Cara Kerja Jaringan Bot Penyebar Hoaks Soal Papua Dengan Biaya Miliaran Rupiah
Papua: Cara kerja jaringan bot penyebar hoaks soal Papua dengan biaya miliaran rupiah
Benjamin Strick & Famega Syavira BBC
Investigasi gabungan BBC dan Australian Strategic Policy Institute (ASPI) menemukan keberadaan jaringan bot dan informasi palsu dalam menyebarkan "propaganda pro-pemerintah" mengenai isu Papua.
Melalui investigasi selama dua bulan, terungkap bahwa jaringan ratusan akun di media sosial, perusahaan, dan individu ini terkait dengan kampanye terorganisir dan berbiaya miliaran rupiah.
"Berdasar temuan dari investigasi ini, kami menduga bahwa tujuan kampanye ini adalah menggunakan media sosial untuk mempengaruhi opini dunia internasional mengenai Papua," kata Elise Thomas, periset dari International Cyber Policy Center di ASPI.
"Kampanye seperti ini khususnya akan menjadi lebih efektif dalam konteks Papua yang hanya punya sedikit akses pada media yang independen".
Beberapa bulan terakhir Papua menjadi pusat perhatian karena rangkaian peristiwa yang berujung pada kerusuhan di Wamena yang menewaskan puluhan orang. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka pun terus menuntut referendum untuk menentukan masa depan Papua.
Elise khawatir misinformasi dan disinformasi ini berpotensi mempengaruhi kebijakan pemerintah negara lain dan forum internasional seperti PBB.
"Jika ada yang bersedia menghabiskan waktu berbulan-bulan, dan menghabiskan ratusan ribu dolar untuk iklan di Facebook, mereka pasti berusaha mencapai suatu tujuan. Dalam kasus ini, nampaknya tujuannya adalah menyebarkan pengaruh pada audiens internasional, termasuk pembuat kebijakan, aktivis pro-kemerdekaan dan jurnalis," kata Elise.
Visualisasi peta pembicaraan seputar Papua di Twitter
Lembaga media sosial InsightidPenelusuran investigasi BBC dan ASPI atas bot ini berujung pada jaringan akun yang "tidak otentik dan diotomatisasi" yang tersebar di setidaknya lima platform, yaitu website, Facebook, Twitter, Youtube dan Instagram.
Mereka mempublikasikan video berkualitas tinggi dalam bahasa Inggris dan Indonesia, dan mempublikasikan konten dalam dua bahasa.
"Di Twitter, akun bot yang diotomasi digunakan untuk mempromosikan dan membagikan konten dari akun utama. Sedangkan di Facebook, mereka membayar iklan Facebook yang menargetkan pengguna di luar Indonesia," kata Elise.
Salah satu contoh post yang diiklankan di Facebook, yang kemudian dihapus oleh Facebook karena melanggar kebijakan iklan di situs itu.
Negara yang menjadi target antara lain AS, Inggris, Swedia, Belanda dan Jerman.
Taktik lain yang dilakukan di Twitter adalah dengan memanfaatkan tagar yang digunakan oleh pihak pro-referendum, seperti misalnya tagar #freewestpapua. Jaringan itu juga membuat akun yang mirip dengan akun pro-referendum, misalnya akun @westpapuaamerdeka yang mirip dengan akun pro-kemerdekaan, @westpapuamedia.
Nama yang banyak terkait dengan jaringan bot ini adalah akun "West Papua ID" yang terhubung ke domain westpapuaindonesia.com. Domain ini dan empat website lain terdaftar atas nama Westi Pearly, yang kemungkinan adalah nama palsu.
Namun, ada nomor telepon yang terhubung dengan akun ini. Dengan memasukkan nomor ini ke WhatsApp dan mencari fotonya dengan mesin pencari foto Yandex, nomor tersebut terhubung pada akun Facebook, LinkedIn dan akun Freelancer pribadi dari seorang bernama Pera Malinda Sihite. Dia menyebut dirinya sebagai co-founder perusahaan konsultan media sosial InsightID.
Pada websitenya (yang kini sudah tidak dapat diakses), salah satu proyek InsightID adalah "Papua Program Development Initiative, meneliti perkembangan sosio-ekonomi Papua yang pesat dan mengeksplorasi tantangannya.
Investigasi juga menemukan bahwa email co-founder InsightID Abdul Aziz digunakan untuk mendaftarkan 14 domain terkait Papua, yang semua didaftarkan pada hari yang sama.
Beberapa website ini diduga saling terkait, karena mereka menggunakan kode tracking yang sama dari Google Analytics.
Sejalan dengan temuan investigasi, Facebook mengumumkan penemuannya terhadap jaringan akun yang bertujuan "menyesatkan pembaca".
"Kami menghentikan aktivitas mereka karena tidak ingin layanan kami dipakai untuk memanipulasi orang lain," kata Nathaniel Gleicher, Kepala Kebijakan Keamanan Cyber Facebook dalam rilis persnya, 3 Oktober.
Facebook menutup 69 akun, 42 pages dan 34 akun Instagram. Ada satu Pages yang diikuti oleh 410 ribu akun, dan salah satu akun Instagram diikuti oleh 120 ribu akun.
Jaringan media sosial InsightIDDi website insightid.org, salah satu proyek InsightID adalah “Papua Program Development Initiative. Proyek tersebut meneliti perkembangan sosio-ekonomi Papua yang pesat dan mengeksplorasi tantangannya”.
Facebook
InsightID diduga membayar iklan di Facebook, dan mentargetkannya ke pengguna Facebook di luar negeri. 69 akun dan 42 pages dihapus oleh Facebook.
Youtube
Video diproduksi dalam bahasa Inggris dan Indonesia, dari Youtube video tersebut di-embed di website.
Twitter
Strategi penyebaran konten di Twitter antara lain dilakukan dengan menuliskan cuitan dengan tagar #freewestpapua dan membuat akun yang mirip dengan akun pro-referendum.
Instagram
Facebook mengumumkan telah menghapus 34 akun Instagram.
Website
Ada setidaknya 19 website yang didaftarkan melalui webnic.cc. 14 website diduga didaftarkan dalam satu hari dengan email co-founder InsightID.
Dana yang dihabiskan jaringan ini untuk membayar iklan di Facebook mencapai hingga US$300.000, atau sekitar Rp4,2 miliar.
"Meskipun mereka yang ada di baliknya berusaha untuk menyembunyikan identitas mereka, investigasi kami menemukan bahwa ada hubungan ke lembaga media sosial InsightID," kata Nathaniel.
Aktor di balik jaringan ini menggunakan akun palsu untuk mengelola Pages, menyebarkan konten mereka dan mengarahkan orang untuk mengakses website di luar Facebook.
Menurut Facebook, jaringan ini mengunggah konten dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia tentang Papua, dengan beberapa halaman membagikan konten yang mendukung gerakan kemerdekaan, sedang yang lain mengkritik. Namun investigasi BBC tak menemukan otomasi konten pro-kemerdekaan yang terkait dengan InsightID.
BBC berusaha menghubungi dua co-founder InsightID, Abdul Aziz dan Pera Malinda Sihite, melalui telepon, namun tidak diangkat. Permintaan hak jawab melalui email pun tidak dibalas.
Meski demikian, beberapa hari setelah pengumuman Facebook mengenai keterlibatan InsightID, beberapa akun yang terkait dengan InsightID menyebarkan pengumuman yang disebut dari perusahaan tersebut.
"Konten kami membela Indonesia melawan narasi hoaks kelompok separatis Papua Merdeka," demikian bunyi pengumuman tersebut.
Mereka juga membantah telah mengeluarkan dana sebanyak US$300.000, dan menyatakan bahwa jumlah itu adalah gabungan dari berbagai kelompok yang mengangkat isu Papua.
Pengguna Facebook di Belanda menjadi salah satu target sasaran iklan berbayar di Facebook. Ini adalah penargetan iklan di salah satu posting akun Facebook dalam jaringan InsightID.
Pemerintah menilai bahwa penutupan akun-akun yang diduga terkait dengan InsightID ini sudah sejalan dengan kebijakan pemerintah.
"Langkah yang dilakukan FB sejalan dengan apa yang dilakukan pemerintah selama ini, dalam upaya kami memerangi hoaks dan ujaran kebencian," kata Ferdinandus Setu, Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo.
Menurutnya, akun palsu yang menyebarkan misinformasi dan disinformasi memang masih mejadi masalah besar dan signifikan di Indonesia.
"Fakta yang dimanipulasi untuk kepentingan mendiskreditkan kelompok tertentu, itu yang paling berbahaya dan bisa menganggu ketertiban kita sebagai bangsa," kata Ferdinandus kepada BBC Indonesia melalui telepon.
Bagaimana suatu akun dapat disebut bot?"Akun-akun ini sangat mudah dikenali. Mereka berbagi konten yang sama, pada waktu-waktu yang tidak biasa, dengan algoritma yang serupa," kata Elise.
Saat diperiksa lebih lanjut, ada perbedaan antara akun bot dengan akun biasa.
Awalnya, BBC menemukan akun-akun ini ketika memeriksa tagar seputar Papua.
BBC memeriksa beberapa akun dengan melihat usernamenya di Twitter. Foto yang mereka pakai untuk profil itu bukan foto asli. Ada yang tidak memasang foto, ada foto bintang hip hop korea, aktor China atau foto orang Australia.
Untuk memastikan foto itu bukan foto asli, foto tersebut diunggah ke mesin pencari gambar Yandex. Ketika dicari dengan image reverse search, foto-foto tersebut sudah pernah diunggah oleh orang lain sebelumnya.
Ketika diperiksa di lini masa, konten yang mereka unggah hanya konten-konten yang diprogram ini dan tidak ada yang lain. Setiap akun mengunggah konten pada jam berbeda, tapi kerap kali pada menit dan detik yang sama sehingga kecil kemungkinan dilakukan akun yang bukan bot.
Banyak dari akun bot terkait InsightID yang ditemukan dalam investigasi, kini sudah diblokir oleh Twitter.
Kepada BBC, juru bicara Twitter menjelaskan bahwa manipulasi platform, termasuk spam dan cara lain untuk mengakali integritas sistem Twitter, jelas-jelas pelanggaran peraturan Twitter.
"Manipulasi platform (termasuk otomatisasi dengan niatan buruk, dan pengikut palsu) tidak diizinkan di Twitter. Kami terus berusaha mencari dan mencegah akun yang menunjukkan tanda-tanda memanipulasi percakapan publik di Twitter," kata juru bicara Twitter melalui email.
'Pojokkan media internasional'Investigasi BBC dan ASPI juga mengungkap beberapa laman yang menyebarkan informasi tidak benar mengenai Papua.
Website-website ini serupa, namun berdiri sendiri dan tidak ada hubungannya dengan InsightID.
Itu adalah Wawawa Journal, sebuah situs berbahasa Inggris, nampak seperti sebuah situs berita. Beberapa artikelnya berupa opini positif tentang Indonesia, beberapa artikel di dalamnya menulis informasi dari narasumber tanpa nama.
Artikelnya kemudian disebarkan melalui media sosial dengan tagar yang berkaitan dengan Papua.
"Menariknya, banyak artikel ini menyerang media-media Internasional, seperti Australian Broadcasting Corporation atau Radio New Zealand," kata Elise.
Wawawa Journal, dan situs serupa bernama tellthetruthnz, terdaftar atas nama Muhamad Rosyid Jazuli. Dia adalah CEO Jenggala Institute for Strategic Studies, sebuah lembaga yang menginduk pada Jenggala Center.
Pada laman resmi Jenggala Center, yayasan ini menyebut "lahir dari hiruk-pikuk kerja politik di Tim Jenggala, sebuah tim pemenangan yang menginduk kepada (ketika itu) Cawapres Jusuf Kalla".
Saat dikonfirmasi, Muhamad Rosyid Jazuli mengakui bahwa dia memang membuat kedua website tersebut atas inisiatif pribadi, bersama beberapa temannya. Dia membantah bahwa website yang dibuatnya bermuatan politis.
"Itu inisiatif sendiri. Kami prihatin, karena media internasional selalu mengutip hanya beberapa tokoh yang dianggap mewakili situasi di Indonesia. Itu tidak fair. Harus ada penyeimbang," kata Rosyid.
Salah satu artikel di Wawawa Journal menyebut bahwaKomisioner PBB untuk hak asasi manusia Michelle Bachelet menyatakan bahwa lembaga internasional menyambut positif cara Indonesia menangani masalah di Papua.
Padahal, Michelle Bachelet menyatakan bahwa dirinya prihatin dengan kekerasan yang terjadi dan meminta otoritas untuk berdialog dan menghindari penggunaan kekerasan.
Artikel lain di Wawawa Journal menyebut bahwa pembakaran rumah dan kerusuhan di Wamena dipicu oleh disinformasi yang dilakukan pengacara Veronika Koman.
Dalam salah satu tulisannya, Wawawa Journal menyatakan bahwa cuitan Veronika Koman "Itu adalah trigger yang membuat teman-teman [di Papua] menjadi lebih anarkis," kata Rosyid membela tulisan tersebut.
Meski demikian, Rosyid menolak jika lamannya disebut memberi berita bohong, maupun disinformasi dan misinformasi.
"Saya menyebarkan ini untuk memberikan pandangan alternatif. Ini upaya untuk memberikan upaya balance di dunia pemberitaan, dan pengayaan diskursus," kata Rosyid. Dia juga menyatakan bahwa biayanya dibayar dengan dana pribadi dan tidak terkait dengan tempatnya bekerja.
Saat ditanya kenapa tidak mendaftarkan websitenya sebagai media, dengan identitas yang jelas dan terdaftar di Dewan Pers, Rosyid menjawab bahwa "karena saya sekolah dan bekerja juga, jadi bikin blog saja".
Mengenai tentang keberadaan situs yang menyebarkan misinformasi dan disinformasi, pemerintah menyatakan akan mengambil tindakan dengan berpatokan pada Dewan Pers.
"Kalau website atau portal tertentu belum terdaftar di dewan pers, kami anggap sebagai produk bukan pers. Kalau produk bukan pers, kami nilai dengan UU ITE," kata Ferdinandus Setu, Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo.
Dengan UU ITE, jika menemukan konten provokatif, SARA dan hoaks, dia menyatakan bahwa Kementrian akan langsung memblokirnya. Berbeda dengan situs yang terdaftar di Dewan Pers, maka Kementrian akan bertindak sesuai UU Pers.
Diancam dibunuh dan diperkosa
Investigasi BBC menemukan bahwa Veronica Koman, pengacara hak asasi manusia, menjadi salah satu target penyebaran distorsi informasi terkait Papua.
Selain distorsi informasi, Veronica juga menerima ancaman pembunuhan dan perkosaan. "Sering sekali dapat ancaman perkosaan dan pembunuhan, setiap hari. Setiap hari bukan cuma satu, banyak banget. Di Twitter, FB dan Inbox," kata Veronika.
Veronica Koman kini masih menyandang status tersangka terkait sejumlah cuitannya yang disebut "lontaran diskriminatif dan rasial" terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, pertengahan Agustus lalu. Dari pasal-pasal yang disangkakan Veronica pun diancam hukuman hingga enam tahun penjara.
Meski demikian, Veronika tetap menggunakan akun Twitternya dari Sydney, Australia, untuk menyebarkan informasi tentang Papua.
Veronika meyakini bahwa menyajikan dan membuka informasi seluas-luasnya mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Papua akan dapat melawan banyaknya "distorsi informasi" di media sosial.
Sumber: BBC
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2019/10/cara-kerja-jaringan-bot-penyebar-hoaks.html