Asal Usul Nama Ketupat Jembut Hanya Ada Saat Syawalan Di Jaten Cilik Semarang
Masyarakat Dusun Jaten Cilik atau biasa disebut Kampung Jaten Cilik Kecamatan Pedurungan Kota Semarang mempunyai tradisi unik untuk merayakan lebaran ketupat atau syawalan.
Dalam perayaan ini, sejumlah 600-an warga dari 200-an KK membuat sebuah makanan khas lebaran yang hanya ada setahun sekali.
Biasa dinamakan ‘Ketupat Jembut’ atau Ketupat Taoge.
Ketupat taoge atau yang juga dikenal dengan ketupat isi merupakan olahan berbahan dasar beras yang dibungkus dengan pembungkus terbuat dari anyaman daun kelapa muda (janur) atau kadang-kadang dari daun palma.
Khusus pada ketupat taoge, makanan khas Asia Tenggara tersebut disuguhkan dengan posisi dibelah. Kemudian dimasukkan taoge dan juga sambal kelapa.
Adapun ukurannya relatif lebih kecil dari ukuran biasa dengan asumsi sekali atau dua kali makan.
Uniknya, ketupat atau kupat taoge hanya ada sekali dalam setahun di Kota Semarang. Lebih tepatnya pada hari H+7 Lebaran atau Idul Fitri.
Kupat taoge diproduksi oleh warga Jaten Cilik untuk selamatan perayaan Lebaran Syawal di Masjid Roudhotul Muttaqiin, Jalan Taman Tlogo Mulyo I, Pedurungan.
Pada awalnya, tradisi yang sudah berjalan sejak 1950 M ini melibatkan warga sekitar sebagai bentuk rasa syukur atas selesainya puasa Ramadan dan puasa 6 hari syawal.
Sebelum warga Jaten Cilik membagikan kupat taoge kepada anak-anak, masyarakat berkumpul di masjid untuk menunaikan salat subuh berjamaah yang dilanjutkan doa bersama.
Setelah itu, warga dewasa yang berada di masjid mendapat pembagian ketupat taoge untuk dimakan secara bersama.
Kegiatan pun dilanjutkan pembagian ketupat taoge kepada ratusan anak yang sudah menunggu di luar.
Aba-aba pesta lebaran ketupat ini dimulai dengan membunyikan petasan dan bunyi tiang listrik yang dipukul dari sejumlah arah.
Saat itulah para anak-anak mulai berhamburan berebut ketupat taoge di sepanjang jalan.
Selaku Imam Masjid sekaligus orang yang dituakan di Jaten Cilik, Munawir (45), menjelaskan ketupat taoge pada awal mulanya dibuat untuk menyemarakkan Lebaran Syawal.
Lantaran keterbatasan biaya pada saat itu, sang perintis pada generasi pertama sepakat merayakannya dengan cara yang sederhana.
Adapun filosofi taoge dan sambal kelapa dimaksudkan untuk melambangkan sebuah kesederhanaan dalam hidup dengan tidak melulu kemewah-mewahan.
Sedangkan dibelah tengah dan dimasukkan isi dimaksudkan bahwa antar warga sudah saling melepas kesalahan.
“Menurut cerita dari generasi pertama Sulaiman, yaitu mbah saya, termasuknya. Tahun 1965 sempat berhenti zaman PKI. Tahun 1980 ketupat dan petasan. Nah tahun 1983-an diganti dengan uang dari 500 rupiah hingga 5 ribu-an,” terang Munawir kepada Tribunjateng.com, Rabu (12/6/2019).
Pada lebaran ketupat 2019, warga Jaten Cilik kembali menggelar perayaan dengan menu yang sama.
Serangkaian acara yang masih terjaga kelestariannya dilengkapi dengan 5.000-an buah ketupat taoge.
Sebanyak 4.500 di antaranya diperebutkan anak-anak dan juga masyarakat yang berjumlah 400-an orang.
Khusus untuk anak-anak, juga disediakan ketupat dengan isi uang.
Kemeriahan pun tampak di samping Masjid Roudhotul Muttaqiin dari pukul 05.00 – 06.15 WIB.
“Masyarakat semua berpartisipasi. Ada yang menyediakan 50 ketupat hingga 200-an ketupat. Sebelumnya kami juga merayakan Lebaran Hari H dengan syukuran ketupat petis. Kami coba buat sederhana tapi mengesankan,” tambah Munawir.
Terkait ada istilah penyebutan Ketupat Jembut, Munawir mengatakan banyak versi penyebutan.
Namun karena kampung Jaten Cilik lebih religius, maka warga setempat lebih nyaman menyebut ketupat khas itu dengan sebutan kupat taoge daripada kupat jembut.
Muzazin selaku Ketua RT 2 RW 6 Pedurungan Tengah juga mengapresiasi masyarakat yang ikut serta merawat dan menjaga tradisi yang sudah berlangsung lebih dari 60 tahun.
“Saya berharap tradisi ini terus berlanjut, silaturrakhim terus terjaga, merekatkan tali silaturrakhim antar warga sini dan sekitar.
Kita ambil makna kebersamaan dan kesederhanaannya,” tutur Muzazin.
Seorang bocah Jaten Cilik, Rizki Dwi Putra, mengaku sangat senang setelah mengikuti perebutan ketupat.
Mengaku sudah menanti-nantikan setiap momentum tersebut tiba, Rizki mengincar sejumlah uang yang dikemas dalam ketupat kosong.
“Tadi dapat uang 50 ribu (rupiah) lebih. Kalau ketupatnya dua, yang penting uangnya. Tahun depan ikut lagi bareng teman-teman dan saya ajak teman desa seberang,” jelas Rizki.
Sumber: tribunnews.com
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://islamidia.com/asal-usul-nama-ketupat-jembut-hanya-ada-saat-syawalan-di-jaten-cilik-semarang/