Analisis Gejolak Papua Dan Bola Liar Referendum Di Era Jokowi
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih banyak menunduk. Matanya terus memandang ke bawah. Ia berdiri dalam posisi bersedekap di hadapan pemenang festival 'Gapura Cinta Negeri', di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/9).
Presiden Joko Widodo. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Wajahnya datar tanpa memancarkan ekspresi di awal-awal acara. Jokowi baru tersenyum ketika melihat tayangan video proses pembuatan gapura para peserta yang mengikuti lomba.
Jokowi sempat menolak membacakan pemenang. Akhirnya Kepala Bekraf Triawan Munaf yang menggantikan.
Pemenang Festival Cinta Negeri tahun ini dari Papua. Mereka berasal dari Kabupaten Yapen dan Nduga. Usai acara Jokowi sempat mengundang para pemuda Papua itu makan siang di Istana Merdeka.
Meski demikian sepanjang acara pengumuman pemenang, Jokowi seakan mengurangi ekspresinya. Mantan wali kota Solo itu juga tampak tak berkenan ketika diminta memberikan sambutan. Namun, Triawan tetap menyodorkan mic, meski Menteri Sekretaris Negara Pratikno sempat memberi kode, seakan menyampaikan pesan jika Jokowi tak ingin memberikan sambutan.
Gelagat dan sikap datar Jokowi kali ini seperti tak biasa. Sementara di ujung timur Indonesia ketegangan terjadi di sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat dalam dua minggu terakhir.
Gejolak di Bumi Cendrawasih itu mencuat karena persekusi dan tindakan rasial yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Jawa Timur, menjelang hari kemerdekaan RI 17 Agustus.
Aksi unjuk rasa mengecam tindakan rasial pun muncul di berbagai kabupaten/kota Papua dan Papua Barat, termasuk juga wilayah lainnya di luar Papua mulai 19 Agustus lalu.
Demonstrasi yang masif antara lain terjadi di Jayapura, Manokwari, Sorong, Fakfak, Timika, Nabire, Merauke, Paniai, Deiyai, hingga Dogiayai. Beberapa aksi tersebut berujung rusuh, seperti di Manokwari, Sorong, Fakfak, Deiyai, serta Jayapura.
Sejumlah bangunan, seperti fasilitas umum, bangunan pertokoan, hingga gedung DPRD menjadi sasaran. Selain masalah rasis, mereka juga menuntut referendum Papua. Bendera dan atribut Bintang Kejora mewarnai aksi mereka.
Tuntutan Papua memisahkan diri dari Indonesia bukan barang baru. Suara itu sudah muncul sejak RI menganeksasi Papua pada medio 1969, namun kini semakin nyaring dan lantang usai kasus rasial terhadap mahasiswa Papua.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin menyebut gejolak di Papua dan Papua Barat menjadi pertaruhan Jokowi pada periode keduanya. Gejolak ini muncul dua bulan menjelang pelantikan Jokowi-Ma'ruf pada 20 Oktober mendatang.
"Jika Jokowi tidak bisa menyelesaikan persoalan Papua, maka Jokowi akan dianggap gagal. Apalagi Jokowi menang 90 persen di Papua," ujar Ujang kepada CNNIndonesia.com, Senin (2/9).
Massa mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara, Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Ujang menyebut Jokowi harus mengedepankan pendekatan kemanusiaan serta komprehensif dalam menghadapi gejolak di Papua. Menurutnya, pendekatan keamanan yang diambil pemerintah dengan mengirim pasukan TNI-Polri serta memblokir internet hanya membuat rakyat Papua marah.
Saat ini sekitar 6.000 pasukan gabungan TNI-Polri dikerahkan untuk mengamankan wilayah paling timur Indonesia. Mereka disebar di beberapa titik di antaranya Jayapura, Nabire, Paniai, Deiyai, Manokwari, Sorong dan Fakfak.
"Semakin banyak pasukan yang dikirimkan ke Papua. Semakin tidak simpati rakyat Papua terhadap pemerintah dan semakin menjauhkan rakyat Papua dari negara," tuturnya.
Ia menyatakan dengan berbekal kemenangan pada Pilpres 2019, Jokowi bisa langsung datang ke Papua bertemu dengan para tokoh adat, agama, masyarakat, serta pemuda setempat.
Sehingga, tak hanya Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang berkantor di sana dalam beberapa waktu ke depan.
"Pemerintah tak boleh lamban dalam menangani Papua. Sekali lamban, maka akan memakan korban," ujarnya.
Gerilya di Luar Negeri
Pemerintah menuding ada pihak yang menunggangi aksi damai di sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat hingga berujung kerusuhan. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyebut sosok Benny Wenda berada di balik aksi tersebut.
Wiranto menyatakan Ketua Persatuan Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) itu melakukan provokasi dan aktif menyebar hoaks alias informasi palsu soal Papua ke luar negeri.
Benny adalah salah satu tokoh yang sejak lama memperjuangkan kemerdekaan Papua. Ia kini tinggal di Oxford, Inggris, dan aktif menggalang dukungan internasional.
Benny pun pernah menyerahkan petisi yang sudah ditandatangani 1,8 juta orang untuk menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat kepada Ketua Dewan HAM Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Michelle Bachelet, akhir Januari 2019. Ketika itu Benny ikut dalam rombongan delegasi Vanuatu.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) juga sudah mengidentifikasi kelompok asing yang ikut bermain dalam aksi unjuk rasa berujung rusuh di sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat.
Gejolak Papua dan Bola Liar Referendum di era JokowiPara pemuda dan mahasiswa asal Papua menggelar aksi demonstrasi di sekitar Mabes TNI AD, Jakarta, Kamis, 22 Agustus 2019. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan Benny Wenda tentu ingin memanfaatkan, bahkan mengeksploitasi masyarakat di Papua agar terprovokasi untuk merdeka. Menurutnya, pemerintah perlu mewaspadai gerilya yang dilakukan Benny selama ini.
Namun, Hikmahanto percaya negara-negara di dunia tidak akan mengakui kemerdekaan Papua yang diperjuangkan oleh Benny Wenda.
"Saya yakin negara-negara di dunia kecuali mungkin negara pasifik, akan tetap mengakui Papua sebagai bagian dari NKRI," kata Hikmahanto kepada CNNIndonesia.com.
Hikmahanto menyebut gejolak di Papua ini menjadi pertaruhan bagi Jokowi pada periode keduanya ini. Setidaknya, kata Hikmahanto, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah agar negara lain memahami permasalahan yang terjadi di Papua.
Ia menyatakan pemerintah harus meminta para perwakilan RI di luar negeri berkomunikasi secara intens dengan pemerintah setempat terkait insiden yang terjadi di Papua dan upaya-upaya yang akan dilakukan pemerintah untuk menyelesaikannya.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah perlu berkomunikasi ke media mancanegara, termasuk perwakilan di luar negeri untuk bicara dengan media setempat tentang apa yang terjadi di Papua dan upaya mengatasinya.
"Terakhir pemerintah perlu mem-brief perwakilan dari berbagai negara yang ada di Jakarta terkait insiden di Papua dan penanggulangannya," ujarnya. (fra/pmg)
Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190903142831-32-427140/gejolak-papua-dan-bola-liar-referendum-di-era-jokowi
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2019/09/analisis-gejolak-papua-dan-bola-liar.html