Pemerintah Republik Indonesia Layak Pantas Dipermalukan Oleh Komunitas Internasional
Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman
1. Pendahuluan
Setelah saya membaca tulisan Rahmat Thayib, penggiat Gerakan Demokrasi Berkeadaban yang berjudul: "HANCURNYA MARTABAT INDONESIA, "ANTEK-ANTEK" PAPUA MERDEKA PERMALUKAN JOKOWI DI AUSTRALIA", saya berkesimpulan dengan tulisan yang bertopik: PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA LAYAK/PANTAS DIPERMALUKAN OLEH KOMUNITAS INTERNASIONAL.
Presiden Ir. Joko Widodo adalah simbol pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Kunjungannya di Australia memetik hasil apa yang Indonesia tabur selama bertahun-tahun terhadap rakyat dan bangsa West Papua selama 58 tahun.
Keyakinan iman penulis, pada suatu saat Indonesia akan dihakimi komunitas global, bahkan akan dihakimi oleh rakyat Indonesia sendiri yang sudah muak dengan perilaku penguasa Indonesia yang pembohong, penjahat, pencuri dan pembunuh ini.
Ir. Joko Widodo memang layak atau pantas dipermalukan didepan publik komunitas global karena presiden tukang janji-janji kosong, ia pemelihara dan pelindung para penjahat, kriminal dan pembunuh dalam kabinetnya, dan ia presiden yang paling jahat yang memerintahkan Operasi Militer di Nduga, West Papua pada era moderen ini dan ia menyuburkan kekerasan, kejahatan dan kekejaman Negara di West Papua. Ir. Jokowi ialah corong atau moncongnya militer Indonesia. Dengan kata lain ia juru bicara militer Indonesia. Pak Joko Widodo berada dibawah sayab militer dan juga dipunggungnya militer Indonesia.
Para penguasa Indonesia sulit dipercaya. Kepercayaan sudah menjadi gundul/botak. Karena para penguasa kumpulan orang-orang paranoid dan hipokresi.
Dengan tepat, Samuel Tabuni menyatakan:
"Saya sudah minta tarik pasukan dan tarik pasukan pakai bahasa yg kalian ajarkan kepada saya. Pakai cara yang sopan dan santun sesuai yg kalian ajarkan kepada saya. Tetapi ternyata saya salah. Kalian adalah musuh yang ingin menghancurkan bangsa dan suku saya." Samuel Tabuni
11 February 2020.
2. Nubuatan Prof. Magnis sedang digenapi.
Judul tulisan Rahmat Thayib ini bagus. Saya hanya ingin menambahkan nubuatan Romo Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno yang memberikan kesimpulan yang akurat dan tepat tentang keadaan rakyat Papua yang sangat buruk selama ini dalam bukunya: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme (2015, hal. 255, 257).
"...Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia....Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia." (hal. 255).
"...kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam." (hal. 257).
3. Apa Kata Rahmat Thayib.
Bagian ketiga ini saya kutip utuh tulisan pak Rahmat Thayib.
*Panas hati saya membaca kabar itu. Presiden Republik Indonesia ke-7, Ir. H. Joko Widodo dipermalukan di Australia. Tidak main-main, tindakan “brutal” ini dilakukan di parlemen Negeri Kanguru di Canberra. Pelakunya Ketua Partai Hijau Australia, Adam Bandt.*
*Jadi begini ceritanya. Presiden Jokowi dapat kesempatan berpidato di hadapan sidang parlemen Austalian yang terhormat. Lalu Brandt ambil jurus angkat-banting. Dia memuji pidato Jokowi soal perubahan iklim, tapi “sekarang tolong selesaikan sesuatu tentang Papua Barat,” pinta Brandt.*
*Papua Barat di sini bukan mengacu kepada provinsi Papua Barat. Tetapi Papua bagian Barat alias provinsi Papua dan provinsi Papua Barat. Dengan menggunakan istilah ini, Brandt memberi sinyal bahwa dia tidak mengakui otoritas Indonesia atas Papua bagian Barat. Kasarnya, saat ini Indonesia tengah melakukan penjajahan atas Papua bagian Barat*
*Kembali pada tuntutan Brant. Setidaknya ada tiga hal yang digugat. Pertama, mendesak pemerintah agar mengizinkan Komisioner Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR) berkunjung ke Papua. Kedua, mencabut pembatasan akses bagi wartawan asing dan pemantau HAM di Papua. Ketiga, memerintahkan penyelidikan independen terhadap semua pelanggaran HAM yang terkait demonstrasi di Papua pada tahun lalu dengan tujuan membawa para pelaku pelanggaran tersebut ke pengadilan.*
*Puncak “penghinaan” Brandt adalah mengenakan pin berlambang bendera Bintang Kejora yang disematkan pada bagian kiri jas yang dikenakan. Bendera itu menjadi simbol gerakan Papua Merdeka.*
*Kemudian Brandt bersalaman dengan Jokowi dan diabadikan para jurnalis. Parahnya, adegan salaman itu benar-benar memalukan. Jokowi menunduk, seakan-akan tak berani menatap wajah Brandt.*
*Dengan demikian, terkonfirmasi bahwa semua desakan Brandt tadi merupakan bentuk dukungan terhadap gerakan kemerdekaan Papua.*
*Pandangan Brand juga diikuti senator dari Negara Bagian Victoria, Richard. Via surat, dia mendesak Jokowi untuk memberikan akses “langsung dan tidak terbatas” bagi Komisioner OHCHR untuk berkunjung ke Papua.*
*Ya, Australia memang salah satu negara yang kerap mengkritik Indonesia terkait situasi, kondisi dan kebijakan di Papua. Sejumlah politikus Australia bahkan kerap mendesak pemeritah Negeri Kanguru untuk turun tangan mengawasi dugaan pelanggaran HAM di Papua.*
*Nahasnya, secara subtansi tidak ada yang keliru dengan desakan itu. Jauh-jauh hari, Jokowi sudah berjanji di hadapan mantan Komisioner OHCHR Zeid Raad Al Hussein untuk mengizinkan wartawan asing dan pemantau HAM masuk Papua. Soal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM terkait demonstrasi di Papua jelas suatu kewajiban. Sayangnya, ketiga tuntutan ini belum dilaksanakan sampai hari ini.*
*Kabar sejumlah aktivis menyerahkan data tahanan politik dan korban tewas Papua kepada Jokowi yang tengah berkunjung ke Canberra, Australia, makin memperkeruh hal ini. Veronica Koman sukses membangun wacana yang lantas disambar oleh media massa. Pendek kata, Jokowi datang ke Austalia memang seolah-olah untuk membiarkan dirinya dihina!*
*Mestinya penghinaan ini tidak terjadi. Kejadian ini membuktikan Kementerian Luar Negeri sudah kecolongan. Bahkan sekalipun tuntutan itu benar secara subtansi, ada metode penyampaian yang lebih elegan biar Indonesia tidak dipermalukan. Misalnya lewat pertemuan tertutup.*
*Pemerintah bisa saja mensyaratkan klausul ini sebelum kedatangan Jokowi ke Australia. Kalau Pemerintah Australia tidak bisa menjamin, ya batalkan saja rencana lawatan itu.*
*Pemutusan pembatalan lawatan ini jauh lebih baik ketimbang Indonesia jadi olok-olok di dunia internasional. Bagaimanapun nama baik Indonesia di dunia internasional amat mahal harganya. Jangan diobral begitu. Indoensia negara berdaulat, kita tidak boleh “geper” oleh intervensi negara manapun.*(**)
*: Rahmat Thayib, penggiat Gerakan Demokrasi Berkeadaban*
***
)* Foto: On MONDAY (10/02) President Jokowi received a strong message of West Papua human rights situation and the Morning Star flag from diverse voices that echoes through media, various social media platforms, solidarity actions and even inside the Australian Parliament House.
The message is Australia and Indonesia bilateral relationship should not come at expense of the support for human rights.
THANKYOU to our friends around Australia, particularly in Canberra, Sydney, Melbourne and Ballarat for organising peaceful protests, and the Greens Leader Adam Bandt for the display of the Morning Star badge on his lapel and Richard Di Natale for inviting me as guest to witness Jokowi's speech in the Australian Parliament.
RESPECT to our Papuan heroes and heroines, those who have died, tortured, disappeared, in exile or in hiding and incarcerated, especially 57 political prisoners behind bars NOW.
These photos captures collective efforts from protest and inside the Parliament.
Photo Credit: The Greens Party (press conference), organisers of protests, and James Masolo twitter account.
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://phaul-heger.blogspot.com/2020/02/pemerintah-republik-indonesia.html