Karma Cinta
-SATU-
LANGIT pekat. Guruh berdentum. Kilat sabung menyabung. Tanah Pasir Besar yang gelap gelita sesekali terang bagai percik api. Para penghuni satu persatu memadam lampu gasoline menggantikan dengan pelita minyak tanah bersumbu kain buruk. Ada yang menarik gebar busuk. Terasa sejuk mencucuk tulang. Hujan lebat seperti akan mencurah melecak tanah yang sudah berminggu panas dan kontang
Rumah no 728 seolah olah belum bersedia mengucapkan selamat malam. Lampu gasoline yang digantung di antara palang pembahagi ruang tamu dan dapur bergoyang ditiup angin melimpahi cahaya ke halaman.
Tiba tiba berlari dengan wajah cemas seorang gadis, keluar pintu. Kakinya terjelepok lalu tersungkur di anak tangga
Belumpun sempat dia bangun, sebondong kain berisi pakaian menghempap kepalanya. Gumpalan rambutnya yang panjang, berjuraian ke bahu. Sambil terduduk, dia bangun mengutip sehelai demi sehelai pakaian yang jatuh. Dikutipnya pakaian yang terakhir, sehelai selendang biru pemberian orang yang pernah dia sayanginya, lantas dipakai di kepala. Alias berdiri mencengkak pinggang menombak matanya yang tajam ke dinding dada Munah. Di tangan kanan Alias tergenggam erat sebilah parang berkarat
“Berambus kau!” Sambil menghala parang ke arah Munah yang berada di bawah
Malam itu dia diusir orang tuanya. Emaknya berkali kali merayu jangan pergi, namun hatinya rapuh, dia tidak mampu mempertahankan kasih seorang anak pada emak. Dibiarkan sahaja selendang yang hampir terlucut di kepala menutupi pipi kanannya yang pipih
Kedengaran esak tangis emaknya
“Kau tak kesian mak, Munah?” rayu Maimon
Suara Maimon tenggelam, dek herdikan suaminya,
“Cepat, berambus! Tempik ayahnya.” marah sungguh Alias
Terkejut dan terkedu Munah mendengar herdikkan Alias bagai semburan nyala api. Hatinya tiba tiba membara, panas. Wajahnya menjadi keras beku. Tidak sempat dia membalas rayuan emaknya dengan kata kata, tidak mampu dia menahan diri berlama lama di situ. Sepantas itu juga dia bangun dengan kaki terhencot hencot, langkahnya lesu, kaku. Tidak setitispun airmatanya jatuh
”jangan kau cuba cuba balik ke sini!” Amaran Alias
Langkah Munah makin keras dan laju melalui pintu pagar kayu yang sedia terbuka seolah olah merelakan kepergiannya. Sempat juga dia berpaling, melihat emak tersungkur memeluk kaki suaminya, lelaki yang paling ditakuti oleh mereka berdua. Lelaki yang tak pernah menghormati orang lain melainkan dirinya sendiri. Maimon mohon simpati suami supaya tidak memperlakukan anaknya begitu. Alias menarik kakinya dengan kasar, muka Maimon menyembam lantai....
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://security2523.blogspot.com/2021/02/karma-cinta.html