajar dan gambar bendera Bintang Fajar yang di bawahnya tertulis "Free West Papua".
Sebuah poster berisi seruan pembebasan bagi tahanan politik perempuan Papua, Sayang Mandabayan, juga diusung. Aksi berakhir setelah pembacaan pernyataan.
Menariknya, aksi ini dilakukan dengan nekad ketika Rakyat AS sedang mengalami kepanikan untuk tidak beraktivitas di ruang publik saat makin mewabahnya pandemi Coronavirus (Covid-19) di negara Paman Sam ini.
Aksi tersebut dilakukan guna memperingati 24 tahun kematian mendiang tokoh Papua, DR. Thomas Wainggai pada 12 Maret 1996. Ia adalah seorang akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura dan proklamator Republik Melanesia Barat yang meninggal secara misterius di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang Jakarta, saat menjalani masa hukuman sebagai tahanan politik Papua selama 20 tahun.
————
Julian Howay - Penulis adalah seorang Journalist bebas Papua yang sedang melakukan penelitian akademis di Amerika.
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2020/03/herman-wainggai-indonesia-adalah-corona.html