Hilangnya Piagam Jakarta Dan Kebesaran Hati Tokoh Islam
Hampir 75 tahun yang lalu, tepatnya awal Agustus, Jepang mendapat posisi buruk di perang pasifik, terlebih ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom pada 6 Agustus silam.
Hal tersebut membuat Jepang makin terpuruk sehingga menimbulkan keuntungan tersendiri bagi Indonesia.
Dikutip buku Intelegensia Muslim dan Kuasa oleh Yudi Latif, atas dasar tersebut komando tertinggi Jepang di Saigon mengumumkan agar dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai penerus BPUPKI.
Namun, pembentukan PPKI yang dimaksudkan untuk mempercepat persiapan terakhir pembentukan sebuah pemerintahan Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda dari BPUPKI.
BPUPKI berlandaskan latar belakang ideologis, sebaliknya PPKI memiliki latar belakang kedaerahan.
Dengan alasan tersebut, tokoh Muslim dan kunci dari BPUPKI terpaksa mundur atau tak masuk ke dalam daftar anggota PPKI.
Sebut saja Agus Salim, Ahmad Sanusi, Abikusno Tjokrosujoso, serta Wongsonegoro, dan Muhammad Yamin.
Tak masuknya tokoh Muslim itu dianggap berpotensi buruk bagi pandangan negara bermayoritas Muslim ini.
Terlebih, dari 21 anggota di badan PPKI itu, 12 di antaranya merupakan pemimpin nasionalis sekuler generasi kolot.
Tokoh Muslim saat itu di PPKI hanya ada dua, Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah dan Kiai Wachid Hasyim dari NU.
Namun demikian, terbukti pada akhirnya, bersama tokoh Islam lainnya saat itu, mereka mampu berkompromi terkait sila pertama yang diubah total.
Dalam satu poin, dalam autobiografi Muhammad Hatta, Muhammad Hatta: Memoir (1979), dia mengaku kedatangan utusan Kaigun, yang memberitahu bahwa umat Kristen dan agama lainnya di daerah timur dan Kalimantan keberatan atas pembukaan UUD.
Secara spesifik, disebutkan suatu kalimat dengan tujuh kata bentukan panitia sembilan BPUPKI pada hari ini, 22 Juli, 75 tahun lalu, yang berbunyi: “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Menanggapi hal itu, mayoritas panitia sembilan mengaku tak berkeberatan, termasuk satu anggota Kristen, AA Maramis, dan anggota sisanya yang lain dari latar belakang Islam serta empat di antaranya yang mengaku sekuler.
Namun, Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah saat itu, merasa keberatan awalnya. Sebab, kalimat itu adalah hasil mufakat dari rapat BPUPKI 22 Juni 1945.
Meski Kasman Singodimedjo dan Teuku M Hasan membujuk Ki Bagus agar menerima saran Mohammad Hatta, karena keputusan akhir ada padanya, usulan kembali diajukan.
Namun demikian, tetap saja dalam pandangan Hatta pembukaan UUD harus ditujukan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Alhasil, pada 18 Agustus, tokoh Muhammadiyah, Mr Kasman Singodimedjo, diminta Soekarno datang untuk membicarakan hal tersebut dengan Hatta dan tokoh lainnya, termasuk saat itu adalah Ki Bagus Hadikusumo. Soekarno tak hadir.
Seiring berjalannya pertemuan sela itu, datang juga beberapa tokoh lainnya seperti Wahid Hasyim dan Teuku Hasan yang ikut membicarakan hal tersebut secara mendalam.
Meski pembicaraan berjalan cepat dan sulit, diputuskan agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut dihapus.
Setelah berbagai pergolakan, sidang pertama PPKI yang dilaksanakan pada 18 Agustus 1945 itu memilih Soekarno dan Hatta sebagai pimpinan.
Pada saat yang sama, sidang itu juga menyetujui draf UUD yang sebelumnya disetujui BPUPKI dan tujuh kata Piagam Jakarta untuk “dicoret”.
Dituliskan, saat itu Ki Bagus Hadikusoemo juga mengusulkan perubahan kalimat: “Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Ki Bagus meminta kata-kata menurut dasar dihapus sehingga kalimat itu berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, “kemanusiaan yang adil dan beradab”, dan lainnya.
Lebih lanjut, dalam buku Teologi Konstitusi karya Adam Muhshi, setelah rapat tersebut, Hatta menyatakan bahwa ada tiga perubahan terkait masalah Islam atas Piagam Jakarta dan hasil kerja BPUPKI yang disepakati PPKI.
Hal pertama yang diubah adalah sila pertama dalam dasar negara (Piagam Jakarta) yang awalnya “ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Perubahan kedua mencakup rumusan ketentuan pasal 6 ayat 1, yang sebelumnya “presiden Indonesia beragama Islam”, berubah menjadi “presiden ialah orang Indonesia asli”.
Sementara itu, yang ketiga, menyambung sila pertama, rumusan pasal 29 ayat 1 berubah menjadi “negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa”.
Jika ditilik kebelakang, usulan Ki Bagus Hadikusumo itu diterima baik sekali. Bahkan, ia juga menjadi tokoh dalam sidang itu yang mengusulkan sila kedua: “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Saat usulannya diterima semua pihak, Ki Bagus diketahui menangis sejadi-jadinya karena akhirnya Pancasila ditegakkan di Indonesia.
Terlebih, karena perubahan itu terjadi sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 silam.
Meski berbagai perubahan final itu tak terlepas dari upaya Hatta, berbagai lobi politik, usulan, diskusi, hingga perbedaan pendapat yang mewarnainya ikut serta berperan, terutama dari Ki Bagus Hadikusoemo yang menyarankan perubahan sila pertama itu.
Sumber: republika.co.id
Artikel ini hanyalah simpanan cache dari url asal penulis yang berkebarangkalian sudah terlalu lama atau sudah dibuang :
https://islamidia.com/hilangnya-piagam-jakarta-dan-kebesaran-hati-tokoh-islam/