Bagaimana Sebaiknya Merespon Kasus Kekerasan Seksual
Oeh: Laika
Bagaimana sebaiknya merespon kasus kekerasan seksual? *sebuah usulan cara pandang
1. Cara kita merespon kasus kekerasan seksual pertama-tama mencerminkan pemahaman dan kesadaran kita sendiri terkait kekerasan seksual.
2. Kekerasan seksual bukan kasus asusila atau penyimpangan sosial, melainkan tindakan pidana atau kasus kriminal, walau perangkat undang-undangnya belum memadai di Indonesia (makanya ada perjuangan untuk pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual).
3. Dalam masyarakat yg patriarkal, sangat sulit mendapat keadilan dalam kasus kekerasan seksual, karena publik mayoritas cenderung dan masih menyalahkan/menyudutkan korban (yg lebih banyk perempuan). Penghakiman malah lebih banyak ditujukan pada korban.
4. Perjuangan HAM dunia dan nasional-lokal yang panjang sedikit demi sedikit telah berhasil meletakkan laporan/pengaduan korban sebagai rujukan utama, dan terduga pelaku harus membuktikan sebaliknya di pengadilan. Tapi hal ini belum menjadi arus utama di institusi2 hukum.
5. Biasanya terduga pelaku lebih memilih bermain di dukungan publik patriarkal, termasuk keluarga/org2 terdekat/kolega2 politiknya, ketimbang memenuhi panggilan penegak hukum. Hal ini karena mereka tahu persis opini publik terhadap kasus kekerasan seksual masih sangat bisa dipermainkan untuk memberi dukungan pada terduga pelaku. Apalagi jika terduga pelaku adalah "aktivis, artis atau pejabat penting" apalagi pemuka agama.
6. Terhadap kasus-kasus kekerasan seksual, respon kita pertama-tama seharusnya EMPATI pada KORBAN. Walau kita tidak tau kejadian sebenarnya, tetapi melaporkan tindakan perkosaan bukanlah perbuatan yg gampang dan enak. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga: sdh mendapat kekerasan, melapor malah ditanya hal2 yg menyudutkan atau menghakimi, disalahkan lalu jadi bulan2an publik. Malu dan trauma yg biasanya akan dirasakan korban krn respon penegak hukum dan publik. Karenanya juga banyak yg memilih bungkam tak mau lapor. Dipikirnya drpda jd korban berkali-kali. Empati itu penting karena kita mesti sanggup bayangkan jika itu terjadi pada org2 yg kita sayang. Dan kalau laporan korban itu palsu (misalnya utk menjebak terduga pelaku, memeras dll) dampaknya juga tak enak pada terduga korban: mengaku diperkosa itu malu dan menyakitkan lho. Kalau ada korban yg bohong kemungkinan besar di punya kelainan mental.
7. Sebaliknya juga berlaku respon "BESAR HATI" oleh publik terkait terduga pelaku. Bagaimana kalau pelakunya keluarga sendiri, suku sendiri, anggota organisasi sendiri, bangsa sendiri? Ya harus besar hati menyerahkannya pada proses hukum. Kekerasan seksual adalah kejahatan yg sunyi karena para pelaku justru lebih banyak dari kalangan terdekat/orang2 yg kita kenali. Besar hati diperlukan agar kita rela menyerahkan terduga pelaku pada proses hukum, demi kebaikan kita sendiri. Meresponnya dengan marah dan serangan balik justru merugikan kita sendiri. Kalau tidak salah kenapa harus takut atau marah, bukan? Dan kalau salah, kenapa harus kita lindungi? Lebih baik menyelesaikan persoaan secepatnya sebelum korban bertambah dan atau pekerjaan kita di rumah jadi tambah berat. Dan lagipula: dosa to?
8. Bagi yang ragu-ragu bersikap, karena berbagai hal, lebih baik memilih diam dan menekurinya.
9. Terkait kasus dugaan perkosaan pejabat AG yg dinas di lingkungan Pemrov Papua sebaiknya juga harus besar hati. Apalagi kronologi kejadian begitu lugas dan jelas dari sisi korban. Lembaga tempat dia bekerja jg sdh serahkan ke proses hukum. Hakimnya ada di pengadilan. Tidak percaya pengadilan Indonesia? Jangan dulu buruk sangka, kasus2 tuduhan makar saja yg sudah pasti tdk akan menang di pengadilan dijalankan dengan baik oleh para tahanan, masak kasus dugaan perkosaan tidak?
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2020/02/bagaimana-sebaiknya-merespon-kasus.html